Saya adalah orang yang beruntung karena diberikan kesempatan untuk memilih menganut agama apapun. Agama yang saya anut sekarang ini, meskipun memang ‘disarankan’ oleh orang tua sejak saya masih SD, pada akhirnya juga merupakan pilihan saya sendiri. Saya tidak terlalu peduli apakah agama ini lebih baik dari yang lainnya, tapi yang jelas secara personal saya merasa cocok karena beberapa alasan. Masalahnya, akhir-akhir ini saya merasa agama saya semacam berubah, dan entah kenapa saya jadi merasa agak kehilangan alasan untuk kecocokan-kecocokan itu. Bukan berarti juga saya merasa menemukan kecocokan yang lebih banyak di agama lain, tidak. Tapi memang iya, saya melihat sedikit lebih banyak dibanding sebelumnya, dan yang saya rasakan semacam sama saja: whatever my religious belief would be, i’m still screwed. Haha.
Satu alasan saya memilih agama yang saya anut ini adalah karena adanya kecocokan antara pribadi saya yang cenderung ADHD ini dengan ritual ibadah yang lima-kali-sehari-tapi-singkat, dan bukan seminggu sekali tapi lama. Bukan berarti yang seminggu-sekali-tapi-lama itu lebih jelek. Bagaimanapun, survey membuktikan bahwa saya sering ketiduran pada forum-forum non eksak yang mengandung public speaking satu arah. Jadi ya sudah lah. Daripada tukang bersih-bersih tempat ibadahnya jadi repot karena tiap minggu harus membersihkan iler yang mungkin kececer kalau saya ketiduran, ya sudah lah saya memeluk agama saya yang sekarang saja :p
Lalu ada juga alasan privasi. Ini yang buat saya cukup penting karena jujur, saya nggak bisa merasakan Tuhan kalau komunikasinya dilakukan secara ramai-ramai. Apalagi kalau sebelum ‘bertemu Tuhan’ itu saya harus bersalaman dengan entah berapa orang dan menebar senyum sana sini tanda sosialisasi. Buat saya, ‘perjumpaan’ dengan Tuhan itu sifatnya private, personal, dan individual. Nggak bisa dikomando, kecuali oleh diri saya sendiri. Nggak bisa dinarasikan, kecuali oleh bahasa dan kata-kata yang saya hayati sendiri. Agama yang saya anut, memungkinkan dilakukannya ritual lima-kali-sehari yang tidak terlalu lama sebelum akhirnya saya bisa ‘bertemu’ Tuhan dan berbicara pada-Nya dengan kata-kata saya sendiri. Well. Tentu saja saya sebenarnya berbicara dengan-Nya lebih dari lima kali sehari, tetapi kadang ritual-pra-bicara memang perlu. Semacam small talk sebelum getting into the main topic, dan saya tidak keberatan.
Kedua alasan itu relatif tidak berubah sampai sekarang, dan mungkin tinggal dua itulah alasan saya untuk tidak berubah keyakinan. Karena ternyata, alasan-alasan saya yang lainnya sepertinya sudah luntur..
Alasan kesamaan derajat, misalnya. Seingat saya, ada dalil yang mengatakan bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan, yang membedakan adalah amal ibadahnya. CMIIW, i’m aware that i’m bad at being religious, i know :p
Entah karena saya baru sadar atau memang agama saya berubah, urusan kesamaan derajat ini semacam jadi nggak asyik lagi sekarang. Jaman dulu, di agama saya sepertinya nggak ada tuh yang namanya ‘orang suci’. Semua sama, semua saudara dalam iman. Orang yang pemahaman agamanya lebih bagus memang ada, dan memang sewajarnya kalau ia disegani karena kearifannya, but that’s it. Nggak ada fanatisme berlebihan terhadap ORANG itu karena sepertinya semua tahu bahwa yang patut dijunjung tinggi dan ditaati itu adalah Tuhan, bukan manusianya. Yang diistimewakan, yang dibedakan –karena memang nggak sama dengan kita- adalah Tuhan. Sekarang? Lihat aja. Orang-orang terbunuh karena ada sekelompok idiot yang menaati perintah ORANG yang sama idiotnya, kemudian mengatakan bahwa itu atas nama Tuhan. Padahal –seingat saya, CMIIW, lagi- Tuhan meninggikan manusia dibanding makhluk lainnya karena kita punya nalar. Dan karena nalarnya nggak dipake, maka jadilah idiot-idiot itu semacam sejajar dengan badak bercula satu –spongebob sama patrick aja kayanya lebih pinter dari mereka. Gitu masih bisa-bisanya bangga dan ngaku manusia.. Sinting.
