Sunday, 16 August 2015

Tentang penelitian dan presentasi di konferensi nasional dan internasional

Jadi sebenarnya untuk urusan ini saya juga relatif masih “awam” dan tidak berpengalaman; Bu Susi sepertinya lebih tahu. Meskipun begitu, dari pengalaman saya yang sedikit itu, ada beberapa hal yang mungkin ingin saya bagi, sekaligus menjawab beberapa pertanyaan yang akhir-akhir ini sepertinya sering saya dapat misalnya “kapan nikah?” atau “perasaan kamu sudah jomblo sejak zaman pleistocen. Nggak bosen?”

Baiklah. Ini dia.


“Kamu mau banget sih susah-susah penelitian. Nggak capek tuh?”
Capek lah. Tapi karena motivasinya untuk bisa jalan-jalan dengan alibi presentasi di event nasional dan internasional serta untuk menambah track record, mau nggak mau harus mau.

"Gitu tu harus bikin proposal ya? Kan susah tuh.. "
Nggak harus, tapi sebaiknya bikin. Proposal itu fungsinya sebagai rencana kerja kita. Memang ribet, tapi saya pribadi lebih suka pusing di awal, dan tinggal jalan dengan sedikit penyesuaian nantinya; daripada ngasal di awal dan di belakang kelabakan. Jadi saat bikin proposal, di latar belakang tu kita menentukan tujuan penelitian ini apa, jadi kita bisa fokus ke tujuan itu, dan kalaupun ada pengembangan dari penelitian ini, kita mengembangkannya dengan terencana, nggak impulsif. Saat bikin tinjauan pustaka, kita akan punya gambaran seberapa banyak orang yang sudah mengerjakan apa yang kita kerjakan, dan topik-topik apa saja yang bisa terkait dengan penelitian kita. Saat bikin metodologi, kita belajar mendefinisikan rencana kita bisa terlaksana atau tidak, jadi kalau nanti --yang sering terjadi-- petinggi di institusi kita atau orang kurang kerjaan manapun komentar "Oh variabel yang ini nggak sekalian dimasukin?" kita bisa menjawab tentang perlu tidaknya variabel ini berdasarkan pustaka dan rencana metodologi kita. Jadi nggak sekedar, "Oh. Dimasukin ya?" dengan wajah nggak ikhlas yang tidak berguna gitu. Proposal juga berguna saat kita mau mengajukan ethical clearance,perizinan, dana hibah, dan semacamnya.

"Oh. Ada ethical clearance dan perizinan ya? Ribet nggak ngurusnya?"
Tiap institusi sepertinya punya kebijakan yang berbeda-beda tentang ethical clearance dan perizinan. Di tempat saya sih relatif nggak susah banget, tapi kalau mau aman, alokasikan satu atau dua bulan untuk mengurus ini. Nanti kalau bikin proposal, cantumkan jadwal pengurusan ini di time-table penelitian.

“Duh. Kayanya serem amat.. kalau mikirin birokrasi gitu, bikin ide jadi buntu. Gimana caranya cari ide nih?”
Baca. Observasi sekitar, lalu bandingkan dengan apa yang dibaca, cocok atau enggak. Kalau cocok, deskripsikan jadi penelitian deskriptif. Kalau nggak cocok, bikin penelitian analisis yang sekiranya menjelaskan apa yang menjadi penyebab ketidakcocokan itu.

“Baca? Harus ya? Aku bukan orang yang suka baca..”
Ya sudah nggak usah meneliti. Tidur aja sambil ngitungin domba kaya Mr. Bean.

“Iya deh aku baca. Tapi boleh nggak sih bikin penelitian yang sederhana aja? Misalnya menentukan hubungan antara variable x dan variable y gitu aja. Bisa nggak? Soalnya seingatku sudah ada yang bikin penelitian kaya gini sebelumnya deh..”
Bisa. Kenapa enggak? Kalau penelitian itu memang orisinil; dalam arti belum dilakukan di populasi yang mau Anda teliti; atau dilakukan di populasi yang sama pada periode waktu yang berbeda, boleh kok. Toh data di suatu populasi harus di-update; Gimana cara update-nya? Ya dengan penelitian.

