Thursday 16 May 2024

Tinder Tale Reminiscence

Ada beberapa pembelajaran penting yang saya dapat dari proses malang melintang dengan penuh totalitas di dunia per-dating app-an antara tahun 2015-2017. Pelajaran pertama tentu saja adalah bahwa semua lakik akan mbelgedes pada waktunya. Terkait 'waktunya' ini, if an inegligible amount of shadiness emerges during the starting point, maka semakin cepat dibereskan (read: di-cut) biasanya semakin baik.


Dua,  saya belajar indifferent to lies and not taking it personally and professionally. I was probably like some of you yang kalau dibohongin itu bakal bereaksi dengan disbelief dan mikir semacam "kok bisa aku sebodoh itu?" atau "kok tega dia bohong?" atau "emangnya dia pikir aku nggak tahu apa kalau dia bohong?" dan mungkin berbagai reaksi lainnya yang bikin marah, sedih, kesal, insekyur, nelangsa, takjub, dll. Tapiii setelah dipikirin lagi, pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa saat seseorang bohong, artinya nggak cukup penting buat dia untuk memastikan saya tahu yang benar. Sehinggaaa, implikasi lanjutannya adalah saya jadi beranggapan bahwa saya bukan orang yang di-welcome untuk tahu dia yang sebenarnya, jadi I could care less about spending energy to try to get to know that person and care more about jadwal comeback kpop bulan ini. 

I don't take it as an insult to my self esteem either karena biasanya orang yang bohong sama saya itu bukan orang2 yang building up my self esteem. Jadi mereka mau bohong kaya gimana, karena my self esteem is already there and being firmly supported by those who really care about me, ya ga ngefek ada orang2 yang bohong itu karena mereka dan kebohongannya itu not the components of my self esteem in the first place. Ya of kors kagetnya ada, tapi ya habis fase akut lewat, ya udah. Self esteem saya masih tetep di situ2 aja sih ya, terus gimana dong 🀷🏻‍♀️

I don't take it as a professional insult either (although of course I did in the first times of my practice) karena ya.. showing your true self is not easy, dan kalau memang belum muncul trust-nya ya nggak papa juga. I mean.. namanya dokter kan bertindaknya harus sesuai yang batasan knowledge dan kompetensinya AJA yekan.. Kalau bertindak di luar itu, justru pelanggaran. Jadi ya saya bakal menyikapi pasien sejauh yang dia buka ke saya dan berdasarkan scientific knowledge yang saya tahu terkait apa yang dia sampaikan. Kalau ternyata belakangan disalahin karena anggapan "harusnya jadi psikiater itu bisa baca pikiran orang dan bedakan mana yang bohong mana yang bukan", ya tinggal dijawab kalo itu nggak ada di kompetensi, apalagi kalau yang mintanya definitif HARUS BISA. Catat baik2, tulis di rekam medisnya bahwa datanya x sehingga ditindaklanjuti dengan y dengan scientific and situational considerations a b c d dst, udah. Gosah dipikir banget2. 

I also dont remember pernah dibohongi terus berpikir "kok tegooo ngapusi akuuu?" soalnya saya ngerasanya ket jamanku cilik, lyfe and people in general are tego karo aku. Not in the cruel and abusive way, tapi I'm not that priviledged juga. Njuk mungkin ada orang2 yang lihatnya kaya guweh tu chill and dibanting berkali-kali juga ga bakal mati gitu, jadi yo tego2 wae karo aku. Jadi ya.. kalau ada yang bohongin saya, saya nggak komen "kok tegooo" karena ya.. nyapo kok ra tego? 🀷🏻‍♀️

Jadi ya begitulah. Sante. Cuma ya karena saya nggak ngurusan, jadinya ada juga momen2 tertentu yang bikin saya heran gitu kalau ada kebohongan yang nek aku sing dibujuki I might just respond with "Ah. That happens", eee jebul kalo yang jadi korban dibohongin itu orang lain, ternyata jadi dramak. Ada juga momen ketika ada orang yang (katanya) lies and manipulates me behind my back, terus sing ngamok ki dudu aku tapi wong liyo yang (katanya) ra trimo aku dingonokno. Akune biyasak atao bahkan tak sadar sedang dibohongin atau dimanipulasi. Mungkin karena saya mikirnya "selama badan masih oke, mental health ga gila2 amat, dan saldo masih ada buat makan sampai gajian berikutnya.. then life is gwenchana." Jadi yang lain2 ya takpikir pas aku pingin mikir, termasuk babagan aku lagek dibujuki dimanipulasi opo orak. Nek lagek ra pengen mikir yo ra takpikir 🀣


Tiga, saya belajar bahwa saya nggak suka push and pull. Terlalu banyak membuang energi untuk sesuatu yang pada akhirnya mbelgedes juga itu kayak.. yeaaa I could probably handle it on my youth, but with my current energy level, then.. cukup Ferguso! Hentikan! Aku tidak mau tahu lagi hal2 seperti itu!

Gitu.


Empat, the more I get myself into it, the more I realize that it's not my thing; that I am indeed not that willing to invest a significant amount of time and energy for it wkwkwk. Akhir2 ini po maneh, rasanya kek parah banget. Jadi pas di dating app-nya misal ada yang match terus bisa chat gitu, setelah 3-5 kalimat tu sudah mulai muncul pikiran "iki lapo seh?" atau "aaaakk screen time ku wis piro iki?" terus kebanyakan setelah itu jadinya slow response teros 🀣 Kalo ada yang koyoke mak jreng terus ngomongnya bisa ngalir enak terus chat2annya lama, besoknya tu I feel so drained and tired dan kadang sampe jadi skip cardio work demi mencapai visi #50by2025 terus aku kzl like "aaaaarrggg why kok guweh ora olaragaaa" terus ky males chat maneh. Intine cen ra niat lah pokoke 🀣


Udah itu dulu. Capek nulisnya.


