Sunday, 11 September 2016

Saya sudah umur segini: a PMS-induced-blabbering

Saya sudah umur segini. Sudah tidak lagi perlu dipuji hanya karena saya “berani tampil” atau “biar pernah.” I’ve done some 300+ “gigs.” Meski saya bukan profesional dan tidak dibayar untuk berbagai hal yang sudah saya tampilkan, saya cenderung menyikapi segala “gigs” itu dengan seprofesional mungkin. Artinya, saya punya standar yang harus saya capai. Artinya, saya melakukan segala upaya agar standar itu tercapai dan bisa dipertahankan. Artinya, kecil kemungkinan saya akan berbasa-basi busuk semacam, “aduh maaf ya cuma bisa segini aja soalnya nggak cukup waktu untuk persiapan, dan modal/SDMnya terbatas.” Paling banter mungkin saya hanya akan membahasnya seperti artikel-artikel di jurnal membahas strength and limitations penelitian tertentu. Basa-basi busuk seperti itu biasanya muncul jika ada makhluk delusional yang bicara besar di awal, janji ini itu, beride-ide ini itu, tapi tidak mempersiapkan sustainability plan apapun untuk menghadapi konteks saat ide-ide itu mulai dicobakan di dunia nyata. Kalau sejak awal yang namanya konteks (with the every aspects it relates to) dan sustainability plan itu sudah dibicarakan dan diantisipasi, ide-ide akan berjalan dengan realistis dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Tentu saja akan ada hal-hal yang memang tidak bisa dilakukan. Meskipun begitu, untuk tidak melakukan apa yang memang TIDAK saya janjikan, saya cukup yakin bahwa saya tidak perlu membuat lebaran datang lebih awal dengan acara maaf-maafan.

Saya juga sudah tidak lagi terlalu tertarik mencoba ini itu hanya karena “Ini kan baru” atau “Ini lagi trend lho.” Balik lagi, lihat konteks. Pada situasi kita yang sekarang, do we need that new thing? Is that trend applicable to our context? Kalau itu membuat saya jadi terkesan konservatif, ya tidak masalah. Namanya kesan, apa saja bisa muncul, dan bukan berarti segala sesuatu yang muncul itu adalah sesuatu yang harus disikapi. Salah satu guru yang saya kagumi pernah berkata bahwa yang membedakan pendidikan tingkat sarjana dengan tingkat pendidikan di bawahnya adalah bahwa sarjana itu mendekati segala hal dengan sikap skeptis. Bukan sinis, tapi skeptis. Mungkin terjemahan terdekatnya dalam Bahasa Inggris adalah “Proceed with caution.” Artinya, oke kita jalan, kita coba, tapi dalam perjalanan uji coba itu kita akan hati-hati. Kadang yang bagi saya mengesalkan sebenarnya bukan karena hal itu baru atau bertentangan dengan kebiasaan saya, tapi karena… kadang orang yang bilang “Ini kan baru” atau “Ini lagi trend lho” itu tadi tidak punya alasan lain untuk melaksanakan sesuatu selain dua kalimat basi itu. Begitu saya tanya tentang “analisis awal” untuk risk and benefit, jawabnya langsung “Ya kan ini baru, jadi kita belum tahu bagaimana risk and benefit-nya” atau “Saya kemarin sudah melakukan ini SEKALI dan langsung berhasil.” Kemudian saya googling. Kemudian ternyata ada baaaaanyaaaaaaakk report tentang acara sejenis yang sudah diujicobakan di berbagai konteks dengan berbagai hasil. Terus saya balik tanya lagi, “Ini ada data kaya gini, kendala potensialnya ini ini ini. Sejauh mana itu sudah dipikirkan?” dan jawabannya adalah, “Belum sih..” terus habis gitu disambung dengan, “Ya udah deh nggak usah, kok kayanya susah.” Hiiiiihhh mbok kene takbalang sandal.. *mengelus dada *trepes *hih malah tambah bete

*breathe
Jadi prinsipnya gini.
Sejauh mana orang itu siap untuk mempertimbangkan segala konsekuensi dari idenya dan sejauh mana orang itu mau berupaya untuk mencari ‘data’ yang objektif (bukan subjektif) untuk mendukung idenya, sejauh itulah dia akan berkomitmen untuk melaksanakan apa yang (katanya) dia impikan/ide-kan. Kalau saya harus terlibat dalam sesuatu ‘proyek’ yang penggagasnya nggak berkomitmen dan manfaat kegiatannya nggak jelas, hla nggo ngopo? Mbok mending aku neng ngomah nggosok jedhing disambi nyetel TRG. Luwih apik nggo kesehatan mental. Saya mungkin akan bisa menerima sesuatu yang baru tanpa mempertanyakan apapun kalau saya merasa saya sedang cukup selo dan semacam.. yaaa daripada enggak, ya nggak pa-pa, coba deh. Tapi yo mit, saiki aku ra lagek selo. Tur nek urusane karo wong akeh ki nek meh mung “yaaa daripada enggak, coba aja deh,” kok yo temapuk.. Urusan uwong kok dijajal-jajal. Seperti tagline minyak embuh kae, “buat anak kok coba-coba.” Hih. Nek meh coba-coba ki ngisi TTS neng majalah Bobo wae, ra sah ngajak-ajak uwong-uwong sing ra selo.


Wis ah. Nggarap PR dhisik. Ibadah PMS-induced-blabbering dinyatakan selesai.

No comments:

Post a Comment