Sunday, 26 June 2016

Saya kehabisan kata

Saya kehabisan kata karena kamu jauh di sana. Melanglang buana di sepanjang dasar samudra, mengamati apa saja yang ada di atasnya. Sejak siang hingga malam, selalu ada warna, selalu ada yang membuatmu tertambat lebih erat di antara mereka; dan entah kenapa saya justru suka. Saat kamu mengembara, saat jejakmu bebas tersebar di mana-mana. Yang mengembalikanmu adalah udara, saat kamu perlu permukaan dan melihat sesuatu yang berbeda. Antara saya, dan yang lainnya.

Saya kehabisan kata karena kamu tak suka cahaya. Dalam terang, terbentuk banyak kata, dan buatmu itu sia-sia. Kamu seperti sudah tahu hatimu ada di mana, dan tak perlu mata untuk tahu. Tak perlu ada tanya untuk sampai di situ, dan tak pernah ada janji untuk tidak ada sesuatu yang baru. Yang mengangkatmu ke sini adalah penelusuran kisi, saat jauh adalah tak lebih dari dua puluh senti dan kamu sadar sepenuhnya bahwa saya ada. Hanya saya, dan bukan yang lainnya.

Saya kehabisan kata karena saya punya banyak agenda. Selesai S3 di usia tiga puluh lima, melakukan arpeggio bertempo allegretto dengan biola, atau bahkan sekedar melicinkan atasan favorit saya dengan setrika. Menjadi lumpuh dan jatuh sama sekali bukan pilihan, apalagi bagian dari rencana. Sekali itu terjadi, cukup sulit bagi saya untuk mempertahankan jangkar agar bisa yakin lagi. Tentang diri, tentang investasi, atau tentang saat ini; setidaknya itu yang saya tahu. Lalu kamu datang dan mengoreksi, lalu pergi. Yang membuatmu melihat ke belakang hanyalah pilihan, saat kamu mengambilnya sekali, mungkin dua atau bahkan tiga kali, lalu tidak lagi. Mungkin karena saya, mungkin karena yang lainnya.
     
Saya kehabisan kata karena saya bingung merangkainya. Mungkin karena segala kekampretan dunia ternyata menginduksi pembentukan jejaring neurofibril yang perlahan-lahan membuat saya demensia. Bisa juga saya terlanjur berprasangka bahwa sehebat apapun, kamu adalah manusia yang tak luput dari salah, dosa, dan serangan virus tagar Instagram yang membuat saya sangat merindukan kalimat lengkap berpola SPOK. Latihan vokal yang orgasmik pun saya rindukan, apalagi sekedar kamu; sudah jelas kamu bukan pengecualian. Yang menjaga jarakmu adalah masa lalu, saat konfabulasi menjadi pencacah paling efektif untuk memori yang enggan kamu bagi. Pada saya, tapi mungkin tidak untuk yang lainnya.

Saya kehabisan kata karena kita beda bahasa. Makna bagi saya dan bagi kamu bisa jadi sangat berbeda dan saya hilang arah, tidak tahu harus mulai dari mana. Saya tidak punya petunjuk untuk apa yang benar, saya sering salah, dan kebisuan pun hanya mau garuk-garuk kepala. Ini melelahkan dan membuat frustasi, tapi masih saya merasa akan ada akhir untuk hari ini, minggu ini, bulan ini, tahun ini.. atau mungkin tahapan ini. Entah kapan, entah di mana. Yang membebaskanmu dari tanya adalah rasionalisasi, saat saya berusaha membohongi diri sendiri tiap kamu memberikan dispensasi. Tidak untuk saya, tapi untuk yang lainnya.

Saya kehabisan kata karena kita sudah bicara dalam waktu lama. Tanpa sadar, matahari sudah mengundurkan diri, dan kini hujan turun lagi. Pakai deras, pakai lama, pakai banjir, dan tentu saja pakai macet. Bikin capek, becek, lecek, jelek, bau ketek, keluar belek, dan tentu saja semakin lengkap saat nggak ada ojek. Yang mencegahmu dari hilang terhanyutkan adalah mimpi, saat saya bisa percaya bahwa setiap keteguhan akan ada balasannya. Dan balasan itu hanya untuk saya, bukan untuk yang lainnya.  

Gitu aja.
Udah, kamu pergi dulu urusin si frondosa sana, saya mau bikin ppt buat presentasi besok lusa. Tsk


No comments:

Post a Comment