Oh. A little TMI: my mind is this Beomgyu meme everytime ada yang bilang lagi in a relationship problem tapi ga putus2 dengan alasan "ya gimana... namanya masih cinta" 



Pelajaran2 yang laen bisa wapri ye kalo kepo πŸ€ͺ

Monday 26 February 2024

Those Kidz I'm Proud Of (part 1 of embuh soalnya kidznya banyaaaak)

Manusia #1 pertama kali ngobrol agak banyak sama saya gegara dia tercyduck saat tes kesehatan mental waktu mau masuk koas, dan baru mengaku saat itu kalau tiap ujian mual muntah karena cemas. Dengan challenge ini plus background story-nya yang memang menarik, dia akhirnya menghabiskan sebagian periode koasnya dengan 'bersandar' pada fluoxetine, tapi ya.. gpp. Pada akhirnya koas dengan selamat dan lulus dengan baik (ya secara anaknya aslinya pinter ya). Waktu terakhir ketemu saya, pernyataannya yang saya suka banget adalah semacam, "Yah akan saya coba kumpulkan lagi lah self esteem saya yang berceceran ini." Dia juga bilang kalau sudah menghentikan pola hidupnya yang kurang sehat, dan hopefully bisa dipertahankan buat tetap sehat untuk ke depannya. I saw a glimpse of hope and CONFIDENCE, something I didn't remember seeing before, dan entah kenapa saat itu hati ini rasanya hangat πŸ’– Semoga niatnya bisa dipertahankan ya Nak. Kalau bingung, boleeeh tetap lambaikan tangan ke kamera πŸ‘‹

Manusia #2 (kayanya) pertama kali datang ke saya karena takut kontak sama lawan jenis dan di awal kaya hobinya negative thinking banget. Sempat nggak pede poooll karena merasa skripsinya telat, tapiiii ternyata ya ora telat banget ik padahal masa-masa ngerjain skripsinya dilalui dengan personal struggle yang beraaaaattt, and even traumatic, to some extent. Dia masih lumayan 'shaky' di awal koas, tapi dalam perjalanannya, ternyata semakin lama semakin pemberani. Komunikasi sama lawan jenis nggak jadi masalah, bisa asertif dan ambil kesempatan buat jadi semacam leader, bahkan ada inisiatif untuk belajar jadi orang yang bisa reliable buat orang lain despite the inconfidence di sana sini. Sekarang sepertinya manusianya sudah hidup dengan cukup baik dan semakin pinter problem solving dan positip tingking; udah bisa urus apa2 sendiri. You did well, kid! Keep it up ya..

Manusia #3 pertama kali datang ke saya karena masalah yang sepertinya jelas tapi ternyata semakin lama semakin tidak jelas which I didn't really object karena manusianya seru diajakin ngobrol. Orangnya suka random tapi knowledgable juga, jadinya saya banyak belajar dari dia. Waktu ketemu terakhir, saya dikasih gift dengan pesan "thank you for putting up with my nonsense" yang somehow buat saya itu cukup melegakan karena (mungkin) ada gunanya juga sesi2 konsul sama saya yang topik pembicaraannya suka random itu. Saya bangga sama manusia ini karena meskipun butuh waktu, akhirnya dia bisa buat statement "No I don't wanna do this" dan tetap teguh pada keputusannya meskipun (mungkin) ada pihak sana sini yang mempertanyakan. Semoga keputusan yang sudah dibuat dengan firm ini bisa jadi dasar untuk kehidupan selanjutnya yang lebih sesuai sama yang kamu inginkan ya. Keep having a blast!

Manusia #4 sebenarnya konsul ke saya sekali atau dua kali aja sepanjang persekolahannya. Yang saya tahu, meskipun orangnya ngerasa dia tidak terlalu socially competent, ternyataaa manusia ini endorse-an terkait kapasitasnya comforting teman tu sungguh warbiyasaaak. Orangnya reliable sekali.. dan bahkan saat lagi repot2nya, dia selalu masih mau menyediakan energi buat mendukung orang-orang di sekitarnya. Beberapa waktu yang lalu anaknya WA, katanya sih mau ngusahain biar work/lyfe balance lebih optimal.. dan ya syukak akutuuu kalo nakkanak tu sharing ga sebatas sharing berita tentang sukses yang spektakuler aja, tapi juga sharing tentang small daily 'wins' kaya gini. Kenapaa? Ya karena sukses yang spektakuler itu kejadiannya ga banyak yekan.. kalo selebresyennya cuma pas sukses spektakuler doang, kok kayanya berat banget, hidup sepanjang itu cuma bisa selebresyen beberapa kali πŸ˜’ Trus kaya ga apresiasi diri banget gitu lho kalo yang dirayain itu cuma hari-hari yang amat sangat spesial sekali aja. Naahh kalo bisa ngerayain small wins kaya gini, itu artinya sudah semakin dekat ke self appreciation yang optimal, dan biasanya orang yang punya self appreciation yang bagus itu juga happier dan easier to get along with. Jadi I feel grateful and ikut bahagiyak gitu bisa jadi bagian dari perjalanan cerita manusia yang (tampaknya) livin' life to the fullest.   

