Pasca nonton konser di Singapura, saya sempat ‘nyangkut’ di Bandung dan Malang, dan ketemu dua sahabat yang sepertinya memang perlu saya temui. Sebagai sesama dokter, dan sesama single yang somehow sering terlempar ke fantasy island, ngobrol sama kedua teman ini sangat melegakan karena saya merasa dingertiin banget. Mungkin klise sih kalau melihat bahwa orang yang cenderung stubborn dan self-centered kaya saya ternyata masih butuh dingertiin. Hehe. Tapi ya gimana ya.. toh sebenarnya alasan saya jadi stubborn dan self-centered itu salah satunya juga karena saya lelah menjelaskan ke berbagai orang yang nggak ngerti2, dan malah menemukan bahwa banyak hal ternyata malah jadi lebih efisien kalau saya bereskan sendiri.. Haha.
Yah. Intinya, pasca pembicaraan dengan dua teman yang tidak pernah menyuruh saya untuk dewasa itu –well i could be childish indeed, but doesn’t mean i’m not responsible and IMO, it’s responsibilty that matters- saya merasa lebih tenang. Dan saat lebih tenang, hal-hal yang sebelumnya marmos dan bikin galau, bisa jadi clear. Dengan kejelasan itu, saya mulai bisa berdamai dengan kecemasan-kecemasan terkait pindah kota yang selama beberapa bulan terakhir membebani saya :)
Saya juga jadi tahu bahwa saya masih punya tempat curhat yang bisa mengerti bahwa saya nggak suka kalau terlalu banyak diintervensi dan dibantu. Bahwa saya diterima apa adanya, baik dalam keadaan waras ataupun sinting, cantik ataupun cantik banget, terencana ataupun impulsif, ngeyel ataupun ngeyel banget. Bahwa saya tetap boleh bermimpi setinggi dan sebanyak apapun, sekalipun saya sudah dewasa. Yang disebut terakhir itu, sebenarnya berhubungan kuat dengan alasan-alasan saya melakukan perjalanan ini..
Beda dengan pindah kota yang pernah saya alami sebelumnya (Jember ke Malang, lalu Malang ke Jogja) di mana saya pindah dengan relatif terencana dan sukarela, kepindahan Jogja-Jember ini adalah semacam keputusan last minute yang penuh ‘darah’ dan air mata. Keputusan yang sempat membuat saya merasa kehilangan diri, karena i don’t usually decide big things in last minute (–like, you know, who the hell was that f***in’ bitch that got me desserted to this freakin’ imcomprehensible town? Well that bitch’s me, of course :p). Saya bisa sangat impulsif untuk hal-hal yang sifatnya minor, tapi perubahan-perubahan minor itu hampir nggak pernah mengubah general frame-nya. Yah. Meskipun saya berkali-kali meyakinkan diri sendiri bahwa i did it for a good reason, tetep aja nggak gampang. Ditambah lagi, selama beberapa bulan di Jember –dan dalam keadaan jobless- saya merasa semakin kehilangan identitas karena..
1) kebanyakan orang di sini mengidentikkan identitas dengan pekerjaan tetap yang dijalani. Jadi saat saya tidak punya pekerjaan, otomatis saya jadi tidak punya identitas;
2) bisa juga identitas didapat dengan afiliasi sosial –mostly religious- tapi karena i don’t feel like makin affiliation(s) to whatever-possible-here, ya sudah, nggak ada identitas dari aspek ini juga. i mean, why would i wish to affiliate with people who can’t even queue or idiots who smoked inside air-conditioned room? i consider myself as more civilized than that, and being identified as one of those people was possibly the last thing i could be wishing;
3) (yang buat saya paling ngenes) nobody seems to care about my dreams!! Semua semacam menganjurkan, “manut aja” atau “jadi orang tu yang biasa aja”. Pokoknya yang penting hidup bisa jalan secara rutin. Semacam tidak ada ruang untuk impulsivitas dan spontanitas karenaaaaaa kalau di sini tu aktivitas selalu melibatkan banyak orang, jadi harus direncana baik-baik sebelum terlaksana. Kalau nggak ada rencana, susah terlaksananya. Entahlah. Orang-orang sepertinya berhenti bermimpi saat masuk SMP dengan alasan keterbatasan ini itu karena berada di kota kecil. I mean, helloooooohh, ini 2011 gitu loh. Jangankan media massa, indomaret ma alfamart aja sudah sampai ke pelosok-pelosok. Dan kota ini toh nggak udik2 banget karena ada universitasnya, which means, we don’t actually have boundaries. Jadi apa alasannya berhenti bermimpi? Males? Ya maaf kalau begitu, that’s not who i am. Maka jadilah saya tidak beridentitas karena mimpi saya semacam di-prek-kan, padahal dengan itulah sebenarnya saya merasa bisa eksis jadi ‘orang’..
