Those days when I was a newbie in studying psychotherapy or even when I just started practicing, I guess I inevitably have this ideal of wanting to do things as close as possible to the best practice as what's said in the textbook. I kinda opposed the idea of mental health care provided by the so called 'common people' because I kinda held on pretty tight to the idea that the process of care should be well-structured to enable the best outcome possible. I think I was quite aware that there are lots of things to work on, I was aware that a system (i.e. collaboration) was (and is) necessary to get things work.. tapi sepertinya (mungkin karena pembelajaran PPDS itu setting-nya mostly di layanan tersier) I was pretty biased: nganggepnya semua fasyankes di endonesa bakal punya sistem yang kaya di layanan tersier; dan bahwa kasus-kasus yang dihadapin sehari-hari bakal kaya yang ditemuin pas PPDS dan selalu dibahas dengan level kedalaman kaya pas ilmiah PPDS; dengan case load yang sithik jughak koyok zaman PPDS. Tapi tentu saja, lyfe itu full of surprise, Ferguso..
Mungkin karena I spent more time reading books and journals and less time of being exposed to various cases and care settings, jadinya I kinda knew a lot of 'fancy' maneuvers and I was like so eager of trying out those maneuvers, tapi.. well. I was aware that I didn't understand them enough so I seriously wished for supervised sessions to try things out and get feedback about my performance. However, mungkin karena karakteristik pembelajaran PPDS yang supervised dan kaya.. menciptakan vibe "kalo eloh coba-coba ini itu dan malah mleset dari anjuran konsulen, meskipun mlesetnya cuma dikiiitt dan tak berdampak, YOU'RE DEAD." Mungkin juga I kinda have this history of feeling attacked for doing 'creative' things yang IMO sebenarnya lumayan personal dan kaya ga gangguin sapa-sapa tapi kok ya ujung-ujungnya dianggap berkaitan sama pendidikan dengan alasan yang saya masih ga paham sampai sekarang.. jadinya (ternyata) I seemed to internalize that creativity is just not the norm; you should just go with what's used to.
Again, I feel like I didn't quite find the chance to use those maneuvers I learnt so I was left with the thought "Fine. Maybe they're just nice-to-knows that are not quite applicable in this country's care setting, so maybe I should be okay about not using them as many times as I want." Dengan case load di tempat saya kerja yang relatip huwakeh dibandingkan zaman PPDS, unfortunately it made it kinda easier to just resort to such stance, karena semacam.. "C'mon, gawean wis akeh. Garap seperlunya aja lah. Gosah expecting yang makjreng-makjreng."
Gitu.
Eh satu lagi ding.
Mungkin karena vibe pembelajaran PPDS yang cenderung top-down (i.e. pembelajaran yang benar seolah hanya bisa didapat dari 'sumber' yang secara hierarki lebih tinggi; bahwa yang harus lebih diperhatikan pendapat dan concern-nya adalah yang posisi-nya lebih tinggi), saya ngerasanya malah jadi nggak menginternalisasi bahwa sebenarnya saya studying like shit itu dalam rangka biar saya bisa memberikan pelayanan dengan lebih baik, i.e. memperhatikan yang 'di bawah' dengan lebih baik.
Jadinya ya gitu.
Saya terkaget-kaget saat terjun ke lapangan dan melihat baaaaanyaaaakk keterbatasan yang kaya.. bikin saya merasa kalo pembelajaran saya jaman mbiyen itu bullshit karena jebul banyak yang tydack applicable in my current setting. Of kors I am internally ngamok lah ya sebenarnya.. tapi ya..
I'm quite lucky, though, and sometimes I still can't believe that I'm this lucky. Wkwk.
Ya habes gemana ya.. I tend to tell people, jangan bikin keputusan saat lagi marah because it might hurt you later, but I did that myself when I decided to work here: I chose to be here not exactly because I carefully considered that I wanted to be here, but because I was furious with my previous work setting. Wkwkwk.
Again, I'm lucky though, karena semakin lama ngetem di sini, semakin saya ngerasa bahwa my anger-based choice ternyata adalah pilihan yang tepat π
Of kors di latar yang sekarang ada banyaaaakk keterbatasan dan gaweanku akeeeehh karena for a kinda-similar workload, mbaginya sama jumlah orang yang jauuuuhh lebih sedikit, jadi ya.. undeniably akeh. Tapiii enaknya, mungkin karena semua sama-sama sibuk dan banyak yang diurusin, I feel like I get way more freedom to try out what I feel like trying out:
Hal-hal yang saya baca di buku dan sebelumnya kaya ga mungkin kejadian, malah ternyata banyaaak yang bisa saya coba saya terapkan di sini.
Aspek-aspek dari lingkungan pembelajaran sebelumnya yang saya nggak suka dan I felt quite a resentment for not being able to change them despite whatever effort I put on, ternyata semacam bisa 'terkompensasi' karena di sini saya lebih diberi kesempatan untuk directing things the kinda-right way. I feel more appreciated dan ternyata kalo buat saya, being appreciated itu bukan pengalaman yang bikin besar kepala, tapi justru humbling dan makes me more eager to do more to give back to show my thankfulness.
