Seperti kebanyakan orang, ada kalanya saya kesal saat tidak
ada formula generik yang bersifat one-for-all: satu intervensi yang bisa digunakan
untuk berbagai konteks. Dengan keadaan yang seperti itu, kadang saya jadi harus
memilih dan.. memilih itu bukan sesuatu yang mudah, bahkan jika memilih itu
adalah suatu hak dan digratiskan. Ada konsekuensi dari setiap pilihan, dan hal
itu yang kadang saya –dan mungkin kita semua- tidak selalu bisa antisipasi.
Sebagai manusia anankastik (sudah insaf, tapi kadang masih kumat-kumatan), saya
cenderung akan membuat puluhan mental scenario sebelum akhirnya bisa sampai
pada keputusan tertentu, dan proses ini bisa sangat sangat sangat melelahkan.
Saya masih beruntung karena kadang karakteristik klaster B saya (misalnya ‘impulsivitas’
dan ‘novelty seeking’) pada saat-saat tertentu masih bisa mengambil alih dan
menghentikan keraguan tipikal anankastik saya dengan semacam.. just fucking
jump in, bitch! What’s the worst that could happen? Even if the worst did
happen, as long as you’re still alive to fix it, then you’d just need to fix
it. Semacam itu.
Saya kadang juga bingung dan merasa kekurangan support
system saat melihat bahwa orang-orang di sekitar saya sibuk hidup untuk.. hidup
aja gitu. Meski saya sudah merelakan kepergian sebagian besar grandiosity masa
muda saya untuk menyelamatkan dunia dan umat manusia, saya masih ingin punya
kontribusi, setidaknya untuk kehidupan di sekitar saya. Bukan karena saya akan
menyelamatkan dunia, atau bahkan mereka yang lingkupnya lebih kecil, tapi lebih
karena.. saya merasa bahwa lingkungan ini sudah ‘bermurah hati’ menumbuhkan dan
mengakomodasi jejaring aksonal dan dendritik di otak saya hingga berwujud
seperti sekarang.. and it just feels weird for not contributing anything in return.
Saya lahir di keluarga pendidik, bukan praktisi. Tiga dari
empat kakek/nenek saya adalah guru. Bapak ibu saya dokter gigi yang tidak
pernah praktik dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus pengajaran
dan mengurus lab tempat mahasiswa belajar penelitian. Cara yang saya tahu –dan mungkin
secara genetik memang sudah ‘nancep’- untuk berkontribusi pada sekitar saya
adalah melalui pendidikan. Semakin lama karir (cieh kariiiiirrr) saya berjalan,
semakin saya merasa bahwa pendidikan inilah ujung pangkal hal-hal yang saya
lakukan. Sepertinya saya memilih bidang yang sekarang pun salah satunya adalah karena
bidang inilah yang aktivitas edukasinya relatif paling banyak dibanding bidang klinis
lainnya. Saya cenderung ingin melakukan pendidikan dalam konteks klinis karena.. menurut saya bidang klinis itu penting. Pada latar klinis kita relatif lebih intens mempelajari apa yang terjadi di tubuh kita,
dan.. really work something on it; dan hal itu penting karena antara lain
karena saya cukup yakin bahwa proses edukasi yang dapat terjadi secara maksimal
adalah saat seseorang itu sehat. Mungkin saya juga agak ke-Maslow-Maslow-an yang beraliran humanistik,
sehingga saya percaya bahwa setiap
individu adalah unik. Dibandingkan latar-latar lainnya, latar klinis dan tradisi case report-nya adalah latar di mana tiap individu (i.e. pasien) bisa diapresiasi
sebagai.. dirinya sendiri. Bukan sebagai representasi kelas tertentu, bukan
juga sebagai ‘data’, tapi sebagai one distinct entity.