“Nanti kalau penelitianku ecek-ecek gimana…”
Kalau penelitiannya sudah ecek-ecek ya berarti tinggal dinyanyiin lagunya Naif yang “Mengapaaaa aku beginiii.. Jangan kaaaau mempertanyakaaan,” maka lengkap sudah hidup kita sebagai waria.
*kembali ke laptop.
Pada dasarnya, nggak ada penelitian yang ecek-ecek. Yang ada tu penelitian yang nggak digarap beneran sehingga terlihat ecek-ecek. Apalagi kalau motivasinya semata-mata biar lulus tanpa ada niat untuk belajar, dan sejak awal niatnya sudah “aku ngerjain yang kaya gitu aja deh, kan sudah ada contohnya, biar gampang.” Kalau semua cuma mau mengerjakan yang sudah ada contohnya, gimana caranya ilmu bisa berkembang? Kalau ilmu nggak berkembang, gimana caranya ilmu bisa adaptif? Kalau nggak adaptif, gampang musnah dong..

“Kamu ngomong apa sih kok pake musnah-musnah segala?”
Err.. abaikan. Sometimes I get a little bit too drowned in the Darwinian evolution theory.

“Oke. Trus kamu kok bisa tahu kalau ada event nasional atau internasional gitu gimana caranya sih?”
Kadang tahu dari teman, sering kali dari internet. Kalau untuk psikiatri, googling aja pakai keyword “psychiatry conference 2016” atau bisa juga pakai keyword “mental health”, atau topik-topik spesifik seperti “bipolar” atau “schizophrenia”. Biasanya ada web yang menyediakan daftar event yang diselenggarakan di tahun itu. Lebih mudah kalau Anda punya lokasi dan bidang (sub spesialisasi) yang diminati.

“Kalau sudah ketemu event-nya, biasanya ngapain?”
Kirim abstrak. Kalau masih baru kaya gini, biasanya kirim abstrak untuk presentasi oral atau poster. Untuk presentasi oral biasanya durasi presentasinya 5-10 menit dengan 5-10 slide ppt.Untuk poster, biasanya bikin poster terus ditungguin dan dipresentasikan ke panelis yang akan muter untuk menilai poster kita. Ada juga sih konferensi yang posternya tinggal dipasang aja dan nggak harus ditunggui.”

“Waduh. Kalau ditanya-tanya terus aku nggak bisa jawab, gimana? Kan malu…”
Ya bilang aja kalau nggak bisa jawab. Biar nggak malu, ya dipersiapkan presentasinya, jadi bisa jawab. Lagian kalau yang meneliti kita sendiri, masa iya kita nggak ngerti apa yang kita teliti?

“Ya itu memang penelitian atas namaku sih, tapi aku bayar orang buat ngerjainnya, jadi aku nggak terlalu ngerti..”
Ya itu masalahmu sih, bukan masalah guweh *emot ngremus krupuk

“Aku sebenarnya pingin tanya-tanya, tapi malu.. ntar pertanyaannya bodoh banget trus aku jadi kelihatan bodo..”
Kalau sudah punya pertanyaan, itu artinya sudah ada upaya mikir. Kalau sudah ada upaya mikir, berarti bodoh pun biasanya nggak bodoh-bodoh banget. Tanya aja.

“Hmm.. oke. Terus kalau ada teman yang nggak punya afiliasi dengan institusi manapun, bisa nggak dia ikut acara-acara kaya gitu dan presentasi di sana?”
Boleh. Kenapa enggak? Kalau bidang kedokteran, data dari praktik swasta juga penting. Tulis aja private practicioner dengan cakupan praktik di daerah manaaa gitu. Nambah SKP IDI juga kan..