Keterbatasan-keterbatasan yang ada dan ketidakmampuan saya to immediately get rid of those yang IMO oleh sekitar direspons dengan pemakluman yang luar biasa, ternyata bikin saya jadi orang yang less angry, more accepting, dan more understanding juga. Plus, having more chance (dan bahkan didorong) untuk lebih 'kreatif' dan independen ternyata bikin saya ngerasa hal-hal yang saya lakukan sehari-hari jadi lebih rewarding. Seiring waktu, saya merasa semakin lama semakin merasa tidak masalah dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada karena I have virtually unlimited chance to work on getting rid of it, anyway. I feel like I'm back to becoming that person yang bisa menghargai proses secara lebih mindful dan less mechanistic. I feel like I'm more confident about simply taking one step at a time -- as long as I keep walking.
Dari trying things out dan getting feedback dari orang-orang yang saya layani ini ternyata saya juga belajar jaaauuuuuhh lebih banyak tentang hal-hal yang berguna tapi gak onok di buku, dibanding saat saya masih PPDS dulu. Saya jadi bisa ingat lagi bahwa keterbatasan itu bukan penghalang tapi stimulan biar kita kreatif biar bisa kompensasi dan mengatasinya. Saya jadi ingat lagi bahwa sistem yang sangat teratur dan selalu dijalankan the way it's always going adalah sistem yang tidak bisa berkembang dan sesuatu yang tidak bisa berkembang itu biasanya nggak adaptif dan malah cepet matek. Jadi ya.. gitu. I learn to listen more to people I serve, identify better what they like and they don't like, and try develop things accordingly. I learn to accept that salah benar itu bukan standar yang fixed, tapi sesuatu yang perlu diterapkan sesuai konteksnya biar bisa promoting adaptability and survival ability of the people. I find various resources that I didn't even know they're resources before. I find those abilities in people that turn out to be able to be converted into strength and that just feels awesome. I learn again to allow things to take place with the necessary caution, instead of simply restricting it because of gak ada SOP-nya; and take note to keep things improving day by day.
Kuliah blok 13 dan urusan peer counseling adalah salah dua dari hal-hal yang I didn't imagine I would allow back then, but I allow them today and they turn out pretty nice π
Kalau dipikir lagi, kayanya I joined a lot of workshops and seminars/webinars setelah kerja itu sebenarnya ky kompensasi karena zaman PPDS dulu ga bisa kaya gitu karena tiga alasan: 1) emang missqueen jadi ga punya duit buat brangkat seminar; 2) mau berangkat acara gituan kadang ga boleh dengan alasan "kan tahun ini kamu udah berangkat" atau karena unwritten social convention bahwa ga bagus kalo 'keseringan' berangkat saat yang laen pada blom berangkat (padahal yang laen mungkin ga berangkat gara2 ga pengen; bukan karena ga bisa); 3) kadang males berangkat juga karena belajar pun ilmunya ujung-ujungnya kaya ga kepake.
Tapiiii saya senang karena di setting saya sekarang, ilmu-ilmu dari simpo-simpo that I paid for itu jadi adaaa yang bisa kepake. Bahkan, things I learned from youtube or Korean/Spanish class pun jadi bisa dipakeee buat menyusun pembelajaran secara fun tapi tetap 'dapet'; buat bikin vibe bahwa belajar itu nggak harus tegang dan seriyes dulu baru bisa pinter. Info-info yang saya dapat di webinar/simpo medical education bahwa mahasiswa sebaiknya dipaparkan pada berbagai bentuk pembelajaran di berbagai setting, dan diberi kesempatan buat bisa sedekat mungkin sama real lyfe kerjaan mereka nantinya tu... jadi benar-benar bisa saya terapkan karena di sini ga banyak yang hobi ngomelin saya. Wkwkwk.
