Saturday, 14 April 2012

Review of Indonesian Idol

Biasanya saya ngomongin vokal, tapi kali ini saya mau coba membahas dari aspek produksinya. Mengapa? Ada dua alasan: 1) Karena masalah-masalah vokal-nya tipikal --rata-rata disebabkan oleh kurangnya jam terbang, dan karenanya solusinya cuma satu: menambah jam terbang. Nggak ada pilihan lain. Ya udah, apa menariknya suatu pembahasan kalau tanpa pilihan? Hihi. 2) Biar saya belajar lebih mencermati produksi, karena toh keinginan saya sebenarnya jadi orang belakang layar. Well. I should start somewhere, and this could be my start ;)
 
Review ini mungkin akan cukup sotoy karena saya sendiri sebenarnya tidak punya banyak pengalaman menjadi ‘orang backstage’. Bagaimanapun, ada masa ketika saya cukup sering menjadi pihak yang on stage, juga menonton berbagai pertunjukan di atas panggung. Dari situ, saya mulai bisa memilah-milah: which are working, and which are not. Kebetulan, panggung Indonesian Idol yang sekarang ini punya cukup banyak aspek yang bisa dipelajari. So. In random order of aspects, let’s bitch it out :p

Seat penyanyi waktu menunggu
Gambar 1. Bar chair
Di babak eliminasi, seat yang digunakan untuk ‘menampung’ penyanyi yang tidak sedang menyanyi ini pendek sekali. Lebih mirip trap dua tingkat, masing-masing mungkin tingginya cuma 40 cm, ga bisa selonjor, ga bisa sandaran. Ini tidak menguntungkan untuk pengondisian pra-menyanyi. Dengan seat tanpa sandaran, posisi badan akan cenderung membungkuk. Selain itu kaki yang tidak bisa diselonjorkan atau ‘digantung’ ke lantai, membuat perut jadi tertekan dan kaku. Berkurangnya ‘fleksibilitas’ gerakan perut akan menyebabkan support nafas tidak maksimal. Akibatnya, power bisa menurun dan ketepatan dinamika dan mungkin bahkan intonasi jadi sulit dicapai.
Yang aneh juga, di babak eliminasi, sepanjang pertunjukan semua penyanyi ‘dipajang’ di sisi panggung (lihat gambar 2 no. 1). Ini tidak menguntungkan untuk penyanyi terakhir karena waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk vokalisi dan memposisikan tubuh, malah ‘terbuang’ buat nonton; padahal nontonnya dalam posisi tubuh yang tidak kondusif. Kalau memang terpaksanya peserta ‘dipajang’, sebaiknya diberi seat yang tidak mengganggu perut. Kursi bar yang tinggi sepertinya cukup. AmericanIdol juga pakai kursi ini, and i guess that happens for some functional reasons, not merely esthetic.

Big screen dan lampu warna merah di kanan kirinya
Nuansa panggung yang cenderung ke arah biru-hitam membuat deretan lampu warna merah di kanan kiri screen (lihat gambar 2, nomor 2) jadi seperti alien; nggak nyambung sama keseluruhan konsep. Pengaturan intensitas cahaya, gambar yang ditampilkan di layar saat lagu (lihat gambar 2, nomor 3), juga timing untuk menyalakan lampu-lampu panggung dan memberikan tampilan-tampilan di layar, IMO, banyak yang kurang pas. Akibatnya, lighting yang seharusnya bisa membantu ‘membangun suasana’ malah jadi pengganggu suasana karena pengerjaannya kurang terkonsep secara holistik. Kalau kita lihat film “This Is It”, di situ kalau nggak salah petugas lighting dan multimedia juga harus pegang run-down, tahu lagu demi lagu, dan tahu pasti isi lagunya, dan pada detik mana dia harus mengerjakan apa. Secara garis besar, mungkin tugas mengatur lighting dan multimedia relatif sama. Yang membedakan antara petugas bagus dan petugas ‘baiklah’ adalah perhatiannya terhadap detail. Kebetulan, petugas di Indonesian Idol sepertinya hanya sekilas membaca run-down untuk sekedar tahu pergantian aktivitas-aktivitas di atas panggung, tanpa banyak mengurus detail di dalam masing-masing aktivitas tersebut. Well. Mungkin lho, saya ga tahu pasti juga..
Gambar 2. Panggung 15 besar Indonesian Idol. Lampu (no. 2) bisa berubah jadi merah yang ga nyambung sama keseluruhan stage yang bernuansa biru-hitam

Musik ajeb-ajeb
Penggunaan musik ajeb-ajeb sebagai pengiring sebenarnya bagus untuk membangun suasana yang intens dan up-beat. Masalahnya, kalau Anda –katakanlah- harus menyanyi atau berolahraga diiringi musik dengan kecepatan >100 bpm selama DUA JAM, ya capek. Selain itu musiknya monoton: variasinya hanya pada volume tanpa ada variasi nada / variasi instrumen sama sekali. Mirip bunyi-bunyian yang biasanya digunakan untuk menginduksi keadaan trance. Kalau orang habis trance, biasanya waktu ‘sadar’, bakal capek banget. Jadi kalau ada di antara Anda yang mungkin merasa lelah habis nonton Indonesian Idol, bisa jadi penyebabnya adalah musik ini. 
Untuk menciptakan variasi dari musik ini sebenarnya ga terlalu ribet (kayanya si). Ada setidaknya tiga pilihan: 1) (kalau memungkinkan) transpose nada dasarnya setiap sekian menit, manfaatkan transpose 1,5 not yang sakti itu untuk mengubah suasana; 2) beri melodi, jangan hanya rhythm. Para personel home band mungkin bisa diberdayakan secara bergantian untuk mengisi melodi. Semacam latihan fingering ngasal kayanya juga gapapa, yang penting chord-nya masuk. 3) (kalau memungkinkan juga) beri variasi di tempo. Well. Mungkin ada cara-cara yang lain, tapi yang jelas, u cant just press the “ON” button, adjust the volume, and leave. There should be something more to do with that music.

