Note: Ternyata tulisan ini jadinya lumayan ngaco. Salahkan saja jejaring #Partikel yang terlalu interrelating, saya jadi bingung kan mengorganisirnya gimana..
Selama ini saya sudah mencoba melakukan review untuk karya-karya lainnya, dan gagal. Alasannya sederhana: membuat review itu potensial untuk membutuhkan baca ulang, dan saat saya baca ulang yang terjadi adalah saya terhanyut lagi, nangis lagi, akhirnya gagal lagi dah bikin review. Haha. Bagaimanapun, #Partikel ini beda. Sepanjang membaca saya relatif tenang, tidak mengalami ‘cyclothymia kumat’ seperti yang biasanya diinduksi buku-buku Dee terdahulu. Makanya saya cukup yakin bisa menyelesaikan review ini dengan selamat *and guess what, I really do :) Halaman terakhir #Partikel berhasil saya capai dalam keadaan stabil yet fulfilled. Sempat nangis juga sih, tapi dikit banget; apalagi kalau dibandingkan dengan baca Rectoverso yang di halaman viii aja sudah bikin gelagapan cari tissue. Hedeh.
So. Mungkin ada baiknya kalau review ini dimulai dengan pengakuan: bahwa saya TIDAK menunggu #Partikel selama 8 tahun *ups. Saya baru mendapat ‘hidayah’ untuk mulai membaca KBPJ sekitar tahun 2005, menyadari bahwa cerita-ini-keren-parah-masyaowoh, lalu lanjut ke Akar yang ternyata –IMO- tidak semenarik KBPJ, tapi kemudian tereksitasi kembali dengan “Petir”. “Petir” is my favourite, meskipun memang –gotta say- #Partikel sejauh ini paling keren, bahkan lebih keren dari jejaring real/unreal-nya KBPJ. Kok bisa gitu? Nah ini dia yang akan dibahas..
It’s a personal view, actually. Saya selalu menganggap bahwa saya ber-elemen udara, yang pada buku Psikologi Tarot di-kontra-kan dengan elemen tanah alias bumi. Saat membaca Psikologi Tarot pada sekitar tahun 2008, saya jadi sedikit bisa memberikan rasionalisasi tentang mengapa saya lebih suka “Petir” daripada “Akar”: karena Petir itu ada di udara, dan akar itu ada di tanah. "Petir" memiliki concordance yang lebih tinggi dengan saya, jadi saya lebih suka "Petir". Maka saat #Partikel dengan simbol bumi di sampulnya muncul, sebenarnya saya tidak terlalu antusias dengan ceritanya *fans Dee garis keras tolong jangan bunuh saya dulu, review ini harus selesai!*. Saya antusias karena dua alasan: 1) #Partikel adalah karya Dee, dan sejauh ini saya belum pernah menemukan satu pun karya Dee yang tidak ‘menjawab’ antusiasme saya dengan baik; 2) Saya BUTUH tahu kelanjutan Supernova. Kalau sampai saya nggak tahu, lalu apa gunanya eksistensi saya di muka bumi ini? #eaaa
Baiklah. Singkat cerita *itu di atas udah panjang kale ceritanya*, akhirnya saya beli Partikel. Agak sengaja menunda baca selama sekitar 30 jam dari jam launching karena membaca #Partikel –seperti karya-karya Dee lainnya- butuh kesiapan jiwa raga. Well. Bagaimanapun, tetap ada kejutan. Setelah sekitar sehari menanggung cemas karena menahan diri, baca #Partikel ternyata memberi efek tranquilizing -bukan further adrenalizing seperti yang saya perkirakan sebelumnya..
