Pada suatu titik dalam perjalanan kehidupan, saya mulai
menyadari bahwa saat di telepon, orang tua saya cenderung menanyakan hal yang
sama, seperti ini:
Pak Pur: “Halo ndhuk, kamu baik-baik to?”
Bu Susi: “Gimana? Happy apa enggak?” (dan kadang-kadang “Ada
kecengan nggak?” tapi jarang :P)
Belakangan, setelah saya membaca bahwa “should and must”
merupakan salah satu bentuk distorsi kognitif, saya jadi sangat bersyukur
karena saya dibesarkan oleh orang tua yang relatif tidak terdistorsi
kognisinya. Orang tua saya –despite not articulating it clearly- sepertinya
menyadari bahwa hidup ini yang penting happy, dan kalaupun kadang tidak happy,
paling tidak kita bisa tetap baik-baik saja.
Mungkin kesannya jadi seperti tidak ambisius dan nggak niat
hidup saat kita tidak mengatakan “harus” dan mentarget diri sendiri untuk
mencapai ini itu, tapi… kalaupun kita mau hidup secara ambisius, the ultimate life-goal-nya sebenarnya
apa? Berkali-kali saya menanyakan hal ini ke diri saya sendiri, dan jawabannya
tetap sama: my life goal is to be happy.
Sebagai orang yang memang cenderung kompetitif, tentu saja sense of accomplishment yang saya rasakan saat bisa mencapai
sesuatu setelah mengharuskan diri saya untuk melakukan ini itu, merupakan salah
satu sumber kebahagiaan terbesar saya. Meskipun begitu, pada satu titik saya
merasa bahwa hal-hal yang saya lakukan untuk mendapatkan sense of accomplishment ini sepertinya jadi agak ‘kebablasan’ dan
malah cenderung mekanistis. Saya jadi tidak menikmati proses dan terlalu
terfokus pada hal-hal yang jadi ‘tujuan akhir’; dan saat akhirnya saya
benar-benar sampai di tujuan akhir, saya nangis. Karena saya hanya ingat bahwa
saya mencapai sesuatu, tapi tidak bisa benar-benar ingat apa saja yang sudah
saya lakukan untuk mencapainya. Yang saya ingat untuk bisa disyukuri hanya
pencapaiannya, tapi saya ‘hilang ingatan’ tentang banyak hal di perjalanan yang
mungkin sebenarnya bisa disyukuri juga. Jadi memang saya mencapai sesuatu, tapi
saya tetap kehilangan banyak hal… sehingga pencapaian saya jadi pencapaian yang
(terasa) kosong. Saya tidak bahagia, sehingga tujuan hidup saya… tidak
tercapai. Saya merasa gagal.
Meskipun begitu, karena toh saya masih hidup meski gagal, (saya
anggap) itu berarti bahwa saya masih punya kesempatan untuk menjadi berhasil;
untuk mencapai the ultimate life goal: to
be happy. Karena sense of
accomplishment tampaknya tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber
kebahagiaan, otomatis saya jadi perlu mencari sumber kebahagiaan lain. Seiring
berjalannya waktu, saya belajar bahwa ada setidaknya dua hal yang ternyata bisa
membuat saya bahagia: menerima dan memaafkan. Tentu saja proses menerima dan
memaafkan itu juga bukan sesuatu yang bisa dicapai dengan mudah, tapi dibandingkan dengan lari sana-sini untuk
mencapai target ini itu, proses menerima dan memaafkan ternyata jauh “affordable”
dan hemat energi, karena saya tinggal… diam dan mengawasi.
Dengan diam, saya lebih sedikit bereaksi secara impulsif terhadap
orang lain atau apapun yang terjadi di sekitar saya, yang akhirnya memicu
reaksi balik ke saya yang lebih sedikit, sehingga lebih sedikit pula yang perlu
saya tanggapi. Awalnya hal ini memang menakutkan karena saat orang tidak
bereaksi terhadap saya, akan muncul perasaan bahwa seolah saya ini dianggap tidak
ada. Tapi kemudian saya ingat lagi, bahwa saat saya dianggap tidak ada, itu
artinya saya lebih bebas mau ke mana saja karena tidak ada tanggungan karena
toh saya tidak dibutuhkan, jadi situasi ini saya biarkan, dan ternyata… tidak apa-apa.
