Saya sudah umur segini. Sudah tidak lagi perlu dipuji hanya
karena saya “berani tampil” atau “biar pernah.” I’ve done some 300+ “gigs.”
Meski saya bukan profesional dan tidak dibayar untuk berbagai hal yang sudah
saya tampilkan, saya cenderung menyikapi segala “gigs” itu dengan seprofesional
mungkin. Artinya, saya punya standar yang harus saya capai. Artinya, saya
melakukan segala upaya agar standar itu tercapai dan bisa dipertahankan.
Artinya, kecil kemungkinan saya akan berbasa-basi busuk semacam, “aduh maaf ya cuma
bisa segini aja soalnya nggak cukup waktu untuk persiapan, dan modal/SDMnya terbatas.”
Paling banter mungkin saya hanya akan membahasnya seperti artikel-artikel di
jurnal membahas strength and limitations penelitian tertentu. Basa-basi busuk
seperti itu biasanya muncul jika ada makhluk delusional yang bicara besar di
awal, janji ini itu, beride-ide ini itu, tapi tidak mempersiapkan sustainability
plan apapun untuk menghadapi konteks saat ide-ide itu mulai dicobakan di dunia
nyata. Kalau sejak awal yang namanya konteks (with the every aspects it relates
to) dan sustainability plan itu sudah dibicarakan dan diantisipasi, ide-ide
akan berjalan dengan realistis dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Tentu saja akan ada hal-hal yang memang tidak bisa dilakukan. Meskipun begitu, untuk tidak
melakukan apa yang memang TIDAK saya janjikan, saya cukup yakin bahwa saya tidak
perlu membuat lebaran datang lebih awal dengan acara maaf-maafan.
Saya juga sudah tidak lagi terlalu tertarik mencoba ini itu hanya
karena “Ini kan baru” atau “Ini lagi trend lho.” Balik lagi, lihat konteks. Pada
situasi kita yang sekarang, do we need that new thing? Is that trend applicable
to our context? Kalau itu membuat saya jadi terkesan konservatif, ya tidak
masalah. Namanya kesan, apa saja bisa muncul, dan bukan berarti segala sesuatu
yang muncul itu adalah sesuatu yang harus disikapi. Salah satu guru yang saya
kagumi pernah berkata bahwa yang membedakan pendidikan tingkat sarjana dengan
tingkat pendidikan di bawahnya adalah bahwa sarjana itu mendekati segala hal dengan
sikap skeptis. Bukan sinis, tapi skeptis. Mungkin terjemahan terdekatnya dalam
Bahasa Inggris adalah “Proceed with caution.” Artinya, oke kita jalan, kita coba,
tapi dalam perjalanan uji coba itu kita akan hati-hati. Kadang yang bagi saya
mengesalkan sebenarnya bukan karena hal itu baru atau bertentangan dengan
kebiasaan saya, tapi karena… kadang orang yang bilang “Ini kan baru” atau “Ini
lagi trend lho” itu tadi tidak punya alasan lain untuk melaksanakan sesuatu
selain dua kalimat basi itu. Begitu saya tanya tentang “analisis awal” untuk
risk and benefit, jawabnya langsung “Ya kan ini baru, jadi kita belum tahu
bagaimana risk and benefit-nya” atau “Saya kemarin sudah melakukan ini SEKALI dan
langsung berhasil.” Kemudian saya googling. Kemudian ternyata ada
baaaaanyaaaaaaakk report tentang acara sejenis yang sudah diujicobakan di
berbagai konteks dengan berbagai hasil. Terus saya balik tanya lagi, “Ini ada data
kaya gini, kendala potensialnya ini ini ini. Sejauh mana itu sudah dipikirkan?”
dan jawabannya adalah, “Belum sih..” terus habis gitu disambung dengan, “Ya udah deh nggak usah,
kok kayanya susah.” Hiiiiihhh mbok kene takbalang sandal.. *mengelus dada *trepes *hih malah tambah bete
*breathe
Jadi prinsipnya gini.
Sejauh mana orang itu siap untuk mempertimbangkan segala konsekuensi dari idenya dan sejauh mana orang itu mau berupaya untuk mencari ‘data’ yang objektif (bukan subjektif) untuk mendukung idenya, sejauh itulah dia akan berkomitmen untuk melaksanakan apa yang (katanya) dia impikan/ide-kan. Kalau saya harus terlibat dalam sesuatu ‘proyek’ yang penggagasnya nggak berkomitmen dan manfaat kegiatannya nggak jelas, hla nggo ngopo? Mbok mending aku neng ngomah nggosok jedhing disambi nyetel TRG. Luwih apik nggo kesehatan mental. Saya mungkin akan bisa menerima sesuatu yang baru tanpa mempertanyakan apapun kalau saya merasa saya sedang cukup selo dan semacam.. yaaa daripada enggak, ya nggak pa-pa, coba deh. Tapi yo mit, saiki aku ra lagek selo. Tur nek urusane karo wong akeh ki nek meh mung “yaaa daripada enggak, coba aja deh,” kok yo temapuk.. Urusan uwong kok dijajal-jajal. Seperti tagline minyak embuh kae, “buat anak kok coba-coba.” Hih. Nek meh coba-coba ki ngisi TTS neng majalah Bobo wae, ra sah ngajak-ajak uwong-uwong sing ra selo.
Sejauh mana orang itu siap untuk mempertimbangkan segala konsekuensi dari idenya dan sejauh mana orang itu mau berupaya untuk mencari ‘data’ yang objektif (bukan subjektif) untuk mendukung idenya, sejauh itulah dia akan berkomitmen untuk melaksanakan apa yang (katanya) dia impikan/ide-kan. Kalau saya harus terlibat dalam sesuatu ‘proyek’ yang penggagasnya nggak berkomitmen dan manfaat kegiatannya nggak jelas, hla nggo ngopo? Mbok mending aku neng ngomah nggosok jedhing disambi nyetel TRG. Luwih apik nggo kesehatan mental. Saya mungkin akan bisa menerima sesuatu yang baru tanpa mempertanyakan apapun kalau saya merasa saya sedang cukup selo dan semacam.. yaaa daripada enggak, ya nggak pa-pa, coba deh. Tapi yo mit, saiki aku ra lagek selo. Tur nek urusane karo wong akeh ki nek meh mung “yaaa daripada enggak, coba aja deh,” kok yo temapuk.. Urusan uwong kok dijajal-jajal. Seperti tagline minyak embuh kae, “buat anak kok coba-coba.” Hih. Nek meh coba-coba ki ngisi TTS neng majalah Bobo wae, ra sah ngajak-ajak uwong-uwong sing ra selo.
Wis ah. Nggarap PR dhisik. Ibadah PMS-induced-blabbering
dinyatakan selesai.
No comments:
Post a Comment