Komentar juri 
Raditya Dika. The next Indonesian Idol judge? :p
Sebenarnya komentar-komentar juri kali ini kebanyakan cukup masuk akal; bohongnya nggak kebangetan. Yang bikin agak jayus, mereka sepertinya nggak terlatih untuk punya punch-line. Akibatnya, waktu selesai ngomong, nadanya masih ‘mengambang’ –kaya belum selesai- dan juri berikutnya jadi harus ‘disenggol’ untuk menyampaikan komentarnya. Mungkin para juri perlu latihan bersama para comic; selain biar punya punch line, kali aja bisa jadi lebih lucu, jadi lebih entertaining.
Hal lain yang, IMO, cukup mengganggu adalah bahwa komentar juri disampaikan tanpa back-sound. Sepi. Padahal mereka ngomongnya dengan intonasi yang relatif datar. Ditambah efek sisa dari musik ajeb-ajeb yang dibunyikan secara sporadis, ketiadaan back-sound dan intonasi yang datar ini menggiring pada satu keadaan: ngantuk. 

Penonton
Sepertinya banyak penonton datang ke tempat itu untuk mendukung satu atau dua kontestan saja, bukan untuk menikmati the whole show. Akibatnya, antusiasme-nya tidak bisa dipertahankan selama keseluruhan acara. Sorakan-sorakan yang ada jadi terkesan tidak spontan dan setengah hati. Cara ‘menarik vote’-nya pun bersifat person-based, bukan performance based. Entahlah, mungkin penonton Indonesia memang belum bisa dikondisikan untuk being into-the-show..

Home band
Aransemen DAN sound engineering: dua aspek yang harus dipenuhi untuk jadi home band yang solid. Home band Indonesian Idol yang ini, IMO, punya potensi yang bagus untuk aransemen. Sayang, sound engineering-nya agak ‘membingungkan’. Pengaturan volume instrumen-instrumen yang menyusun band sepertinya hanya dilakukan di awal, dan tidak dimodifikasi lagi selama show. Padahal, lagu yang berbeda bisa saja membutuhkan pengaturan balans volume yang berbeda juga. Selain itu, pemilihan ‘timbre’ untuk alat-alat tertentu (mis. gitar dan keyboard) juga terasa kurang dipertimbangkan dengan detail; sepertinya karena kurang maksimalnya penghayatan terhadap genre lagu dan karakter penyanyi yang membawakannya. Kebetulan di babak spektakuler kemarin, ada kesalahan yang menurut saya fatal: kejar-kejaran tempo; dan ini membuat saya jadi bertanya-tanya, ini home band ada conductor-nya ga si? Kalau kepekaan temponya masih gini, kayanya masih butuh conductor de..
Yah. Sepertinya memang butuh jam terbang tinggi bagi seorang band leader untuk bisa ‘megang’ keduanya: aransemen dan sound engineering. Orang yang bisa bikin aransemen bagus mungkin ada banyak, sound engineer yang bagus mungkin juga banyak. Bagaimanapun, yang bisa ‘megang’ dua-duanya, IMO, di Indonesia ini cuma ada dua: Andi Rianto yang sukses ‘megang’ Magenta Orchestra, dan Addie MS yang berhasil menghasilkan bunyi-bunyi magis bersama Twilite Orchestra.
Satu hal yang saya salut dari home band ini adalah backing vocal-nya yang blend dan –so far- belum pernah terdengar fals. Wonder why they don’t take the main stage instead of being the backing vocals..

Durasi dan Drama
Durasi lumayan si. Agak dipanjang-panjangin, tapi nggak yang sampai sampah banget manjanginnya. Drama ada, dan agak lebay, tapi nggak sampai bikin emosi juga. Yah. Seharusnya bisa lebih efisien si, tapi we’re Indonesian, anyway. Paling nggak, drama bukan aspek dominan dari acaranya. Besides, we LOVE drama, don’t we? :p

Pemilihan bintang tamu
I thought it was a singing show, dan bintang tamu yang dipilih untuk babak spektakuler yang pertama adalah 7 icons yang nyanyi LIP-SYNC. Helloh. Bukannya bintang tamu itu harusnya yang bisa jadi role model untuk peserta ya? Kalau role model-nya aja lip-sync, apa itu artinya Indonesian Idol akan mencetak penyanyi-penyanyi spesialis lip-sync? Ieuh. And I thought mencetak-penyanyi-kelas-dua is not-so-good already --'a


Baiklah. Sekian review untuk aspek produksi. Thoughts? :D


1 comment:

  1. Sound engineernya Indonesian Idol SELALU SAMPAH!!!!!

    Kesel banget gw kalo denger mixingannya sound engineer Indonesian Idol. Kok kayaknya gobloknya kebawa terus ya dari Indonesian Idol yang pertama (tahun 2004).
    Mungkin kalo dengerin langsung dipanggung bagus, tapi yang pasti kalo denger di TV suaranya SAMPAH TOTAL!!! Ga ngerti ngatur volume, equalizer, kompresor, dan lain sebagainya

    ReplyDelete