Gitu dhisique. Sekian episode pertama. To be continued di episode berikutnya 😎

Monday 1 January 2024

Resolusi 2024

Resolusi 1: Lebih rutin baca referensi dan memproses paper sampai published
I mean.. sebenernya saya tu suka ngerjain yang macem gini, tapi karena (sok) sibuk, akhirnya malah terlewat dari daftar rutinitas. Yang kepegang biasanya di bagian cari informasinya aja, tapi tak berlanjut ke tahap sintesis informasi, po maneh jadi paper yang bener. Mungkin partly memang jadwalnya kurang kondusip, tapi setelah dipikir lagi, ternyata kayanya somehow I got swayed by the frequently-uttered statement, "minta tolong mahasiswa aja yang ngerjain." Bukan, bukan karena statement ini salah, tapiiii jebulnyaaa that statement doesn't quite apply to me for two reasons: 
1) Aku nek ngongkon uwong ki luwih mikir piye carane ben sing dikongkonkan bisa sejelas dan seoperasional mungkin ben sing dikongkon ora bingung, sama gimana caranya nge-reward yang dikongkon. Ujung2nya capek duluan mikirin ininya dan berakhir dengan "ah gosah wes. Takgarap dewe aja" wkwkwk. I don't know, maybe be it's just not in my gene, especially kalo liat emak guweh lagi nggarap paper atau koreksi makalah mahasiswanya which is yowes uwonge mostly nggarap dewe.. ya kayanya emang itu genetik. Piye neh wkwk
2) Ternyata kutydack bahagia saat hanya tahu hasil akhir tanpa tahu prosesnya. Partly mungkin karena kaya mikir, "ah ini kan bukan hasil kerjaku.. sukses atau gagal, I don't deserve to own this because I don't do this" gitu. Jadi apapun hasilnya, yang terasa adalah emptiness karena kutydack punya apa2. Another reason mungkin karena nek ora takgarap dewe tu kaya I can't prove to myself that I still have that perseverance that I'm proud of (TMI: Kalo ditanya "what do you like the most about yourself?" my answer would be my perseverance, bukan yang lain, so it's an important thing for me :p). Trus karena I kinda consider perseverance as one of my core identity, if I don't have that kan jadi kaya krisis identitas gitu..
Jadi begitulah: I'll get down and work on this. Namuuuunn ya kutydack waham that I have all that power to effin' do everything myself, jadi ya.. I'll ask for help. I'll work harder to go beyond kemalesan to organize things yang bikin batal minta tolong. I'll ask help (I have, btw), and I'll try to be more consistent on working on this. Yuk bisa yuk.. 

Resolusi 2: Jumlah ditolak donor darah lebih sedikit daripada diterimanya. 
Artinyaaa, makan sama atur aktivitas harus lebih bener plus ingat buat makan sate kambing sebelum donor biar tydack tertolak mulu gegara tensi atau Hb-nya kurang. Hla mosoookkk dalam tahun 2023 ini tu yaaa.. diterimanya sekali, ditolaknya tiga kali. Kzl.

Resolusi 3: Balikin koreksian skripsi dan LHDM/dummy maksimal seminggu setelah bocahnya nyetor wkwk
Monmaap atas dosa2 dosenmu yang bagian ini ya nakkanak. I mean.. setelah menyelesaikan tumpukan koreksian dummy dan rekapan nilai stase di akhir tahun 2023 yang febeles ini, I realize that kalo dummy kalian nggak dikoreksi, ternyata yang dapet A lebih dikit wkwkwk. Monmaap. Trus kalo skripsi.. sakjane I kinda improved and feel that I'm more efficient than the previous year, tapi ya.. I should and I can do better, so I'll do better. Wish me luck yes πŸ’ͺ

Resolusi 4: streak jalan terus dan tydack demot dari Diamond League (*hestek: #anakDuolingo)
Again, aku tu ya anaknya lebih ke proses daripada hasil, jadi yang lebih penting istiqomah-nya, bukan level berapa atau sertifikatnya apa. Apalagi urusan belajar bahasa yak.. sebagai manusia yang so far uda blajar beberapa bahasa, ya emang prosesnya mau fluent itu laaaaamaaaa dan tydack mudah, jadi ya yang penting dipastiken berjalan dulu lah. Hasil belakangan, hla wong.. mw flexin' di mana juga yekan secara I'm not quite working in the field of language these days 🀷🏻‍♀️


Apa lagi ya?
Kayanya itu sih resolusinya. Eh satu lagi ding yang tentatip: 
Punya tempat praktik yang lebih memungkinkan buat psikoterapi yang bener wkwk. 
I mean, I'm okay with my current place, tapi ya patient load RSUD ya segitu itu, trus kadang kepentok aturan asuranshit-nya juga, jadi IMO skill per-psikoterapi-an sy turuuuunn jauuuuhhh. Po maneh BK-nya di fakultas dibubarken; tambah terjun bebaslah skill ini 🀦🏻‍♀️ However, karena ini sifatnya tentatip, sementara hal ini belom benar2 kejadian, tolong plis kidz nakkanak mahasiswa F* U*** kalo ada yang baca ini, inget2: kalo mau konsul, kontak langsung aja plis, ra bakal taktolak (paling takpending nek pas PMS sampai badai PMS berlalu biar kelen ga malah ngadepin orang tantrum pas konsul πŸ€ͺ). Biar apa kok konsul? Satu, ya kalo kalian ada masalah, kali aja bisa terbantu biar masalahnya selesai atau bisa takbikin lebih greget dan lebih dramak biar semakin spice up your lyfe yekan 😎 Dua, biar jam terbang dosenmu yang pemalas ini terjaga jadi (mudah2an) tambah pinter dan efektif buat bantu kalian; atau at least bisa dipertahanken biar ga tambah goblog lah.


Jadi begitulah.
Itu aja si kayanya resolusi 2024. E sama ada dua yang kayanya lebih tepat dibilang wish list sih daripada resolusi: 
1) Nonton konser Astro DAN salah satu makhluk dari The Big 4 (mungkin Seventeen atau TXT); of kors di baris paling depan. Oleh karena ituuuuu olahraga harooos rutinnn, jaga power suara harus rutiiin, badan harus sehaaat, biar apaaa? Biar bisa senantiasa kerja keras bagai quda buat beli tiket konser berapapun harganya, daaaann di hari H tetap setrong pencolotan sambil sing along di area festival instead of area lungguhan πŸ”₯πŸ”₯πŸ”₯
Btw. I don't opt for NCT buat ditonton tu bukan karena mereka nggak oke atau gimana, tapi ga siap pengsan gaaess akutuuu kalo tiba2 Johny melakukan hal yang tidak2 pas kongser 😭 Jadi ya demi keselamatan jantung yang sudah mulai uzur ini, NCT ga dulu deh, monmaap
2) Lebih sering ke puskesmas buat ngecek kondisi riil di sana wkwk. Kenawhy? Ya karena I feel like I still miss out on a lot of things pas di RS, tapi I don't quite know gemana mberesinnya. Yakalik dengan lebih sering lihat situesyen yang di hulu, bisa jadi lebih paham asal muasal bentukan di hilir yang kaya gitu tu dari mana, dan lebih bisa ngatasin yang perlu diatasin. Gitu


Uwis.