Well. Ada beberapa aspek yang ternyata bisa sedikit dirunut di sini:
Secara umum. Kalau sebelumnya saya cenderung merasa kecil dan tak berdaya –meskipun saya tetap bahagia karena merasa begitulah seharusnya- setelah baca #Partikel saya merasa sedikit lebih ‘berdaya’. Mungkin karena saya jadi seperti diingatkan lagi bagaimana daya itu sebenarnya ada pada menghargai apa yang kita terima. Beberapa langkah ‘perdamaian’ yang sempat saya jajaki sebelumnya dan agak jalan di tempat karena ‘culture shock’ menjadi kembali termantapkan untuk bisa dijalani lanjutannya. Saya, si udara, tidak lagi ‘bermusuhan’ dengan si bumi yang tadinya saya anggap kontra bagi saya. Sekarang kelihatannya lebih seperti suatu kontinuum di mana saya si udara ada di satu sisi, sedangkan si bumi ada di sisi satunya, tapi sebenarnya kami segaris: saya bisa berubah secara gradual menyusuri garis hingga akhirnya menjadi si bumi, dan si bumi juga bisa berubah secara gradual hingga akhirnya menjadi si udara. Saya merasa ‘dipeluk’ oleh bumi, tapi secara bersamaan punya jarak yang cukup dari bumi itu sendiri; ibaratnya seperti ditelan paus dan melayang-layang di dalam perutnya tanpa menjejak bidang manapun. Pemandangannya tenang, statis, dan relatif aman, tapi selalu berputar, meski saya tidak selalu bisa melihat putaran itu.
The Guilt. Hal lain yang saya rasakan pasca membaca #Partikel adalah rasa bersalah tentang giant trashvortex. It somehow makes me feel that human are total assholes. I mean, trashes happen, but giant trash that extends twice as wide as France? Wow. We're fuckin guilty, dear fellow mankind..
Parenting and family interaction. Saya sedikit banyak merasakan apa yang dirasakan Zarah. Dalam keluarga paling fungsional sekalipun, namanya saling menyakiti pasti ada, meski kebanyakan terjadi secara tidak disengaja. Wajar. Namanya dekat, kalau suatu saat jadi terlalu dekat, yang namanya gesekan itu pasti tak terhindarkan. Makanya ‘jarak’ itu memang harus dievaluasi setiap hari, agar bisa selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Membaca #Partikel seperti membaca mama saya yang cerdas, suka riset, suka tanaman, rajin meditasi dan konon punya 'sixth sense'. Di rumah, sayalah yang paling sering berbeda pendapat (baca: bertengkar :p) sama mama. Sebagian besar becanda, tapi ada juga yang serius. Beberapa kali saya sempat bertanya-tanya, "Sebenarnya saya anak Mama bukan ya? We hardly have anything in common.", dan mama saya juga dengan becanda sering bilang, "Kok bisa ya aku punya anak kaya gini? Dulu ndidikku ki piye.." :p Ini misteri yang masih belum terjawab sampai sekarang, tapi yang jelas saya tahu: mama adalah orang terpenting dalam hidup saya. I hardly listen to her *oops* but she's kinda my bridge: dulu mama menjembatani kelahiran saya ke dunia, dan sekarang mama juga yang selalu jadi perantara kalau 'isi kepala' saya dianggap 'aneh' oleh orang-orang lain. Sampai sekarang saya masih sering bilang ke mama, "u're not gonna get me," tapi untuk seseorang yang sepertinya punya mindset yang banyak bertolak belakang dengan saya, mama jauh lebih mengerti saya dibanding hampir semua orang di dunia ini. And that's why, I trust her much, seperti Zarah percaya pada bumi. Mungkin ini alasan saya nggak banyak nangis saat baca #Partikel: karena saya merasa berhadapan dengan suatu energi yang familiar. Memang 'berjarak', intimidating, dan tidak bisa saya internalisasi; tapi energi ini begitu hangat dan akrab, dan saat saya mempercayainya, saya tidak perlu takut akan dikecewakan.
Love-life issues. Kebetulan saya sedang agak status-“phobia”, dan #Partikel ini semacam menguatkan pemikiran saya. Haha. Pembahasan tentang itu bisa dilihat di sini.
So.
That’s the review :) Saya merasa beruntung bisa menjadi salah satu pembaca #Partikel karena novel ini mengajarkan saya banyak hal. Yang lebih hebat, #Partikel tidak hanya memaparkan fakta, tetapi juga mendorong saya untuk lebih banyak lagi bertanya dan belajar, bukan semata-mata untuk jadi pintar, melainkan karena belajar itu adalah bagian dari upaya adaptasi sebagai makhluk hidup. Seperti kata Charles Darwin, makhluk hidup yang akan bertahan bukanlah yang terkuat, tetapi mereka yang mampu beradaptasi. Novel ini seperti memberi pelajaran tentang survival, and i guess learning about survival is somehow learning about life itself.
Conclusion: GREAT BOOK *bow low*
Baca ini jadi merasa kita ternyata ada kemiripan lagi nih hehehhee
ReplyDeleteHalo Nao :) we are indeed similar in some ways, i guess ;)
ReplyDelete