“Bener-bener presentasinya itu harus penelitian ya?”
Enggak. Bisa tinjauan pustaka juga. Penelitian pun bisa banyak macamnya: case study, case series, penelitian biologi molecular, komunitas, dsb. Yang penting sesuai topik acara.

"Trus abstraknya itu harus Bahasa Inggris ya? Gimana caranya nulis abstrak Bahasa Inggris? Aku nggak bisa bahasa Inggris ni.."
Nggak selalu. Cara nulisnya sesuai panduan penulisan abstrak di web acaranya, biasanya sudah ada. Kalau nggak bisa Bahasa Inggris, belajar.

“Kalau aku sudah maju tapi (residen) seniorku belum maju, nggak enak sih sebenarnya..”
Nggak usah pake nggak enak nggak enakan. Kalau ada kesempatan maju, sedang ingin maju, dan memungkinkan untuk maju, maju aja. Kalau junior bisa lebih bagus dari seniornya, itu artinya sistem pendidikannya terus berkembang dan ada progress. Kalau gitu-gitu aja, sistem pendidikannya berarti perlu dikaji kembali.

“Gitu ya? Ya udah. Coba aku baca-baca lagi..”
Baeklah :D



3 comments:

  1. Wah… mbak Inke yang papernya yg udah bejibun & udah terbang ke negeri Sakura. Terimakasih sharing2 ilmunya ya.

    Keliatannya bikin2 paper itu asik ya. Tapi klo detailnya dibahas, sbnarnya itu rumit. Mungkin dari proposalnya aja bisa ribet, belom klo paper yg internasional kan musti pake English. Cara merepresentasikan paper, grammer, bahasa dan macem2 faktor yg lain. Effort yg dibutuhkan utk penelitian (baca2 literatur, simulasi, ato percobaan, dsb) itu juga bisa makan sampai berbulan2 atau tahunan. Menurut sy sampe sini aja itu udah hebat.

    Klo papernya diterima, rasanya seneng kan, tapi klo belom diterima juga gak perlu bersedih2 amat jg mengingat effort utk penelitiannya yg lama. Tapi bisa juga paper itu disubmit di conference lain atau, masukan dari peer-reviewer nya itu ada benarnya juga, jadi bisa bahan pertimbangan utk perubahan papernya selanjutnya yg lebih baik. Gak bisa instant juga, untuk pertama kali bikin paper harus keterima di conference, tapi bisa juga gagal, itu wajar sih. Tapi lama-lama klo udah bisa bikin paper, ntar lama2 juga papernya bisa keterima asal rajin2 aja baca-baca an yg English. Orang hebat pun, papernya juga pernah ada yg ketolak. Jadi gak perlu minder hehe.

    ReplyDelete
  2. Sangat bagus dan enak dibaca, bikin adek2 yg masih ragu dan takut jadi termotivasi. Tapi juga menyeleksi yg memang malas, ngasal, geje dan galau, hehehe.
    Kalau bisa, sambung lagi dengan penjelasan pembuatan paper, yang sederhana lagi. Gak usah memuat counter-argument, hedging dll, asal ada structure dan analysis deh.
    Saya? Jangan saya, kalau saya yang tulis, setelah baca, semua bisa pucat kehabisan darah atau sariawan.

    Daebak!

    ReplyDelete
  3. Sangat bagus dan enak dibaca, bikin adek2 yg masih ragu dan takut jadi termotivasi. Tapi juga menyeleksi yg memang malas, ngasal, geje dan galau, hehehe.
    Kalau bisa, sambung lagi dengan penjelasan pembuatan paper, yang sederhana lagi. Gak usah memuat counter-argument, hedging dll, asal ada structure dan analysis deh.
    Saya? Jangan saya, kalau saya yang tulis, setelah baca, semua bisa pucat kehabisan darah atau sariawan.

    Daebak!

    ReplyDelete