Demikian rambling tydack penting di awal tahun yang syahdu habes ujan inih. Terima kasih syuda membaca sejaoh ini (kok pede nek onok sing maca?), have a great year ahead, happy healthy new year fo' y'aaaaalll 🧑

Sunday 2 October 2022

Living These Days

Those days when I was a newbie in studying psychotherapy or even when I just started practicing, I guess I inevitably have this ideal of wanting to do things as close as possible to the best practice as what's said in the textbook. I kinda opposed the idea of mental health care provided by the so called 'common people' because I kinda held on pretty tight to the idea that the process of care should be well-structured to enable the best outcome possible. I think I was quite aware that there are lots of things to work on, I was aware that a system (i.e. collaboration) was (and is) necessary to get things work.. tapi sepertinya (mungkin karena pembelajaran PPDS itu setting-nya mostly di layanan tersier) I was pretty biased: nganggepnya semua fasyankes di endonesa  bakal punya sistem yang kaya di layanan tersier; dan bahwa kasus-kasus yang dihadapin sehari-hari bakal kaya yang ditemuin pas PPDS dan selalu dibahas dengan level kedalaman kaya pas ilmiah PPDS; dengan case load yang sithik jughak koyok zaman PPDS. Tapi tentu saja, lyfe itu full of surprise, Ferguso..

Mungkin karena I spent more time reading books and journals and less time of being exposed to various cases and care settings, jadinya I kinda knew a lot of 'fancy' maneuvers and I was like so eager of trying out those maneuvers, tapi.. well. I was aware that I didn't understand them enough so I seriously wished for supervised sessions to try things out and get feedback about my performance. However, mungkin karena karakteristik pembelajaran PPDS yang supervised dan kaya.. menciptakan vibe "kalo eloh coba-coba ini itu dan malah mleset dari anjuran konsulen, meskipun mlesetnya cuma dikiiitt dan tak berdampak, YOU'RE DEAD." Mungkin juga I kinda have this history of feeling attacked for doing 'creative' things yang IMO sebenarnya lumayan personal dan kaya ga gangguin sapa-sapa tapi kok ya ujung-ujungnya dianggap berkaitan sama pendidikan dengan alasan yang saya masih ga paham sampai sekarang.. jadinya (ternyata) I seemed to internalize that creativity is just not the norm; you should just go with what's used to.

Again, I feel like I didn't quite find the chance to use those maneuvers I learnt so I was left with the thought "Fine. Maybe they're just nice-to-knows that are not quite applicable in this country's care setting, so maybe I should be okay about not using them as many times as I want." Dengan case load di tempat saya kerja yang relatip huwakeh dibandingkan zaman PPDS, unfortunately it made it kinda easier to just resort to such stance, karena semacam.. "C'mon, gawean wis akeh. Garap seperlunya aja lah. Gosah expecting yang makjreng-makjreng." 

Gitu.

Eh satu lagi ding.

Mungkin karena vibe pembelajaran PPDS yang cenderung top-down (i.e. pembelajaran yang benar  seolah hanya bisa didapat dari 'sumber' yang secara hierarki lebih tinggi; bahwa yang harus lebih diperhatikan pendapat dan concern-nya adalah yang posisi-nya lebih tinggi), saya ngerasanya malah jadi nggak menginternalisasi bahwa sebenarnya saya studying like shit itu dalam rangka biar saya bisa memberikan pelayanan dengan lebih baik, i.e. memperhatikan yang 'di bawah' dengan lebih baik. 


Jadinya ya gitu.

Saya terkaget-kaget saat terjun ke lapangan dan melihat baaaaanyaaaakk keterbatasan yang kaya.. bikin saya merasa kalo pembelajaran saya jaman mbiyen itu bullshit karena jebul banyak yang tydack applicable in my current setting. Of kors I am internally ngamok lah ya sebenarnya.. tapi ya.. 

I'm quite lucky, though, and sometimes I still can't believe that I'm this lucky. Wkwk.

Ya habes gemana ya.. I tend to tell people, jangan bikin keputusan saat lagi marah because it might hurt you later, but I did that myself when I decided to work here: I chose to be here not exactly because I carefully considered that I wanted to be here, but because I was furious with my previous work setting. Wkwkwk. 

Again, I'm lucky though, karena semakin lama ngetem di sini, semakin saya ngerasa bahwa my anger-based choice ternyata adalah pilihan yang tepat 😎


Of kors di latar yang sekarang ada banyaaaakk keterbatasan dan gaweanku akeeeehh karena for a kinda-similar workload, mbaginya sama jumlah orang yang jauuuuhh lebih sedikit, jadi ya.. undeniably akeh. Tapiii enaknya, mungkin karena semua sama-sama sibuk dan banyak yang diurusin, I feel like I get way more freedom to try out what I feel like trying out: 

Hal-hal yang saya baca di buku dan sebelumnya kaya ga mungkin kejadian, malah ternyata banyaaak yang bisa saya coba saya terapkan di sini. 

Aspek-aspek dari lingkungan pembelajaran sebelumnya yang saya nggak suka dan I felt quite a resentment for not being able to change them despite whatever effort I put on, ternyata semacam bisa 'terkompensasi' karena di sini saya lebih diberi kesempatan untuk directing things the kinda-right way. I feel more appreciated dan ternyata kalo buat saya, being appreciated itu bukan pengalaman yang bikin besar kepala, tapi justru humbling dan makes me more eager to do more to give back to show my thankfulness. 