Ya intinya kota ini ‘membunuh’ saya, dan dengan nonton konser The Real Group –kalau nggak salah, ini item nomor 8 di top ten mimpi-mimpi saya- saya berharap bisa membuktikan –setidaknya pada diri sendiri- bahwa saya belum bener-bener ‘mati’.
Bahwa saya bisa meraih mimpi meskipun dari kota yang nggak apa-apa-gampang kaya Jogja ini.
Bahwa saya tetap bisa jadi diri saya sendiri yang bahagia dan bersemangat di tengah masyarakat yang bosan dan rutin ini.
Bahwa saya masih punya kemampuan untuk ‘merancang’ sesuatu dari awal sampai akhir dan mengeksekusi rencana itu, tanpa meraung-raung helpless dan minta bantuan-bantuan yang nggak perlu.
Bahwa saya masih punya hak untuk impulsif, spontan, dan tetap bisa nongol dalam keadaan cantik selamat sehat wal afiat.
Bahwa saya adalah pembelajar yang obsesif, dan keinginan belajar itu bisa cukup kuat untuk menggerakkan saya untuk melakukan hal-hal yang mungkin beyond belief.
Bahwa saya bisa menciptakan ‘ruang’ di kehidupan nyata untuk mengekspresikan hal-hal semacam-nggak-jelas yang ada di otak saya.
Bahwa musik yang sudah ada di dalam diri saya ini memang sudah takdirnya tidak bisa mati *eh. Jadi inget band paporit dan gitarisnya yang gantengnya kagak nahan. Ihik*. Dan bahwa saya masih punya kesempatan untuk mengembangkannya di arah yang non kompromistis –arah yang sesuai keinginan saya.
Bahwa menolak kesempatan meraih mimpi dengan alasan ‘sedang bekerja’ itu nggak banget karena pekerjaan toh bisa dicari dan kesempatan meraih mimpi belum tentu datang dua kali..
Dan mungkin masih ada beberapa ‘bahwa’ lainnya yang saat ini tidak bisa saya ingat..
Well. Guess what: i did it. I MADE MY DREAM COME TRUE. Ya of course, namanya manusia tidak akan bisa jadi apa-apa tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa, but hey!! I got the universe well-conspired to get me through! How good was that? Not (just) good, of course, but it was GREAT. Saya merasa ‘hidup’ kembali, dan.. well. It feels great :)
Sampai sekarang –lebih dari sebulan sejak hari H- sepertinya semua ‘bahwa..’ di atas itu masih berlaku, dan ternyata mengerjakan semua itu tidak mengubah saya jadi orang yang seriously annoyying. Ternyata saya masih bisa jadi diri sendiri tanpa harus menjadi ‘terasing’ dari tempat saya tinggal. Entahlah. Maybe some things indeed just need some time to manage. Yang jelas, saya lega. Mungkin bahkan bahagia :D
Eniwei. Banyak mimpi tentu saja masih harus menunggu untuk bisa menjadi nyata, tapi paling enggak, semangat sudah ada, dan insya Allah akan terus terjaga. Sampai saat ini, saya masih tetap bekerja dan berusaha, dan saya percaya, pasti nanti akan indah pada waktunya. Ehehe
Well. Karena hidup hanya sekali, jangan biarkan menunggu. So. Let’s work it, and enjoy the every minute :)
No comments:
Post a Comment