Thursday, 30 October 2014

A sneak peek to "Kursi Kosong"

NOTE: So I'm currently working on a novel called "Kursi Kosong", Hopefully I will have enough willingness and attention span to finish this, so it will not end up being abandoned like my previous writings :p Here's a little sneak peek to the writing. Do let me know what you think about it. Thanks!
P.S: This project is one third catharsis, one third 'curcol', and one third trying to prove to myself that I'm not that bad as a student; so... please just bear with it :p


Setelah sedikit basa-basi, kami sempat melanjutkan topik (semacam) ilmiah yang kami bicarakan sebelumnya, tapi... tidak butuh waktu terlalu lama untuk sama-sama sadar bahwa bukan itu sebenarnya ingin kami bicarakan. Jadi, muncullah pembicaraan tentang menu makanan yang kami pesan, yang diikuti topik-topik random lainnya seperti buku favorit, sudut apartemen yang paling sulit dibersihkan, pemandangan yang terlihat dari jendela kantor kami masing-masing, dan juga tentang giant trash vortex. Saat dia akhirnya sekali lagi mengantar saya untuk berjalan pulang pada sekitar jam 10 malam, dia minta nomor telepon saya. Tidak sampai lima menit kemudian, dia menelepon, sekedar memastikan bahwa saya sudah sampai dengan aman di kamar saya yang berada di lantai 7, dan menutupnya dengan “See you soon.” Beberapa hari berikutnya kami sekedar saling berkirim pesan teks, sampai akhirnya bertemu lagi pada Jumat malam dan Minggu pagi. Rutinitas tiap Jumat dan Minggu ini terus berlangsung sampai sekitar dua bulan berikutnya, di mana akhirnya kami juga bertemu pada hari Rabu.
Pada hari Rabu kedua, ia mulai menggandeng tangan saya saat kami menyeberang jalan. Saat kami tiba di depan apartemen saya pada sekitar jam 11 malam, dia mencium saya sekilas sebelum saya melepaskannya, dan dia berkata, “See you soon” dengan senyum yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Saya membalas ucapannya, dan berjalan masuk ke dalam bangunan apartemen seperti biasa. Begitu pintu ditutup dan dia sudah pasti tidak bisa melihat saya lagi, saya kena semacam serangan panik. Mungkin itu memang serangan panik.
Ada kalimat yang mengatakan bahwa jatuh cinta itu rasanya seperti “there’s a butterfly in your stomach.” Yang saya rasakan saat itu mungkin analog dengan ungkapan tersebut, tapi saya cukup yakin bahwa yang ada di perut saya itu bukanlah sesuatu yang se-cute kupu-kupu. Makhluk ini sepertinya merupakan produk konspirasi wahyudi yang belajar khusyuk pada Songoku dan Bezita sehingga bisa membentuk fusion a.k.a makhluk hibrid antara ptereodactyl dan velociraptor yang lupa minum obat ADHD, yang kemudian dimasukkan ke perut saya dengan bantuan senter pengecil Doraemon. Rempong banget! Perut saya sebegitu gemuruhnya, dan untuk pertama kalinya dalam enam bulan, saya naik lift ke lantai 7, bukan naik tangga seperti biasa. Di dalam lift, saya masih harus bekerja keras melawan keinginan untuk jongkok dengan berulang kali memberi sugesti pada diri saya sendiri: stand up, damn it. You’re fine, you’re just experiencing something new, and your body needs time to adapt. Berulang-ulang saya mengucapkan ‘mantra’ itu di sepanjang perjalanan saya dengan lift yang terasa lamaaaaa sekali, dan saat akhirnya saya bisa masuk ke dalam ruang apartemen saya dan mencapai sofa, rasanya begitu lega.