Keterbatasan-keterbatasan yang ada dan ketidakmampuan saya to immediately get rid of those yang IMO oleh sekitar direspons dengan pemakluman yang luar biasa, ternyata bikin saya jadi orang yang less angry, more accepting, dan more understanding juga. Plus, having more chance (dan bahkan didorong) untuk lebih 'kreatif' dan independen ternyata bikin saya ngerasa hal-hal yang saya lakukan sehari-hari jadi lebih rewarding. Seiring waktu, saya merasa semakin lama semakin merasa tidak masalah dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada karena I have virtually unlimited chance to work on getting rid of it, anyway. I feel like I'm back to becoming that person yang bisa menghargai proses secara lebih mindful dan less mechanistic. I feel like I'm more confident about simply taking one step at a time -- as long as I keep walking. 

Dari trying things out dan getting feedback dari orang-orang yang saya layani ini ternyata saya juga belajar jaaauuuuuhh lebih banyak tentang hal-hal yang berguna tapi gak onok di buku, dibanding saat saya masih PPDS dulu. Saya jadi bisa ingat lagi bahwa keterbatasan itu bukan penghalang tapi stimulan biar kita kreatif biar bisa kompensasi dan mengatasinya. Saya jadi ingat lagi bahwa sistem yang sangat teratur dan selalu dijalankan the way it's always going adalah sistem yang tidak bisa berkembang dan sesuatu yang tidak bisa berkembang itu biasanya nggak adaptif dan malah cepet matek. Jadi ya.. gitu. I learn to listen more to people I serve, identify better what they like and they don't like, and try develop things accordingly. I learn to accept that salah benar itu bukan standar yang fixed, tapi sesuatu yang perlu diterapkan sesuai konteksnya biar bisa promoting adaptability and survival ability of the people. I find various resources that I didn't even know they're resources before. I find those abilities in people that turn out to be able to be converted into strength and that just feels awesome. I learn again to allow things to take place with the necessary caution, instead of simply restricting it because of gak ada SOP-nya; and take note to keep things improving day by day.

Kuliah blok 13 dan urusan peer counseling adalah salah dua dari hal-hal yang I didn't imagine I would allow back then, but I allow them today and they turn out pretty nice πŸ’“ 

Kalau dipikir lagi, kayanya I joined a lot of workshops and seminars/webinars setelah kerja itu sebenarnya ky kompensasi karena zaman PPDS dulu ga bisa kaya gitu karena tiga alasan: 1) emang missqueen jadi ga punya duit buat brangkat seminar; 2) mau berangkat acara gituan kadang ga boleh dengan alasan "kan tahun ini kamu udah berangkat" atau karena unwritten social convention bahwa ga bagus kalo 'keseringan' berangkat saat yang laen pada blom berangkat (padahal yang laen mungkin ga berangkat gara2 ga pengen; bukan karena ga bisa); 3) kadang males berangkat juga karena belajar pun ilmunya ujung-ujungnya kaya ga kepake.

Tapiiii saya senang karena di setting saya sekarang, ilmu-ilmu dari simpo-simpo that I paid for itu jadi adaaa yang bisa kepake. Bahkan, things I learned from youtube or Korean/Spanish class pun jadi bisa dipakeee buat menyusun pembelajaran secara fun tapi tetap 'dapet'; buat bikin vibe bahwa belajar itu nggak harus tegang dan seriyes dulu baru bisa pinter. Info-info yang saya dapat di webinar/simpo medical education bahwa mahasiswa sebaiknya dipaparkan pada berbagai bentuk pembelajaran di berbagai setting, dan diberi kesempatan buat bisa sedekat mungkin sama real lyfe kerjaan mereka nantinya tu... jadi benar-benar bisa saya terapkan karena di sini ga banyak yang hobi ngomelin saya. Wkwkwk. 

Dari kegiatan-kegiatan ilmiah itu (dan dari buku psikoterapi juga sih) saya juga belajar bahwa sebenernya mahasiswa itu gosah harus di-bully dan dikatain macem-macem dulu biar bisa berkelakuan baik; bahwa pembelajaran buat berkelakukan baik dan bersikap etis itu lebih optimal dengan NGASI CONTOH yang baik, karena.. people tend to hold on to things that make them feel good and stay away to what they fear kan? Jadi kalo berperilaku baik itu di-coupling-nya sama fear gara-gara diomelin pengajarnya, ya.. begitu lepas dari omelan, mereka quite likely bakal lepas juga dari perilaku baiknya karena mereka ga pingin nge-keep anything associated with the omelan. Jadi ya.. gitu. Saya emang jadinya intentionally berusaha membuat proses pembelajaran sama saya seminimal omelan mungkin; tapi sebanyak mungkin ngasi kesempatan bertanya dan ngasi feedback yang bikin mahasiswa bisa mikir sendiri. Tujuannya apa membuat mereka bisa mikir sendiri? Ya antara lain biar saya ga harus mikirin semuanya sendiri lah.. wkwkwk. Biar nanti mereka bisa jadi sumber daya yang bermangpaat buat bantu beresin kerjaan saya ngurusin kesehatan mental manusia endonesa yekan 😎  

