Saya kehabisan kata karena kamu jauh di sana. Melanglang buana di
sepanjang dasar samudra, mengamati apa saja yang ada di atasnya. Sejak siang
hingga malam, selalu ada warna, selalu ada yang membuatmu tertambat lebih erat
di antara mereka; dan entah kenapa saya justru suka. Saat kamu mengembara, saat
jejakmu bebas tersebar di mana-mana. Yang mengembalikanmu adalah udara, saat kamu
perlu permukaan dan melihat sesuatu yang berbeda. Antara saya, dan yang lainnya.
Saya kehabisan kata karena kamu tak suka cahaya. Dalam terang,
terbentuk banyak kata, dan buatmu itu sia-sia. Kamu seperti sudah tahu hatimu
ada di mana, dan tak perlu mata untuk tahu. Tak perlu ada tanya untuk sampai di
situ, dan tak pernah ada janji untuk tidak ada sesuatu yang baru. Yang
mengangkatmu ke sini adalah penelusuran kisi, saat jauh adalah tak lebih dari
dua puluh senti dan kamu sadar sepenuhnya bahwa saya ada. Hanya saya, dan bukan
yang lainnya.
Saya kehabisan kata karena saya punya banyak agenda. Selesai S3 di usia
tiga puluh lima, melakukan arpeggio bertempo allegretto dengan biola, atau
bahkan sekedar melicinkan atasan favorit saya dengan setrika. Menjadi lumpuh
dan jatuh sama sekali bukan pilihan, apalagi bagian dari rencana. Sekali itu
terjadi, cukup sulit bagi saya untuk mempertahankan jangkar agar bisa yakin lagi.
Tentang diri, tentang investasi, atau tentang saat ini; setidaknya itu yang
saya tahu. Lalu kamu datang dan mengoreksi, lalu pergi. Yang membuatmu melihat
ke belakang hanyalah pilihan, saat kamu mengambilnya sekali, mungkin dua atau
bahkan tiga kali, lalu tidak lagi. Mungkin karena saya, mungkin karena yang
lainnya.
Saya kehabisan kata karena saya bingung merangkainya. Mungkin karena segala
kekampretan dunia ternyata menginduksi pembentukan jejaring neurofibril yang perlahan-lahan
membuat saya demensia. Bisa juga saya terlanjur berprasangka bahwa sehebat
apapun, kamu adalah manusia yang tak luput dari salah, dosa, dan serangan virus
tagar Instagram yang membuat saya sangat merindukan kalimat lengkap berpola
SPOK. Latihan vokal yang orgasmik pun saya rindukan, apalagi sekedar kamu;
sudah jelas kamu bukan pengecualian. Yang menjaga jarakmu adalah masa lalu,
saat konfabulasi menjadi pencacah paling efektif untuk memori yang enggan kamu
bagi. Pada saya, tapi mungkin tidak untuk yang lainnya.
Saya kehabisan kata karena kita beda bahasa. Makna bagi saya dan bagi
kamu bisa jadi sangat berbeda dan saya hilang arah, tidak tahu harus mulai dari
mana. Saya tidak punya petunjuk untuk apa yang benar, saya sering salah, dan
kebisuan pun hanya mau garuk-garuk kepala. Ini melelahkan dan membuat frustasi,
tapi masih saya merasa akan ada akhir untuk hari ini, minggu ini, bulan ini,
tahun ini.. atau mungkin tahapan ini. Entah kapan, entah di mana. Yang
membebaskanmu dari tanya adalah rasionalisasi, saat saya berusaha membohongi
diri sendiri tiap kamu memberikan dispensasi. Tidak untuk saya, tapi untuk yang
lainnya.
Saya kehabisan kata karena kita sudah bicara dalam waktu lama. Tanpa
sadar, matahari sudah mengundurkan diri, dan kini hujan turun lagi. Pakai
deras, pakai lama, pakai banjir, dan tentu saja pakai macet. Bikin capek,
becek, lecek, jelek, bau ketek, keluar belek, dan tentu saja semakin lengkap
saat nggak ada ojek. Yang mencegahmu dari hilang terhanyutkan adalah mimpi,
saat saya bisa percaya bahwa setiap keteguhan akan ada balasannya. Dan balasan
itu hanya untuk saya, bukan untuk yang lainnya.
Gitu aja.
Udah, kamu pergi dulu urusin si frondosa sana, saya mau bikin ppt buat presentasi besok lusa. Tsk
No comments:
Post a Comment