Itu contoh yang ekstrem yang pake bunuh-bunuhan. Contoh yang nggak terlalu ekstrem adalah saat banyak orang mendadak jadi ustadz (yang kurang lebih analog dengan ‘orang suci’), dan dipuja sana sini, jadi idola gitu. Padahal katanya nggak boleh mengidolakan –karena konon kata ‘idola’ artinya ‘berhala’- manusia, dan hanya Tuhan yang patut dijunjung tinggi.. Ya kalau gini keadaannya, njuk piye?
Alasan lain yang masih berhubungan dengan topik menjamurnya ustadz di masa sekarang ini adalah alasan efisiensi waktu. Saya suka agama saya karena ada ajarannya untuk menghargai waktu, juga bekerja keras karena perubahan untuk kebaikan hanya bisa terjadi kalau kita memang mengusahakannya. Hna sekarang.. tiap ada ustadz ada ceramah, minta libur ‘kerja’ biar bisa rame-rame datang, minta foto, minta tanda tangan, padahal waktu ceramah lagi jalan, ketiduran. Atau kalau enggak, ngerumpi sama yang duduk di sebelahnya. Padahal katanya jadi manusia di bumi harus kerja yang rajin dan menghargai waktu, dan orang-orang yang tidak menghargai waktu –misalnya yang menggunakan waktu ceramah untuk ngerumpi- adalah orang yang merugi..
Ada juga alasan kesederhanaan. Ibadah lima-kali-sehari yang ada di agama saya memang harus dilakukan dengan kostum tertentu, tapi nggak ada social pressure untuk menjalankan ibadah dalam keadaan ber-make-up, jadi saya suka karena nggak ribet. Nggak perlu juga kita beli peralatan ini itu biar ibadah jadi terkesan ‘ritualistik’. Memang kadang-kadang pengkondisian itu penting sih, tapi ya.. di tengah zaman yang sekarang serba cepat ini, kalau saya sih males aja bikin setting buat pengkondisian itu. Pokoknya sudah niat, biasanya sih langsung ‘terkondisikan’. Nah. Yang saya rasakan sering terjadi sekarang, ibadah di agama mana pun rasanya cenderung sekedar ritualistik, tanpa benar-benar ada efeknya untuk kehidupan sehari-hari. Contoh, mau pengajian. Kebanyakan yang diributin adalah menghubungi ustadz-nya lah, mau pake jilbab atau baju yang mana lah, ntar berangkat sama siapa lah, ntar dapat makan atau enggak lah, dan hal-hal sejenis yang sebenarnya semacam tidak esensial. Selain nggak esensial, nilai kesederhanaannya juga semacam luntur. Acara yang seharusnya jadi sarana refleksi malah ditunggangi berbagai kepentingan lain dan malah jadi nggak khusyuk. Pemakaian jilbab yang akhir-akhir ini lebih terasa aspek estetis (baca: fashion) dibandingkan aspek fungsinya, juga semacam memperparah lunturnya kesederhanaan ini. Apalagi kalau ngeliat harga-harga jilbab dan asesoris jaman sekarang, trus ngeliat gimana orang yang ‘modal’ kadang pake jilbab harga segitu dibarengi asesoris segambreng harga segitu.. malah bikin il-feel :( Contoh lain, upacara Ngaben. Itu untuk satu kali ngaben entah berapa jeti habisnya untuk ini itu. Padahal intinya sebenarnya mgkn smcm ‘menghantarkan’ yang meninggal biar beristirahat dengan tenang and that’s it. Contoh lain lagi, hari ini saya ngelihat gereja yang satu ruangan AC-nya ada sebelas, padahal gerejanya nggak gede-gede banget. I mean, daripada duit sumbangan itu dibeliin AC, kenapa nggak dikasi ke jemaat yang lagi sakit atau disumbangkan ke orang miskin yang makan aja sulit? Emang Tuhan butuh AC gitu? *sigh
Entahlah. Sepertinya saya ngaco, salah satunya mungkin karena pemahaman saya terhadap agama masih dangkal sekali. Tapi intinya, banyak hal yang saya lihat belakangan ini membuat saya jadi banyak mempertanyakan agama. Saya tetap percaya Tuhan sepenuhnya, dan saya juga percaya pada spiritualitas manusia. Tapi agama? Entahlah. Waktu SMA dulu kayanya pernah dijelaskan bahwa agama itu berasal dari kata “a” yang artinya “tidak” dan “gama” yang artinya “kacau”. Jadi agama itu artinya tidak kacau. Kenyataannya sekarang.. well. Yang jelas, saya nggak puas. Mungkin bener kata Tante Katarina Henryson di lagu “A Little Kindness”:
“Dalai Lama + Jesus Christ are hard to know. Long or shorter, kindness is the aim. All’s the same.”
So i guess i’ll just try to maintain this little kindness i’m still having in this mind that’s confused and a heart that don’t belong.
What about you?
No comments:
Post a Comment