Setelah makhluk hibrid di dalam perut saya menjadi lebih jinak (mungkin ada yang memberinya injeksi haloperidol 5 mg dan lorazepam 2 mg), saya mulai bisa mengatur nafas saya dan mencoba mengurai sedikit demi sedikit apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya. Ciuman tadi itu berlangsung tidak sampai 10 detik. It wasn’t even a proper kiss, I didn’t kiss him back. Damn it, why didn’t I kiss him back? Rasanya seperti kena mantra pelumpuh; otak, badan, dan realita saya semua berjalan sendiri-sendiri; and it was just a kiss. Buat saya. Buat dia, mungkin itu sekedar ramah tamah, tidak ada yang salah. Kami sudah menghabiskan cukup banyak waktu bersama selama beberapa bulan terakhir... untuk mengobrol. Dan selalu hanya ada kami berdua. Mungkin dia mendadak sadar bahwa saya memiliki jenis kelamin yang berbeda dengannya, dan heran sendiri mengapa dia tidak pernah bernafsu untuk grepe-grepe. Mungkin dia ingin memastikan bahwa orientasi seksualnya masih hetero, dan karenanya dia melakukan hal itu pada saya untuk testing. Mungkin dia sadar bahwa saya akan bisa menemukan penjelasan rasional untuk apa yang dia lakukan, sehingga tidak ada yang tersakiti. Tidak ada GR berujung misleading yang nantinya akan merepotkan dia saat si cewe menuntut “sebenarnya hubungan kita ini gimana sih?” atau semacamnya.
Di satu sisi, penjelasan yang saya susun sendiri ini membuat saya cukup nyaman karena it’s well elaborated, masuk akal, dan saat saya merasa masuk akal, saya jadi merasa lebih percaya diri. Sayangnya, di sisi lain, saya juga jadi sadar bahwa saya sudah menghabiskan sekian banyak waktu dengan laki-laki satu ini tanpa digrepe-grepe, yang artinya saya merasa aman saat bersama dia. Saat saya merasa aman, saya merasa nyaman dan lebih leluasa untuk menikmati kedua matanya yang memiliki warna yang ada di tengah-tengah spektrum hijau-biru, kerut di antara dua alis yang berusaha dia sembunyikan tiap kali ia merasa bahwa ada yang ‘off’ dengan kalimat yang belum saya selesaikan, juga membayangkan bagaimana ia langsung tampak seperti brondong fresh graduate saat jenggot dan kumisnya dicukur bersih. Saat saya merasa nyaman, saya tahu saya akan mencarinya lagi, sekedar untuk bisa menghabiskan waktu bersama dia, apapun alasannya. Saya... takut kecanduan dan tidak bisa lepas. Padahal itu cuma ciuman sekilas; it’s not even a proper kiss.
Jadi saya tidak mengangkat telepon yang biasanya berdering sekitar 5 menit setelah saya masuk apartemen; sebagian karena saya masih dalam periode mengumpulkan nafas, sebagian karena saya mulai mempertanyakan apa yang saya jalani dengan dia selama ini tanpa saya sadari sudah merusak (atau malah membangun?) diri saya sendiri. Bagaimana kalau pasca kejadian ini, saya berubah jadi cewek-cewek needy yang menuntut kejelasan atas status hubungan kami? Padahal jelas-jelas dia mengatakan dia sedang mencoba menjajaki hubungan dengan seorang cewek lokal bernama Sandy –mereka kencan tiap malam minggu, karena itulah kami tidak bertemu pada hari itu; dan hubungan saya dan dia adalah sekedar teman. We enjoy each other’s companion, and that’s it. Kejadian ini membuat keadaan jadi sulit, paling tidak untuk saya.
Untuk pertama kalinya, saya juga jadi sadar bahwa mungkin saya sudah jatuh cinta sama makhluk satu ini, padahal... phew. Saking lamanya jomblo karena sibuk mencoba memahami Freud, Adler, Jung, Maslow, dan segala teman-temannya itu, saya sampai lupa kapan terakhir kali jatuh cinta –atau apapun semacamnya. Kejadian itu, yang terjadi dalam waktu kurang dari 5 detik, membuat saya mendadak ingin mengumpat semua ilmuwan ‘pembedah jiwa’ itu; karena tidak ada satupun dari mereka yang punya penjelasan yang cukup solid dan spesifik tentang fenomena yang disebut jatuh cinta ini. Mungkin mereka juga mendadak goblog saat sedang jatuh cinta, sehingga akhirnya jadi tidak kompeten untuk memformulasikan teori apapun tentang peristiwa ini. Sial.

No comments:

Post a Comment