Saturday, 6 February 2016

Kalau anak saya ****

Kalau anak saya ***T (biar nggak nongol di search engine njuk rame njuk memperumit hidupku sbg jomblo refrakter * tahun), saya akan bawa dia ke Skandinavia. Bukan, bukan supaya dia bisa bebas jadi **B*, tapi justru agar dia mendapat dukungan psikososial sebaik mungkin agar dia tidak mengambil keputusan yang salah. Saya akan pastikan dia dapat CBT atau terapi psikodinamik terbaik untuk memastikan bahwa ia didukung penuh secara kognitif dan emosional. Saya juga akan mengambil sesi terapi saya sendiri untuk bisa mengkaji ulang apa sebenarnya yang sudah terjadi pada pola asuh saya sehingga anak ini jadi harus mengeluarkan energi cukup besar untuk membuat keputusan sulit ini, saat sebenarnya energi ini bisa digunakan untuk hal lain yang mungkin bermanfaat untuk bangsa dan negara seperti menganalisis sejarah gobag sodor demi pelestarian permainan tradisional Indonesia. Tidak lupa, tentu saja akan ada sesi terapi keluarga di mana kami bisa berdialog dengan lebih dalam lagi dalam upaya saling memahami; agar bisa saling menguatkan, apapun nanti keputusan yang diambil.

Saya mungkin akan jadi menyadari bahwa pola asuh saya dan pasangan saya memiliki peran yang signifikan dalam ‘membuat’ anak saya menjadi *G**. Mungkin saya atau pasangan tidak mendampinginya dengan cukup saat ia melakukan eksplorasi terhadap orientasi seksualnya di masa kecil dulu. Bisa juga dia melihat saya atau pasangan saya terlalu banyak melakukan hal-hal yang “non-conformist” sehingga akhirnya dia mencontoh, dan merasa bahwa tidak ada salahnya saat ia tidak melakukan apa yang dilakukan sebagian besar orang. Penjelasan lain, mungkin saya dan/atau pasangan terlalu ikut campur terhadap semua aspek kehidupan anak kami, sehingga ia tidak kuat dan memberontak -apapun cara pemberontakannya- dan menjadi L*** ini adalah bagian dari pemberontakan ini. Bisa jadi sebagai orang tua kami akan merasa menyesal atas kesalahan-kesalahan yang kami lakukan, yang membuat anak kami jadi harus menjalani gaya hidup yang hingga saat ini masih menjadi pro dan kontra banyak orang di berbagai belahan dunia.

Di sisi lain, mungkin saya juga akan melihat bahwa tidak ada yang salah fatal pada pola asuh saya dan pasangan. Kami sudah mendampingi anak sebaik yang kami bisa, dan ia tetap begitu. Kami juga sudah mengajarinya untuk mengikuti norma-norma di masyarakat, dan ia pun mau taat terhadap norma-norma tersebut, kecuali untuk satu hal yaitu terkait orientasi seksualnya. Kami mungkin juga sudah mengarahkan anak dengan cukup baik, tapi ia tetap memilih untuk menjadi **** karena merasa bahwa… memang seperti itulah “program” di otaknya. Itulah yang membuat dia bahagia.

Yang saya percaya, saat anak saya melakukan eksplorasi dan pemikiran ulang untuk membuat keputusan sulit ini, dia perlu tenang. Ketenangan inilah yang saya rasa tidak bisa dia dapatkan dengan mudah jika ia tidak hengkang dari negara tempat saya tinggal ini. Terlalu banyak penduduk. Dari jumlah penduduk yang banyak itu, meski tidak semua, mungkin cukup banyak juga yang mengatakan bahwa **** perlu berpikir jernih untuk bisa kembali ke jalan yang benar.. tapi mereka mengatakannya sambil mengancam ini itu, yang bagi saya justru menjauhkan dari ketenangan dari berpikir jernih. Yang saya khawatirkan, anak ini anak saya, dan saya punya cirikepribadian klaster B yang kemungkinan besar sebagian akan diwarisi juga oleh anak saya. Orang-orang dengan ciri kepribadian klaster B, semakin ia ditekan, semakin ia akan melawan dengan kuat. Saya khawatir, anak saya yang sebenarnya mungkin hanya penasaran tentang ****, malah merasa tertantang karena hal ini sepertinya begitu dilarang, dan akhirnya secara impulsif dia menjadi ****. Bukan ****-nya yang jadi masalah buat saya, tapi impulsifnya, karena keputusan yang diambil secara impulsif akan kecil kemungkinannya untuk bisa tetap reliable dan feasible dalam jangka panjang.

Dengan berbagai pertimbangan itu, yang jelas saya akan memastikan bahwa anak saya tahu betul apa yang dilakukannya, dan konsekuensi-konsekuensi yang perlu ia tanggung atas keputusannya itu. Saya tidak religius, jadi kecil kemungkinan saya akan bicara dosa/pahala dan surga/neraka ke anak saya. Paradigma saya juga cenderung sini-kini, bukan orientasi terlalu jauh ke masa depan yang –per research- mempredisposisikan saya (dan mungkin anak saya) pada gangguan cemas, karena sekali lagi, kalau dia cemas, kecil kemungkinan bahwa dia akan membuat keputusan yang optimally adaptive. Dia harus tenang.

Saat dia sudah cukup yakin dan bisa membuat saya percaya bahwa dia memang mengambil keputusannya dengan kontemplasi yang cukup, apapun keputusannya, yang akan saya lakukan adalah memeluk dia sambil bilang, 
I’m so proud that you’re willing to go through this process with such great courage. Anytime you feel like re-thinking about this, anytime you feel like changing your mind, anytime you feel like staying the same… that’s not changing the very basic fact that I love you, and that’s pretty much all that you need to keep in mind. Do you understand?



And yes, that’s pretty much it. Sekarang tinggal nego bertahap sama masnya, mau kapan bikin anak bareng… *eh


1 comment: