Selama sekian hari saya seperti itu: bangun pagi, mengintip
dari sela-sela tirai penutup jendela, dan melihat apa lampu sudah menyala.
Bertanya-tanya apa yang akan saya lihat kalau lampu sudah menyala, dan apa kira-kira
yang tersembunyi saat lampu belum menyala. Berpuas diri dengan apapun yang saya
lihat, karena.. memang begitulah seharusnya. Toh, masih ada sekian menit
berikutnya..
Selama sekian hari saya seperti itu: makan tanpa banyak
bicara, sambil memperhatikan yang lainnya. Mau gimana? Saya punya pikiran yang
mudah terobsesi, and one stare could probably get me to thinking for the rest
of the day, and no, i’m not letting that happen.
Selama sekian hari saya seperti itu: berjalan bersama, tanpa
banyak bertukar kata. Sekedar jalan, tanpa benar-benar bertanya “Ini lewat mana?”
Sebatas melihat plang nama-nama jalan, tanpa yakin akan mengingatnya karena
mungkin yang bisa saya ingat cuma perjalanan itu sendiri: dua belas menit yang
berharga, saat hanya ada saya, orang yang jalan bersama saya, dan seisi dunia
lainnya ngontrak. Yah. Meskipun ibarat apartment room-mate, we’d be that kind
of room-mate who barely talk to each other. It’ll be just me noticing him, and
him not noticing me. Bodo amat. Pokoknya saya punya dua belas menit itu, dan
hanya saya yang punya, orang lain nggak.
Selama sekian hari saya seperti itu: harap-harap cemas bahwa
yang terjadi saat pagi tidak akan mempengaruhi performa profesional saya selama
keseluruhan hari. Tidak selalu mudah karena kebetulan saya berada pada situasi
di mana saya banyak ditanya tentang perasaan saya, dan di saat lainnya
orang-orang mencurahkan perasaan pada saya. "Feeling" is like the last thing I’d
love to discuss, tapi itu bagian dari apa yang saya kerjakan, jadi.. apa boleh
buat.. Dan kalau saja ada yang ingin tahu apa yang saya rasakan, jawaban paling
jujur adalah: saya merasa bersalah.
Selama sekian hari saya seperti itu: mencegah diri pulang
terlalu dini agar nanti sampai di rumah tinggal ada capek, dan kemudian tidur.
Demi meminimalisir interaksi, demi menjaga agar tak ada perasaan yang terbawa
sampai ke dalam mimpi. Kalaupun ternyata saya belum capek –karena konon
kabarnya saya punya stok energi yang agak berlebih- saya akan mencekoki diri
dengan buku; sekedar memastikan bahwa memori terakhir yang saya bawa tidur bukan ‘yang itu’.
Selama sekian hari saya seperti itu: membenci diri sendiri
karena mengamati, mulai dari aktivitas, pakaian yang dipakai, atau koleksi DVD.
Saya juga kesal karena mendengar: dialog, cerita, warna suara, dan merasakan
berbagai hal dari situ. Saya tidak berani mengamati telapak tangannya karena takut
apa yang saya lihat akan exaggerate things –atau menghilangkannya sama sekali.
Entahlah, sepertinya saya hanya tidak ingin pengamatan dan pendengaran itu
memiliki kesimpulan. Sebagian karena saya mungkin sudah tahu apa kesimpulannya
–in which the conclusion is quite scary; sebagian karena saya melihat ada
kemungkinan bahwa kejadian ini akan berulang, dan semoga saja nanti keadaannya
akan berbeda.
Selama sekian hari saya seperti itu: meyakinkan diri bahwa
saya bahagia saat melihat orang yang bahagia. Memang iya, saya bahagia. Tetap
saja, ada nangisnya, karena bahagianya bukan bersama saya. Yah. Paling tidak,
hari-hari itu (sementara) sudah berakhir.
No comments:
Post a Comment