Posing with these awesome kids who dragged me into
the peer counseling initiative
Makhluk-makhluk ini contoh korban yang sudah 'terdorong' dengan sakseis untuk bisa mikir sendiri. Wkwkwk. Mereka ini mandiri dan baik hati, jadi mereka aware banget kalo kerjaan konseling saya banyak (alhamdulillah astungkara puji Tuhan halleluya), jadiii mereka pun berinisiatiiip ngajakin saya bikin pelatihan peer counselor biar bisa bantuin saya cobaaaak 😭 Of kors pas pertama mereka menyampaikan ide ini ke saya, the first thing that came to my mind adalah "How TF can I facilitate these kids? I know no shit about peer counseling" wkwkwk. Tapi ya ternyata.. it turned out that I know some things about counseling, they kinda know better what they (and their friends) need.. and we work together.. and somehow it works 😭 and it turned out that (I think) I didn't do too bad! Mungkin karena dari empat tahun ngurusin bocah-bocah dan pasien-pasien di sini, I learned better that fancy maneuvers CAN BE necessary, but mostly, not really. Ternyata lebih banyak orang yang datang dengan masalah-masalah yang relatif temporer dan situasional, jadi ya.. ga harus selalu orang dengan the so-called advanced skills yang bantu mberesin; peer aja nggak papa. 
Selain itu, dari beberapa diskusi di seksi psikoterapi PDSKJI, ternyata yang berkali-kali ditekankan terkait keberhasilan terapi itu BUKAN teknik-teknik terapi yang haros fancy atau next level getoh. Many times, simply a mindful presence is enough. Zaman sekolah dulu saya cenderung mikirnya, "hilih apa seh psikoterapi suportip doang, ga challenging amat. Mlz."  Wkwkwk. Tapi dari diskusi-diskusi itu, psikoterapi suportif yang dilakukan dengan seriyes dan telaten itu ya ternyata manfaatnya bisa cukup life-changing. Plus, seringkali orang yang having the most severe problems itu justru orang-orang yang memang self-nya belum cukup kohesip buat dikasi manuver yang macem-macem; orang-orang yang kapasitas kognitifnya belum nyampe buat dimacem-macemin ala CBT; jadi ya.. kayanya yang paling berguna emang psikoterapi suportif sama intervensi perilaku tipis-tipis gitu. Saya jadi belajar untuk lebih humble dan less self-centered itu tadi: lebih banyak memperhatikan orang-orang yang saya layani dan lebih ikhlas buat mengesampikan urgensi saya untuk nyobain ini itu just because I want to. Ga terlalu susah sih ternyata buat ikhlas itu, karena ternyata dengan workload yang kaya sekarang, kesempatan untuk nyobain tu ada aja. Jadi ya.. at times of kors aku ijih sambat et causa gaweane akeh, tapi yo rapopo soale dalam gawean yang bertumpuk itulah tersimpan kesempatan-kesempatan for me to do what I want. Gitu. 
Eniwei. Hal lain yang bikin saya lumayan amazed dari berurusan sama nakkanak ini adalah bahwa kapasitas mentalisasi, kapasitas untuk being present, dan kapasitas mereka buat analisis masalah itu baaagussss 😲 Jadi ya mereka itu ga yang tahu segala teori psikoterapi gitu, tapi karena mereka being mindfully present, jadinya kaya they're instinctively aware of the heart of the problem gitu. Mereka nggak terdistraksi oleh teori cemmacem dan the wish to be fancy, jadi ya.. although it's tempting buat ngajarin mereka cemmacem kaya yang saya baca pas zaman residen dulu, kondisi mereka yang kaya gitu tu semacam jadi constant reminder buat saya bahwa yang terbaik untuk dilakukan adalah yang penting dan perlu; bukan yang banyak tapi membabi buta dan malah ga jelas sasarannya apa. Again, these kids jadi ngajarin saya to exert better self-control dan being less selfish; something I might not really learn well during my PPDS time terutama kalo dilihat dari history per-tinder-an saya.

Jadi ya gitu lah.
I'm still pretty much as stupid as shit and I'm nowhere near being that awesome staff, and no sign of me heading there either... but I'm doing what I can and I guess I'm quite happy with my current life. Wkwk. Kaya.. ngerasa udah bisa 'ngomong' ke manusia-manusia yang mungkin pernah mengupayakan ketidakbahagiaan saya, "Sorry, but you can't break me. I'm living me and I just can't care less about you..." dan ternyata itu aja udah cukup. Ternyata saya memang anaknya gampangan kalo urusan merasa puas dan bahagya πŸ˜‚    

Friday 1 July 2022

사라진 λ‚˜.

These days I guess I've been surprised with my own degree of patience, accommodating and understanding attitude, and self-control karena I used to be definitely not that patient and accommodating; I used to be way more expressive and straightforward and just like... ddak! ddak! ddak! hajaaaarrr kind-of person. Wkwk. Di satu sisi ada perasaan bangga karena (mungkin) itu artinya I've learned so much that I'm actually able to change so much, tapi di sisi lain, unfortunately, I do have a pretty huge fondness sama that side of me yang not thinking much but doing much. Yang ga sabaran pengen nyelesein kerjaan jadinya ga nunda2 nggarapnya, yang ga terlalu banyak mikir planning dan ya udah hadapin aja apa yang di depan mata (termasuk saat merespons orang), yang mau ngomong ya langsung ngomong aja tanpa direncana baik2 wording-nya (dan kalo uda ada konsekuensinya, baru dipikir gimana ngatasinnya *oops :p). I kinda feel.. that it's somewhat painful that I've lost those qualities that I'm fond of; qualities that somehow defined my identity for a kinda long while... jadinya... I turned out questioning too, lately, "Am I actually being lost right now? Have I become someone else without knowing it? Then who am I now?" Such thought somehow feels.. scarily painful. I mean.. any (unfinished) losing is painful, right? And when we kinda suddenly realize that we've lost it and not having the time at all to anticipate the losing, it's also... rage-inducing kind of painful. So.. it's scary, it's raging, and it's kinda saddening and upsetting too that I thought I've had it finished with that losing, tapi ternyata.. mungkin belum 100% juga. Intinya, the kinda complete kind of painful. Kzl.

Tapi ya..
Mungkin adult lyfe emang gitu.
Mungkin I just can't still accept the 'fact' bahwa.. being an adult is not immediately synonymous with being established. I mean.. kayanya dulu saya mikirnya, kalau pas muda saya sudah tahu nanti pas dewasa mau jadi apa dan seriously working on that, saat saya dewasa saya bakal bisa 'sampai' di sana, and once I got there, I can just be an established adult and live (not happily ever after but) relatively peacefully and content-ly. I thought, karena sejak awal saya sudah tahu mau jadi apa dan I am now seriously udah bisa jadi what I wanted to be, saya ga bakal simply drifted here and there in life for like forever kaya yang saya lihat terjadi sama orang tua saya. I thought I would be (not fully unshakeable, but) firm enough to stand whatever kind of storms.. 
Tapi tentu saja.. tydack semudah itu, Ferguso.

