Sunday, 24 June 2012

Selama sekian hari saya seperti itu


Selama sekian hari saya seperti itu: bangun pagi, mengintip dari sela-sela tirai penutup jendela, dan melihat apa lampu sudah menyala. Bertanya-tanya apa yang akan saya lihat kalau lampu sudah menyala, dan apa kira-kira yang tersembunyi saat lampu belum menyala. Berpuas diri dengan apapun yang saya lihat, karena.. memang begitulah seharusnya. Toh, masih ada sekian menit berikutnya..

Selama sekian hari saya seperti itu: makan tanpa banyak bicara, sambil memperhatikan yang lainnya. Mau gimana? Saya punya pikiran yang mudah terobsesi, and one stare could probably get me to thinking for the rest of the day, and no, i’m not letting that happen.

Selama sekian hari saya seperti itu: berjalan bersama, tanpa banyak bertukar kata. Sekedar jalan, tanpa benar-benar bertanya “Ini lewat mana?” Sebatas melihat plang nama-nama jalan, tanpa yakin akan mengingatnya karena mungkin yang bisa saya ingat cuma perjalanan itu sendiri: dua belas menit yang berharga, saat hanya ada saya, orang yang jalan bersama saya, dan seisi dunia lainnya ngontrak. Yah. Meskipun ibarat apartment room-mate, we’d be that kind of room-mate who barely talk to each other. It’ll be just me noticing him, and him not noticing me. Bodo amat. Pokoknya saya punya dua belas menit itu, dan hanya saya yang punya, orang lain nggak.

Selama sekian hari saya seperti itu: harap-harap cemas bahwa yang terjadi saat pagi tidak akan mempengaruhi performa profesional saya selama keseluruhan hari. Tidak selalu mudah karena kebetulan saya berada pada situasi di mana saya banyak ditanya tentang perasaan saya, dan di saat lainnya orang-orang mencurahkan perasaan pada saya. "Feeling" is like the last thing I’d love to discuss, tapi itu bagian dari apa yang saya kerjakan, jadi.. apa boleh buat.. Dan kalau saja ada yang ingin tahu apa yang saya rasakan, jawaban paling jujur adalah: saya merasa bersalah.

Selama sekian hari saya seperti itu: mencegah diri pulang terlalu dini agar nanti sampai di rumah tinggal ada capek, dan kemudian tidur. Demi meminimalisir interaksi, demi menjaga agar tak ada perasaan yang terbawa sampai ke dalam mimpi. Kalaupun ternyata saya belum capek –karena konon kabarnya saya punya stok energi yang agak berlebih- saya akan mencekoki diri dengan buku; sekedar memastikan bahwa memori terakhir yang saya bawa  tidur bukan ‘yang itu’.

Selama sekian hari saya seperti itu: membenci diri sendiri karena mengamati, mulai dari aktivitas, pakaian yang dipakai, atau koleksi DVD. Saya juga kesal karena mendengar: dialog, cerita, warna suara, dan merasakan berbagai hal dari situ. Saya tidak berani mengamati telapak tangannya karena takut apa yang saya lihat akan exaggerate things –atau menghilangkannya sama sekali. Entahlah, sepertinya saya hanya tidak ingin pengamatan dan pendengaran itu memiliki kesimpulan. Sebagian karena saya mungkin sudah tahu apa kesimpulannya –in which the conclusion is quite scary; sebagian karena saya melihat ada kemungkinan bahwa kejadian ini akan berulang, dan semoga saja nanti keadaannya akan berbeda.

Selama sekian hari saya seperti itu: meyakinkan diri bahwa saya bahagia saat melihat orang yang bahagia. Memang iya, saya bahagia. Tetap saja, ada nangisnya, karena bahagianya bukan bersama saya. Yah. Paling tidak, hari-hari itu (sementara) sudah berakhir.

No comments:

Post a Comment