Kalau anak saya ***T (biar nggak nongol di search engine njuk rame njuk memperumit hidupku sbg jomblo refrakter * tahun), saya akan bawa dia ke Skandinavia.
Bukan, bukan supaya dia bisa bebas jadi **B*, tapi justru agar dia mendapat
dukungan psikososial sebaik mungkin agar dia tidak mengambil keputusan yang salah.
Saya akan pastikan dia dapat CBT atau terapi psikodinamik terbaik untuk
memastikan bahwa ia didukung penuh secara kognitif dan emosional. Saya juga
akan mengambil sesi terapi saya sendiri untuk bisa mengkaji ulang apa
sebenarnya yang sudah terjadi pada pola asuh saya sehingga anak ini jadi harus mengeluarkan
energi cukup besar untuk membuat keputusan sulit ini, saat sebenarnya energi ini
bisa digunakan untuk hal lain yang mungkin bermanfaat untuk bangsa dan negara seperti
menganalisis sejarah gobag sodor demi pelestarian permainan
tradisional Indonesia. Tidak lupa, tentu saja akan ada sesi terapi keluarga di
mana kami bisa berdialog dengan lebih dalam lagi dalam upaya saling memahami;
agar bisa saling menguatkan, apapun nanti keputusan yang diambil.
Saya mungkin akan jadi menyadari bahwa pola asuh saya dan
pasangan saya memiliki peran yang signifikan dalam ‘membuat’ anak saya menjadi *G**. Mungkin saya atau pasangan tidak mendampinginya dengan cukup saat ia
melakukan eksplorasi terhadap orientasi seksualnya di masa kecil dulu. Bisa
juga dia melihat saya atau pasangan saya terlalu banyak melakukan hal-hal yang “non-conformist”
sehingga akhirnya dia mencontoh, dan merasa bahwa tidak ada salahnya saat ia
tidak melakukan apa yang dilakukan sebagian besar orang. Penjelasan lain,
mungkin saya dan/atau pasangan terlalu ikut campur terhadap semua aspek
kehidupan anak kami, sehingga ia tidak kuat dan memberontak -apapun cara
pemberontakannya- dan menjadi L*** ini adalah bagian dari pemberontakan ini. Bisa
jadi sebagai orang tua kami akan merasa menyesal atas kesalahan-kesalahan yang
kami lakukan, yang membuat anak kami jadi harus menjalani gaya hidup yang
hingga saat ini masih menjadi pro dan kontra banyak orang di berbagai belahan
dunia.
Di sisi lain, mungkin saya juga akan melihat bahwa tidak ada
yang salah fatal pada pola asuh saya dan pasangan. Kami sudah mendampingi anak sebaik
yang kami bisa, dan ia tetap begitu. Kami juga sudah mengajarinya untuk
mengikuti norma-norma di masyarakat, dan ia pun mau taat terhadap norma-norma
tersebut, kecuali untuk satu hal yaitu terkait orientasi seksualnya. Kami
mungkin juga sudah mengarahkan anak dengan cukup baik, tapi ia tetap memilih
untuk menjadi **** karena merasa bahwa… memang seperti itulah “program” di
otaknya. Itulah yang membuat dia bahagia.
Yang saya percaya, saat anak saya melakukan eksplorasi dan
pemikiran ulang untuk membuat keputusan sulit ini, dia perlu tenang. Ketenangan
inilah yang saya rasa tidak bisa dia dapatkan dengan mudah jika ia tidak
hengkang dari negara tempat saya tinggal ini. Terlalu banyak penduduk. Dari jumlah penduduk yang banyak
itu, meski tidak semua, mungkin cukup banyak juga yang mengatakan bahwa **** perlu berpikir jernih untuk bisa kembali ke jalan yang benar.. tapi mereka mengatakannya
sambil mengancam ini itu, yang bagi saya justru menjauhkan dari ketenangan dari berpikir
jernih. Yang saya khawatirkan, anak ini anak saya, dan saya punya cirikepribadian klaster B yang kemungkinan besar sebagian akan diwarisi juga oleh
anak saya. Orang-orang dengan ciri kepribadian klaster B, semakin ia ditekan,
semakin ia akan melawan dengan kuat. Saya khawatir, anak saya yang sebenarnya
mungkin hanya penasaran tentang ****, malah merasa tertantang karena hal ini
sepertinya begitu dilarang, dan akhirnya secara impulsif dia menjadi ****. Bukan
****-nya yang jadi masalah buat saya, tapi impulsifnya, karena keputusan yang
diambil secara impulsif akan kecil kemungkinannya untuk bisa tetap reliable dan
feasible dalam jangka panjang.
Dengan berbagai pertimbangan itu, yang jelas saya akan
memastikan bahwa anak saya tahu betul apa yang dilakukannya, dan
konsekuensi-konsekuensi yang perlu ia tanggung atas keputusannya itu. Saya tidak
religius, jadi kecil kemungkinan saya akan bicara dosa/pahala dan surga/neraka
ke anak saya. Paradigma saya juga cenderung sini-kini, bukan orientasi terlalu
jauh ke masa depan yang –per research- mempredisposisikan saya (dan mungkin
anak saya) pada gangguan cemas, karena sekali lagi, kalau dia cemas, kecil kemungkinan
bahwa dia akan membuat keputusan yang optimally adaptive. Dia harus tenang.
Saat dia sudah cukup yakin dan bisa membuat saya percaya
bahwa dia memang mengambil keputusannya dengan kontemplasi yang cukup, apapun
keputusannya, yang akan saya lakukan adalah memeluk dia sambil bilang,
“I’m so
proud that you’re willing to go through this process with such great courage. Anytime
you feel like re-thinking about this, anytime you feel like changing your mind,
anytime you feel like staying the same… that’s not changing the very basic fact
that I love you, and that’s pretty much all that you need to keep in mind. Do
you understand?”
And yes, that’s pretty much it. Sekarang tinggal nego bertahap
sama masnya, mau kapan bikin anak bareng… *eh
Angkat jempol tangan jempol kaki, Inke.
ReplyDelete- Mirna