Terus ini sebenarnya mau ngomong apa? Wkwkwk
(Catatan: Berhenti di sini kalau Anda sudah pingin
muntah-muntah. Ini baru sepertiga jalan. Don’t tell me I didn’t warn you)
Jadi sebenarnya begini. Sebagaimana mahasiswa setara S2
lainnya, despite segala kekonsletan intermittent di otak saya, tidaklah hal itu
membuat saya terlepas dari kodrat untuk galau tesis. Tentu saja yang namanya
tesis itu ada pembimbing, dan biasanya memang pembimbing inilah yang akan
mengintervensi hingga galau yang awalnya sebatas galau-tingkat-rakyat-jelata
bisa berubah menjadi galau-tingkat-dewa-berlatarkan-super-massive-black-hooooooollleee
(masnya yang bilang gitu; kalau nggak setuju, protes sana sama masnya),
sehingga akhirnya saat tesis selesai, mungkin rasanya akan seperti baru
melahirkan bayi kembar 10 dan semuanya hidup dan selamat sehat sentosa. Lega dan
grateful banget gitu. Nah tapiiiiiiii saya juga sadar bahwa (para calon) pembimbing
saya adalah manusia yang berhak untuk bahagia, dan salah satu cara yang setahu
saya cukup efektif untuk bahagia adalah saat seseorang tidak bersinggungan
dengan otak saya yang konslet-konsletan atau produknya. Saat saya sudah membuat keputusan saja, saya masih sering
labil dan mendadak ingin mengubah ini itu karena menemukan sesuatu yang menarik
yang mungkin bisa relevan digunakan…. Apalagi saat saya masih pretty much indecisive,
seperti sekarang ini.
Kemarin saya memberanikan diri mengecek profil linkedin, dan
apa yang saya tulis di deskripsi sekitar dua tahun lalu itu.. memang bener
banget: bahwa orientasi saya adalah ke promotif/preventif, bukan kuratif… and
it’s just like a delusion: I believe it so much I don’t wish to change no
matter what, and that’s because that particular part is indeed what I might be
best at, and I just love it. Sayangnya, saya mungkin sedang berada pada titik
di mana saya merasa… cinta saya agak tidak terbalas.. *uhuk
Ada tiga topik besar terkait edukasi ini yang saya harap
bisa di-tesis-kan. Iya, TIGA. Saya sering dengar teman saya bilang, “Duh bingung,
nggak ada ide buat tesis nih.” Kadang hal itu membuat saya berpikir, enak ya ga
ada ide, tinggal nurut dosennya aja. Mungkin kalau pikiran saya sekali waktu
bebas ide-ide ini itu, setiap hari saya akan bisa tidur dengan tenang, hidup
dengan tenang, dan lebih fokus untuk upaya pindah ke Swedia biar bisa ngelamar
kerja jadi anggota artist management-nya The Real Group XD
Anyway. Ada tiga; mungkin dua sih yang saat ini, karena topik
yang satu (psikoterapi) sepertinya lebih bermanfaat buat refining my personal
skill as a practitioner, tapi dengan kapasitas profesional dan konteks praktik saya
sekarang, mungkin belum efektif kalau hal ini yang di-tesis-kan. Well. Although
I’d probably love to work on it further in the long run, karena.. apa ya..
intervensi berupa psikoterapi itu less stigmatized, jadi mungkin intervensi ini
akan membuat mental health care lebih accessible bagi lingkungan yang highly
stigmatizing seperti lingkungan saya sekarang (yes, it effin’ correlates withthe paternalistic culture thingy, and yes I did both research and literaturereview on that despite not being properly published). Pada titik ini saya masih
ingin ikut semacam brevet (katanya ada yang dua tahun atau empat tahun) atau one-year-fellowship
untuk psikoterapi dan/atau (hopefully) riset tentang psikoterapi, karena… ya pada
prinsipnya ilmu tidak bisa berkembang kalau tidak ada riset; dan ‘perubahan’
praktik ilmu tertentu yang dilakukan begitu saja tanpa riset bisa jadi malah
katastrofik dan menjauhkan ilmu itu dari tujuan awalnya: to make the world a
better place.
Ya tapi nggak tahu. Saya mikir juga, kalaupun saya punya ilmu
psikoterapi ini tapi ilmu ini tidak immediately applicable di tempat saya
bekerja, kurang bagus juga. Ibarat pisau, ilmu yang jarang terpakai
ujung-ujungnya juga bisa karatan dan akhirnya malah berakhir di tempat sampah.
Sudah cukup lah hati saya yang rusak berkeping-keping aja yang masuk tempat
sampah, ilmu dan skill mudah-mudahan nggak gitu-gitu banget lah ya nasibnya...