Dari kegiatan-kegiatan ilmiah itu (dan dari buku psikoterapi juga sih) saya juga belajar bahwa sebenernya mahasiswa itu gosah harus di-bully dan dikatain macem-macem dulu biar bisa berkelakuan baik; bahwa pembelajaran buat berkelakukan baik dan bersikap etis itu lebih optimal dengan NGASI CONTOH yang baik, karena.. people tend to hold on to things that make them feel good and stay away to what they fear kan? Jadi kalo berperilaku baik itu di-coupling-nya sama fear gara-gara diomelin pengajarnya, ya.. begitu lepas dari omelan, mereka quite likely bakal lepas juga dari perilaku baiknya karena mereka ga pingin nge-keep anything associated with the omelan. Jadi ya.. gitu. Saya emang jadinya intentionally berusaha membuat proses pembelajaran sama saya seminimal omelan mungkin; tapi sebanyak mungkin ngasi kesempatan bertanya dan ngasi feedback yang bikin mahasiswa bisa mikir sendiri. Tujuannya apa membuat mereka bisa mikir sendiri? Ya antara lain biar saya ga harus mikirin semuanya sendiri lah.. wkwkwk. Biar nanti mereka bisa jadi sumber daya yang bermangpaat buat bantu beresin kerjaan saya ngurusin kesehatan mental manusia endonesa yekan π
|
Posing with these awesome kids who dragged me into the peer counseling initiative |
Makhluk-makhluk ini contoh korban yang sudah 'terdorong' dengan sakseis untuk bisa mikir sendiri. Wkwkwk. Mereka ini mandiri dan baik hati, jadi mereka aware banget kalo kerjaan konseling saya banyak (alhamdulillah astungkara puji Tuhan halleluya), jadiii mereka pun berinisiatiiip ngajakin saya bikin pelatihan peer counselor biar bisa bantuin saya cobaaaak π Of kors pas pertama mereka menyampaikan ide ini ke saya, the first thing that came to my mind adalah "How TF can I facilitate these kids? I know no shit about peer counseling" wkwkwk. Tapi ya ternyata.. it turned out that I know some things about counseling, they kinda know better what they (and their friends) need.. and we work together.. and somehow it works π and it turned out that (I think) I didn't do too bad! Mungkin karena dari empat tahun ngurusin bocah-bocah dan pasien-pasien di sini, I learned better that fancy maneuvers CAN BE necessary, but mostly, not really. Ternyata lebih banyak orang yang datang dengan masalah-masalah yang relatif temporer dan situasional, jadi ya.. ga harus selalu orang dengan the so-called advanced skills yang bantu mberesin; peer aja nggak papa.
Selain itu, dari beberapa diskusi di seksi psikoterapi PDSKJI, ternyata yang berkali-kali ditekankan terkait keberhasilan terapi itu BUKAN teknik-teknik terapi yang haros fancy atau next level getoh. Many times, simply a mindful presence is enough. Zaman sekolah dulu saya cenderung mikirnya, "hilih apa seh psikoterapi suportip doang, ga challenging amat. Mlz." Wkwkwk. Tapi dari diskusi-diskusi itu, psikoterapi suportif yang dilakukan dengan seriyes dan telaten itu ya ternyata manfaatnya bisa cukup life-changing. Plus, seringkali orang yang having the most severe problems itu justru orang-orang yang memang self-nya belum cukup kohesip buat dikasi manuver yang macem-macem; orang-orang yang kapasitas kognitifnya belum nyampe buat dimacem-macemin ala CBT; jadi ya.. kayanya yang paling berguna emang psikoterapi suportif sama intervensi perilaku tipis-tipis gitu. Saya jadi belajar untuk lebih humble dan less self-centered itu tadi: lebih banyak memperhatikan orang-orang yang saya layani dan lebih ikhlas buat mengesampikan urgensi saya untuk nyobain ini itu just because I want to. Ga terlalu susah sih ternyata buat ikhlas itu, karena ternyata dengan workload yang kaya sekarang, kesempatan untuk nyobain tu ada aja. Jadi ya.. at times of kors aku ijih sambat et causa gaweane akeh, tapi yo rapopo soale dalam gawean yang bertumpuk itulah tersimpan kesempatan-kesempatan for me to do what I want. Gitu. Eniwei. Hal lain yang bikin saya lumayan amazed dari berurusan sama nakkanak ini adalah bahwa kapasitas mentalisasi, kapasitas untuk being present, dan kapasitas mereka buat analisis masalah itu baaagussss π² Jadi ya mereka itu ga yang tahu segala teori psikoterapi gitu, tapi karena mereka being mindfully present, jadinya kaya they're instinctively aware of the heart of the problem gitu. Mereka nggak terdistraksi oleh teori cemmacem dan the wish to be fancy, jadi ya.. although it's tempting buat ngajarin mereka cemmacem kaya yang saya baca pas zaman residen dulu, kondisi mereka yang kaya gitu tu semacam jadi constant reminder buat saya bahwa yang terbaik untuk dilakukan adalah yang penting dan perlu; bukan yang banyak tapi membabi buta dan malah ga jelas sasarannya apa. Again, these kids jadi ngajarin saya to exert better self-control dan being less selfish; something I might not really learn well during my PPDS time terutama kalo dilihat dari history per-tinder-an saya.
Jadi ya gitu lah.
I'm still pretty much as stupid as shit and I'm nowhere near being that awesome staff, and no sign of me heading there either... but I'm doing what I can and I guess I'm quite happy with my current life. Wkwk. Kaya.. ngerasa udah bisa 'ngomong' ke manusia-manusia yang mungkin pernah mengupayakan ketidakbahagiaan saya, "Sorry, but you can't break me. I'm living me and I just can't care less about you..." dan ternyata itu aja udah cukup. Ternyata saya memang anaknya gampangan kalo urusan merasa puas dan bahagya π