Saat hidup saya ‘sekedar’ tidak apa-apa, ternyata saya justru lebih tenang. Saat
saya tenang, saya bahagia, jadi.. tercapai dong the ultimate life goal to be happy-nya.. Hmmm nggak nyangka..
Tentu saja saya tidak percaya begitu saja bahwa ‘diam’ itu
bisa berujung pada bahagia karena ya itu tadi: masa nggak ambisius dan
nerima-nerima aja gitu bikin bahagia sih? Di mana accomplishment-nya? Maka saya
pun mencoba melakukan sesuatu yang tidak sepenuhnya diam, yaitu melakukan
observasi; tapi di observasi kali ini saya membawa sebagian ‘hasil latihan’
yang saya dapatkan dari upaya untuk diam: non-reactivity. Saya melakukan
observasi tanpa target untuk dapat mengubah apapun; just observe. Ternyata, dari kegiatan observasi yang “observasi aja”
ini, saya jadi ‘melihat lebih banyak’; so
much that sometimes it just comes rushing into me. Dari banyak ‘data’ yang rushing in itu, dan dari energi yang berhasil
saya hemat dari bersikap non-reaktif, saya jadi punya modal untuk membuat
keputusan yang lebih ‘evidence-based’ dan holistik. Saat keputusan itu ‘evidence-based’
(i.e. masuk akal) dan holistik (i.e. sudah mempertimbangkan berbagai konteks
sehingga relatif lebih bisa diterapkan pada banyak konteks sekaligus), keputusan
ini jadi applicable dan… efisien. Saat saya merasa bisa ‘menciptakan’ sesuatu
yang applicable, sense of accomplishment-nya tu dapet banget, dan saat sesuatu
itu efisien, saya jadi semakin hemat energi. Saat saya bisa menghemat energi yang
saya gunakan untuk membuat suatu pencapaian, saya jadi masih punya sisa energi untuk
melakukan hal-hal yang saya suka. Saat melakukan hal-hal yang saya suka, saya…
bahagia.
Saat saya bisa melakukan hal-hal yang saya suka, yang lain
rasanya tidak terlalu penting lagi. Haha. Saya jadi tidak merasa perlu membuat
hidup orang lain repot sebagai upaya balas dendam karena mereka membuat hidup
saya repot. Dengan tidak membuat orang lain repot, saya justru mendapatkan sense of independence yang juga… bikin
saya bahagia. Saya jadi lebih bisa menerima saat direpoti orang lain karena
merasa bahwa mereka tidak sedang balas dendam karena saya sudah merepotkan
mereka, tapi.. ya mereka minta tolong karena memang perlu; dan bahwa jika saya
menolong, itu karena saya memang bisa. Saat orang bicara tidak jelas dan
akhirnya terjadi salah paham, saya juga bisa menghadapinya dengan lebih tenang
karena merasionalisasi, “yakalok namanya pikiran lagi ruwet, ya wajar aja kalau
dalam berkomunikasi juga jadi ruwet.” Karena hal itu sesuatu yang wajar, jadi relatif
tidak ada yang perlu ditanggapi dengan gitu banget. Akhirnya saya jadi nggak
gitu-gitu banget, dan saat saya nggak gitu-gitu banget, saya tenang. Saat
tenang, saya… bahagia.
Jadi ya.. begitulah.
Hidup tu yang penting baik-baik saja dan bahagia, dan ada
banyak cara untuk mencapai baik-baik saja dan bahagia. Tidak harus ambisius,
tidak harus membabat habis segala tetek bengek yang (seolah) menghalangi jalan
kita menuju bahagia, karena.. happiness doesn’t always happen after some
thousand miles of ‘walking’; happiness is when we’re enjoying every single
step for knowing that it's our own conscious choice.
Udah, gitu aja. Ndak nanti saya dibilang pencitraan sehat
mental padahal sebenarnya itu fiktif belaka XD
No comments:
Post a Comment