*hoeeekkk
Oke. Tinggal dua. Atau mungkin, MASIH DUA. Topik pertama
adalah ME. Selama sekian bulan (atau tahun?) terakhir ini, saya sebenarnya
semacam percaya bahwa dengan terlibat di topik inilah saya akan bisa
berkontribusi, tapi… entahlah. Pendidikan S1 yang sepertinya membentuk mindset
saya adalah tipikal pendidikan di mana saya melihat dan merasakan kesetaraan
antara klinis/non klinis dan bahkan supporting system, apresiasi terhadap
keragaman dan kreativitas, dan prioritas yang cukup tinggi untuk ‘struktur’
karena struktur itu memungkinkan terjadinya reproducibility hal-hal yang baik
dan penyingkiran selektif hal-hal yang memang tidak perlu. Setelah saya pindah
ke lingkungan lainnya, I FUCKING CRAVE THOSE THIIIIIIIIIINGGGGSSS AND I JUST CAN’T
LET IT GOOOOOO gyahahahahahahahahahahaha.
Ya tapi gitu, reality bites. Nggak
pa-pa sih, karena pada setiap ‘gigitan’ ada tantangan yang mendorong saya untuk
keluar dari zona aman dan terus belajar agar kapasitas yang saya punya juga
bisa lebih applicable di berbagai setting, sehingga benefit coverage-nya lebih
luas. Ya tapi gitu juga, di lingkungan yang sometimes makes me feel like
dealing with orgen tunggal ini, pada titik-titik tertentu struktur cenderung
ditekankan dengan kaku, dan pada titik-titik lainnya orang akan bilang, “Screw
structure. I’m doing it my way, and ku tak mau seorangpun merayu, tidak jugakau!” (Yes, I read Chairil Anwar, thanks to AADC). Pada situasi dengan pola
yang tidak bisa diprediksi seperti ini, sisi klaster C saya cenderung lebih
berkuasa dibanding si klaster B karena.. cenderung lebih hemat energi kalau klaster
C-nya yang maju. Efek sampingnya tentu saja saya jadi apatis dan semacam hilang
minat untuk berkontribusi pada lingkungan saya secara umum. Akhirnya saya juga
jadi lumayan hilang minat juga sama topik ini. Yah. Semoga tidak kebablasan,
dan masih bisa dijumpai lagi di kesempatan yang akan datang.
Topik kedua adalah tentang intervensi berbasis sekolah yang ngerjainnya
ya.. di sekolah. Di komunitas. I like field work. I like having encounters with
people who have highly varied thoughts of how mental health care goes…
sometimes those thoughts are just funky. Added with those people being teenagers,
the funky-ness is just endless. Teenagers are awesome, so sometimes it can also
be quite heart-breaking when they just don’t seem to know that. Yang mungkin
akan berat bagi saya adalah karena kalau saya memilih topik ini, ini artinya
saya totaaaalll berubah haluan dari orientasi sebelumnya ke ME. Sekian bulan
(atau tahun?) yang sudah saya habiskan dalam keadaan jomblo gara-gara harus googling
ini itu, menggalau, bikin oret-oretan, baca dan nanya sana-sini.. itu semuanya
harus saya relakan ‘terbuang’, dan… saya harus mulai pitchin’ ideas dari awal
lagi. Berantakin kamar dan nggembel kaya orang gila lagi. Begadang lagi cari
referensi. Nanya sana-sini lagi, baca lagi, bikin daftar-daftar dan skema-skema
lagi. Tapi… nggak pa-pa juga, malah kerja saya secara jangka panjang jadi lebih
fokus. Cara ini juga yang paling mungkin mendekatkan saya dengan
#LivingInEurope dan/atau cita-cita untuk bisa meng-highlight nama saya di bagian
depan naskah ICD 12 atau DSM 6 sebagai tukang ketik untuk mana aja yang nanti
nongol duluan, dan sebagai anggota junior untuk working group apaaaa gitu untuk
yang nongol belakangan; trus nanti diskrinsot terus diposting di fesbuk. Nanti di edisi selanjutnya lah saya jadi anggota working
group yang sejajar sama yang lain, jadi koordinatornya atau presiden W*A
sekalian kalau perlu. Wkwkwk
Ya gitu. Intinya kalau sekian minggu ke depan saya tampak
semakin konslet-konsletan dan nggilani, itu karena saya sedang berproses dari
awal lagi. Bedanya sama proses yang dulu-dulu, kali ini mungkin saya tidak lagi
menerima rekomendasi topik, karena… I think I know what I want. This is what I want,
I want it enough, and I’m doing it. Quite likely other things would just
follow. Ya paling enggak buat tesis lah. Lain-lain dipikir nanti (including intervensi anti jomblo).
Huuufft. *big exhale
Entahlah. Mungkin saya cuma kurang makan sayur/buah dan ‘sakau’
gara-gara kurang nyanyi. Hidup macam apa cobak kaya gitu itu..
No comments:
Post a Comment