Sunday, 11 March 2012

The Fall-In-Love Experience

Mungkin saya sudah pernah menulis tentang ini ratusan kali sebelumnya, dan banyak orang juga telah menuliskan hal yang sama. Toh, topik ini tidak pernah jadi membosankan. Jadi, mari kita coba.

Saya cenderung mudah jatuh cinta, siklusnya kira-kira setahun sampai dua tahun sekali. Hehe. I fall hard most of the time, until reality slaps me in the face, dan segala kegilaan itu tiba-tiba berhenti begitu saja. Meskipun beberapa nama bisa 'relaps' (dengan periode full recovery di antara dua episode), jarang kejadian jatuh cinta atau ngeceng atau apalah itu namanya menjadi kronis (lebih dari 2 tahun) kecuali pada satu kasus, dan inipun sudah sepenuhnya saya relakan dan saya juga sudah sepenuhnya move on dari cerita-4-tahun itu. Permasalahan saya sekarang bukan di move-on atau stuck, punya pasangan atau enggak; permasalahannya lebih kompleks (atau lebih sederhana? entahlah) dari itu. Pertanyaannya adalah “mengapa?” dan pertanyaan ini membutuhkan jawaban deskriptif, bukan sekedar ya atau tidak.

Berbeda dengan kehidupan saya di zaman pleistocene yang lebih banyak dipusingkan dengan membedakan mana yang ‘suka serius’ dan mana yang sekedar ngeceng, saat ini saya cenderung merasa bahwa jatuh cinta itu adalah bagian dari konspirasi suatu sistem yang besar. Mengingat bahwa trait individualistik / egosentris / independency-craving saya cenderung tinggi most of the time, saat berhadapan dengan sistem –yang artinya di situ ada pihak-pihak selain saya yang terlibat- reaksi saya adalah, “Ieuuuhh..”. Bukan ieuh jijik sih, tapi lebih seperti ieuh saat saya ingin molor di hari Minggu dan tiba-tiba ada sms yang mengingatkan bahwa hari itu ada job manten :p I’ll go and sing heartfully anyway, tapi jarang sekali saya 100% menikmatinya karena.. itu pekerjaan. Saya di sana karena suatu alasan; mungkin setengah karena kebutuhan, tapi tidak banyak yang terjadi murni karena keinginan.

Keberadaan ‘sistem’ ini mulai saya rasakan di hubungan pacaran saya yang lalu, yang dimulai hampir 5 tahun yang lalu, dan berakhir setahun sesudahnya. Bersamaan dengan ‘jabatan’ yang saat itu saya pegang, selama setahun itu saya terkaget-kaget karena ada banyaaaaaaaaaaakkk sekali ‘label sosial’ (agama, umur, ras, pekerjaan, jabatan, dll.) yang mendadak terhampar di depan mata saya, and i was like, 
“How can i not see all these things? sebelum ini saya tinggal di planet mana sih?” 
It was overwhelmingly SUCKS. Haha. I thought the feeling of love itself is complicated already, dan ternyata perasaan ini hanya bagian kecil dari sebuah SISTEM? Holy shit, can i just please get out of this?

Tentu saja saya tidak bisa keluar, karena perasaan itu sudah inheren di dalam diri saya, dan semua manusia; meski masing-masing orang memaknainya berbeda. Jadi begitulah, saat masa pacaran selesai, i start falling in love again. Buat saya prosesnya semacam selalu sederhana, semudah satu-dua-tiga, dan taraaaa! Lalu jatuh cinta. Sekalipun pemahaman saya sudah bergeser karena penyadaran akan adanya sistem itu tadi, jatuh cinta tetap merupakan suatu kejadian yang.. undefined. Tidak asing, tapi selalu saja tidak bisa diantisipasi. Sekalipun saya –dengan pemahaman baru ini- jatuh cinta pada ‘orang lama’, bukan berarti kemudian saya otomatis tahu harus begini atau begitu. Mengapa? Karena semua di alam semesta ini selalu berubah: saya, dia, dan segala konspirasi yang menyebabkan perasaan itu jadi ada, lalu tidak ada, lalu ada lagi.. dan seterusnya. Pola memang ada, tapi tetap saja tidak bisa dijadikan patokan yang saklek. Hasil akhirnya tetap tidak bisa diduga, kadang bahkan tidak ada hasil akhir sama sekali: jalan berbelok begitu saja, dan saya tidak lagi sempat menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi di persimpangan. Ya sudah, lihat ke depan saja, daripada malah sakit leher gara-gara noleh ke belakang mulu..