Mungkin saya dulu mikirnya the storm wouldn't be that strong. Mungkin saya kurang piknik dan kurang rajin belajar juga karena cuma antisipatip sama storm dan ga antisipatip sama banjir, tanah longsor, gempa bumi, lightning strike, dan segala rupa jenis bencana lainnya...
Mungkin saya nggak berpikir bahwa prioritas dan lyfe goal bakal bisa berubah secara cukup drastis as time goes by... but... the thing is, they DO change...

Dan kayanya saya ga suka sama the harsh reality that my only choice is to accept and adapt to it. Wkwkwk. Well.. I don't really object to the 'adapt' part karena feel-nya itu kaya masih doing something and I generally like doing things, learning things. I do object to the 'accept' part, though, karena kesannya pasrah pasip nrimo, kaya doing nothing, dan (contrary to probably currently popular belief) akoh tydack sukak disuruh diem doing nothing. Well. Maybe it's my grandiose delusion talking, but.. it just doesn't feel that good to feel like I have things exerted on me; things I can't really control, things I can't really win no matter how hard I fight. Tapi ya.. that's what's happening. Wkwkwk

Nggak tahu.
I mean... saya masih ngerasa bahwa mau ini storm, banjir, kilat badai menyambar, tanah longsor, gempa bumi, atau apapun itu; sebesar apapun itu tantangannya, saya bakal survive. I'm not changing that faith. Tapiiii sepertinya saya perlu mengubah keyakinan bahwa saya bakal tetap survive dalam keadaan syantek, elegan, dan febeles karena kadang.. kalau yang perlu diprioritaskan itu cuma bisa satu hal, ya nomor satu harus survival dulu, baru syantek, elegan, febelesnya belakangan. Function before fashion, rite? I mean, kalo saya ga survive in the first place, saya toh ga bakal bisa making efforts buat bisa syantek, elegan, dan febeles juga yekan? Jadi ya.. sepertinya habis ini PRnya adalah latihan lagi buat looking in the mirror dan nggak marah sama diri sendiri when I'm seeing myself broken into pieces, super ugly, berantakan, dan orak febeles blas, karena... I've tried to survive anyway. I didn't chicken out from the fight; I stayed there and I kept fighting despite knowing that I was gonna lose it anyway. Some parts of lyfe had had me hurt badly dan yang saya butuhkan after being hurt badly adalah a chance to heal, bukan another hurt from self depreciating statements thrown out while I'm looking at myself in the mirror. I need to keep having my chance to heal and recover, dan if lyfe doesn't give me that, then I'm making that chance myself. I'll make it continuously available by myself, for myself, dan mungkin... bisa jadi itu aja udah cukup for starter, kan? Jadi ya.. udah. Kaya gitu aja kayanya. That's what I'll do. κ³„μ†ν•˜λ©΄ 결ꡭ에 λ‹€μ‹œ λ‚  μ°Ύμ„κ²Œμ§€?
 


N.B Setelah dipikir-pikir lagi, kayanya saya terinduksi surhat2annya Aaron sama Joel di Korean Cowboys podcast. Sungguh sialan kalian berdua.. 

Monday 6 June 2022

Rethinking Relationshit

Jadi ceritanya setelah sekian lama enggak thanks to dek Nana yang berhasil bikin ga traveling dua tahun padahal tinder di Jember sungguh suram, sekitar dua bulan terakhir ini saya semacam berurusan lagi dengan makhluk yang namanya laki-laki and of kors it sucks. Wkwkwk.

Okeoke, I'm trying to be not all negative here, so let's try to put it in a more positive kind of way 😜

Jadi ya.. let's say I've learned another lesson, dan... salah satu hal di dalam diri saya yang berubah setelah belajar itu adalah, I used to have like 1% faith that the so-called a decent relationship could happen to me.. 

Well. Now I have minus 100%.

I guess that's a progress karena angkanya bisa jadi gede kan.. jadi 100, so I kinda feel more confident about my stance karena udah lebih bold dan ga tanggung2 lagi gitu 😝 Jeleknya, though *waw akoh kaya anak Jaksel yang mixing2 ngomong endonesa sama enggres* ternyata 'pelajaran' ini memberikan tantangan tambahan buat saya saat saya dicurhatin pasien atau dedek2 gmz mahasiswa tentang cinta2an karena saya jadi harus berupaya ekstra untuk bilang ke diri saya "B*tch, it's their story. Stop making it about you. Just effin' listen b*tch, it's your job. Do it well, and if you can't do it well at least effin TRY!" and refraining from quickly responding with ,"Tenang aja, habis ini itu bakal jadi mbelgedes kok. Tunggu timing aja... paling ntar lagi" . Ya I mean, emang iya kan, just because it happened to me, of kors bukan berarti it would happen to other people, jadi ya.. gitu. I should've just done my job, and I'm trying, really πŸ™ˆ

Well. Again, maybe it's not that all bad, though.

Kalau dipikir lagi, sebenarnya this lakik thingy ini lebih seperti the last straw yang.. kinda hyped me up a bit to get some extra energy and confidence about myself in my currently self-esteem-depriving-ish situation..
but then it broke me down a bit more than I expected to the level of urging me into immediately 'demolishing' that situation and actually rethinking my priorities and taking actions on it *sound effect musik peperangan berdarah-darah *biar dramak*  Well I'm quite upset about it; kinda a lot during these last few weeks, gotta say. Tapi di dalam marah itu saya jadi semacam diingatkan lagi bahwa this thing is not worth my energy, jadi kaya semakin ter-highlight sebenarnya apa yang harus saya prioritaskan, and it's just not it; not for me, at least.

While of course it might be tempting to resort to thoughts like "Ah aku kurang gini ya kayanya.. ah harusnya aku gini aja, gitu aja, nggak kaya yang aku lakukan kemarin" or such like what I used to do when I was younger, I actually feel kinda proud of myself for not doing so because again, I shouldn't have done so: Why should I? Wkwkwk. Bukan karena saya waham bahwa saya ini suci dan semua orang lain penuh dosa, tapi.. I've experimented with this kind of thing kinda a lot and I've tried various kind of possible approaches, but it just doesn't work, jadi ya.. not my approach. Emang doesn't work aja. Plus emang sih, saya sudah sampai pada titik di mana I kinda appreciate myself for what I am today jadi throwing myself self-defeating statements itu kaya.. it would just feel weird if I did so 😎 

Anyway.