Satu pelajaran lagi yang saya dapat dari pengalaman jatuh cinta dengan orang yang sebelum sekarang: bahwa ternyata –bagi sebagian besar orang- cinta itu punya target. Saya cenderung beranggapan bahwa cinta itu adalah sesuatu yang magnificent, even bigger than life itself, karena cinta membentang melewati batas ruang waktu. Lalu pada suatu siang, saya bertemu teman yang bertanya, “Gimana kabarmu sama si itu? Gimana progressnya?” dan saat itulah saya merasa, “Oh. Gitu itu pake progress-progress-an ya?” tapi saya hanya semacam garuk-garuk kepala sambil bilang, “Yah. Doakan saja,” dengan ekspresi artis-baru-jadian-diwawancarai-infotainment (mungkin sekalian latihan, ya kale beneran ntar jadi pacar artis *ditabok*). Mau bilang apa lagi? Saat kita cuma bagian kecil dari suatu sistem yang begitu besar, kadang yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat sebaik mungkin, kemudian berdoa agar yang kita lakukan tidak salah, atau paling nggak, tidak mengganggu stabilitas sistem. Mungkin.

Sekitar tahun 2006 pada suatu momen yang mungkin dapat dikategorikan sebagai jatuh cinta, saya sempat berdoa, 
“Tuhan, lain kali saya jatuh cinta, saya ingin tetap waras karena sakit sekali gila sendirian kaya begini..” 
dan doa saya dikabulkan Tuhan. Tetep aja saya pusing, karena dalam kewarasan itu saya menyadari bahwa yang namanya cinta itu emang nggak waras, dan kalau dilawan pasti kalahnya. Pilihan saya cuma kembali ke ketidakwarasan dan.. itu bukan benar-benar pilihan. Doh rempong dah pokoknya. Entahlah. We -human- are just too tiny to even question about this whole fuckin’ huge system, and it’s even more silly the way we try to put limits on it. Kalimat-kalimat semacam, “Udah jadian belom?” “Kapan nikah?” atau “Gimana progress-nya?” seperti di atas.. jatuh cinta itu ya jatuh aja. Progress apa yang seharusnya terjadi dari sebuah... jatuh? Jatuh lebih dalam? Lha kalau jatuhnya nggak ke dalam ‘lubang’, apa iya saya harus gali lubang biar bisa jatuh lebih dalam? Atau mungkin... bangun dari jatuh? Hla kalau saya lebih PW di posisi jatuh dan dengan penuh kesadaran menyengaja untuk tidak bangkit, apa itu artinya saya a useless sentimental fool? Somehow putting target(s) on your love life means you’ve put yourself on a 50/50 chance of success/failure, dan jujur saya belum siap untuk itu. IMO, angkanya selalu 50/50, manusia aja yang kadang delusional dan beranggapan bahwa satu kemungkinan lebih besar daripada yang lainnya, meski sebenarnya tidak. Nggak tahu juga sih..

Saat ini, yang saya tahu, saya sedang jatuh cinta dengan seseorang yang tampaknya tidak bisa saya miliki, dan mungkin memang tidak ingin saya miliki. Saya ‘mengendap’ dalam perasaan itu, tidak benar-benar melakukan apa-apa, dan hanya menikmati saja bagaimana rasanya. Apakah saya tidak membuat progress? Belum tentu, karena toh semua hal sebenarnya bergerak. Entah cepat atau lambat, maju atau mundur, gerakan itu ada; dan dari gerakan-gerakan itulah, kita menyadari keberadaan berbagai hal, termasuk yang namanya cinta. Bahkan sebelum saya menyadarinya, cinta itu sudah membawa saya bergerak –tumbuh dan berkembang- ke mana-mana; dan meskipun saya tidak lagi menanti, cerita ini sama sekali belum selesai. Sebaliknya, cerita mungkin baru saja dimulai.

So. Guess I'll just ride on anyway ;)

1 comment:

  1. like this yooo..sedikit bnyk persamaan dgn pemikiranku hehe

    ReplyDelete