Beberapa waktu yang lalu waktu pertama kali bikin draft posting ini, saya masih berpikir buat kaya bikin statement tentang my current stance, relationship-wise, tapi hari ini.. ternyata saya males karena hari ini saya sudah berada pada titik di mana saya percaya bahwa for me, a decent relationship is simply inexistent, so... I'll just go on living, caring what I need and love to care for dan pensiun dini dhisik dari ngurusi lakik dan segala kembelgedesannya.

Namuuunn.. buat eloh2 ni gaes, yang mungkin masih percaya bahwa a decent relationship itu ada, and I genuinely believe that you still have that chance to probably have one, ada dua quick tips sih biar eloh bisa menikmati your relationshit journey gitu lo gaes.. biar up and down-nya itu ga sampe bikin elo break down banget gitu.

Pertama, know your values and don't feel guilty about holding on to it. Di dalam 'value' ini tercakup juga semacam what you REALISTICALLY want in a relationship, your do's and dont's, your expected degree of opennes with your potential partner, your current and possible future priorities, what important to your self esteem and the threats to it, your readiness for the relationship (and whatever forms it might take), dan hal-hal semacam itu lah. Namanya relationship, nanti pasti ada di antara hal-hal itu yang akan harus dikompromikan, tapi kalau yang harus kamu kompromikan kok kayanya beyond your limit; atau kaya level of willingness buat komprominya itu ga imbang antara kamu ama potential partner-mu, mundur wae gaes. Tuhan aja nggak membebani kamu lebih daripada yang bisa kamu tanggung kan.. mosok kamu mau spending your life sama manusia yang berani2nya ngelakuin sesuatu yang lebih dari Tuhan? Medeni gaes..

Kedua, have back ups. Punyailah satu atau dua orang yang tahu banget perjalanan hubunganmu dari awal sampai akhir itu kaya gimana, sedetail2nya; dan usahakan orang2 yang kamu punya itu orang yang objektif dan cukup rasional. Kenapa? Karena serasional apapun seseorang, kalo udah urusannya sama relationshit, susah gaes kalo mau blas ga ada delusionalnya itu. I mean, even when your healthy coping and ego defense mechanisms are mostly in place throughout your whole life, relationshit seriously changes your hormones and neurotransmitters gaes.. and when hormones and neurotransmitters strikes, there aren't always much that you can do, unfortunately, sehinggaaa punyailah teman ini buat mbantu kamu biar meskipun kamu galao, kamu masih tetep bisa in touch with reality and carry on living like this shitty thing can't do you a thing gitu gaes. 

Uwis.

Sunday 22 May 2022

Leave

Chorus:
If you wanna fall for me, fall for me willingly
If you wanna leave, then just leave, be guilty-free
If you wanna stay with me, stay with me willingly
I'll stick to what matters and it might not be you

Verse 1
Loving flower ended sour, oblivion ruled
Heart was once going bright, now's not quite right; silently screwed
Healed and hurt more times, received and refined; fanfare and breakdown
Scary chase, cluttered space; gone long miles

Bridge:
No more crazy interesting push and pull and
Going round and round depletes my energy, ey
No more sugary dreamy promises, I'm through, so through and
If you feel like comin' then just come in

Chorus:
If you wanna fall for me, fall for me willingly
If you wanna leave, then just leave, be guilty-free
If you wanna stay with me, stay with me willingly
I'll stick to what matters and it might not be you

Verse 2:
Although at times I really like you but I never really like you
I like myself more, I like my friends more, I like my life more
Yea there're times I wanna hold on, yea there're times I wanna go on
But I recall what I count on and your name's not quite that spot-on
Can't say I didn't have a good time, maybe I need more time 
To stop think review evaluate rewind
I'm lazy, I'm cheesy, I'm crazy, I'm busy
Or time's not yet right now for you and for me  

Bridge:
No more crazy interesting push and pull and
Going round and round depletes my energy, ey
No more sugary dreamy promises, I'm through, so through and
If you feel like comin' then just come in

Chorus:
If you wanna fall for me, fall for me willingly
If you wanna leave, then just leave, be guilty-free
If you wanna stay with me, stay with me willingly
I'll stick to what matters and it might not be you

Bridge 2:
I expect no potentials, I don't mind some silly battles
It's a playing field I don't mind losing, I'm indifferent even when I'm winning
So tell me what you want
Do you know what you want?
Will I really want? Will you say you won't?
This heatwave needs a break, we two now need a break
We need to stop think re-evaluate rewind

Bridge:
No more crazy interesting push and pull and
Can't go round and round, I need my energy, ey
Happily ever after fairy tales, I'm through, so through and
If you feel like leavin' then don't hold in

Chorus:
If you wanna fall for me, fall for me willingly
If you wanna leave, then just leave, be guilty-free
If you wanna stay with me, stay with me willingly
I'll stick to what matters and it might not be you
If you wanna show you care for me, care for me willingly
If you wanna leave, then just leave, no turning back to me
If you wanna show you need me, then need me willingly
I'll stick to what matters, and it's not me-and-you



Catatan:
Lirik ini dibuat dengan didasari musik dari Love Theory-nya Taeyong & Wonstein, ditambah cipratan vibe galao tipis-tipis tapi tak mau tampak letoy dan haros tetap swag-ish dari Pado sama Weekend-nya BIBI. I did try to sing this lyric pake musiknya Love Theory, tapi ternyata kayanya temponya Love Theory kecepetan dan ada chord di lagu itu yang bikin vibe lagu ini jadi 'fail' kalau dipertahankan kaya gitu, jadi ya.. I should probably ask my brother to make the music if this song is to be really worked on πŸ˜›