Saya semacam tertampar. Begitu berupayanya saya mencari remah-remah keajaiban kecil yang bisa saya syukuri, dan saat saya menemukannya dan ingin berbagi, yang saya temukan adalah robot-robot mekanis yang hanya tahu logika jika-maka. Tidak mengerti “tanpa”, atau “dengan”. Begitu lelahnya otak saya yang RAM dan memorinya mulai soak ini mengumpulkan, menyusun, hingga akhirnya finishing, saat selesai ternyata saya tersesat di tempat yang tidak saya kenal. Jangankan kenal tempatnya, saya bahkan tidak yakin masih mengenal diri saya sendiri. Seperti berubah. Seperti tidak pernah ada. Seperti ada, tapi mungkin sebatas subconscious yang entah pernah bermanifestasi atau tidak. Saya ada, tapi saya juga hilang. Dan segalanya mengikuti.
Saat ini saya berusaha melakukan sejumlah deduksi dengan harapan bisa mencapai suatu definisi. Bagaimanapun, itu sulit. Sebagaimana kesepakatan, definisi dapat digunakan jika memang itu mempermudah aksi. Sayangnya, saya sendiri tidak yakin. Perlukah definisi? Sudah benarkah proses yang saya lakukan untuk mencapai definisi? Apakah memang saya berproses atau sebenarnya justru lari dari kewajiban untuk tidak mendefinisikan? Dapatkah definisi terjadi dengan sebatas dipikirkan saja atau haruskah ia juga dialami? Apakah pengalaman itu kewajiban? Mengapa pemikiran saja seperti tidak cukup? Saya tidak tahu. Saya hanya takut berhenti dan tidak bergerak. Selebihnya, saya tidak tahu. Saya ada, tapi saya hilang. Dan segalanya mengikuti.
Keyakinan. Kebingungan. Hujan dan panas hari ini muncul bersama. Juga semangat keberanian dan hasrat melarikan diri dari pergulatan. Pergulatan apa? Ini hidup yang tenang dan baik hati, tidak ada pergulatan. Semangat keberanian untuk apa? Mau membawa ke mana? Apa gunanya dibawa-bawa dan membawa? Perlukah lari? Mengapa berlari? Apakah ada janji yang lebih baik yang bisa dicapai dengan berlari? Siapa yang berjanji? Atas dasar kepentingan apa? Mengapa harus ada dasar kepentingan? Sulit untuk sekedar melakukan saja. Melakukan apa? Apa yang dilakukan? Mengapa harus ditanyakan bahkan untuk sekedar tahu apa yang dilakukan? Perlukah bertanya ‘mengapa’? Saya tidak tahu. Saya hanya takut menjadi bukan lagi manusia saat tak lagi bertanya ‘mengapa’. Selebihnya, saya tidak tahu. Saya ada , tapi saya hilang. Dan segalanya mengikuti.
Filosofi. Hakiki. Elaborasi. Pembebasan ekspresi. Sampai kapan? Mengapa harus ada deadline? Mengapa tidak? Mengapa pertanyaannya “kapan”? Bukankah kalau yang hakiki itu seharusnya tidak mengenal batasan dimensi ruang waktu? Seberapa nyata elaborasi bisa terjadi? Sebatas cabang-cabang baru bidang ilmu, selalu meluas, berelaborasi, meluas lagi, elaborasi lagi.. Siklik. Atau spiral? Atau siklik yang menggelinding? Lalu terbebaskan, cerai berai dengan pecahan berhamburan ke mana-mana. Beberapa masih dalam satu semesta, berkumpul kembali, menyadari bahwa tidak lagi sama, lalu bertahan. Atau tidak. Mungkin juga mengakhiri diri sendiri. Beberapa berada di semesta yang berbeda. Sebagian insidental, sebagian sengaja memanfaatkan momen. Sebagian memang sudah ingin berhenti, lalu berpindah. Inisiatif. Barang mahal. Sudah hilang. Ada, tapi hilang. Seperti saya. Saya ada, tapi saya hilang. Dan segalanya mengikuti.
Saya manusia, dan berusaha sepenuhnya untuk menjadi manusia sesuai takdirnya, karena saya selalu percaya. Meskipun saya ada, meskipun saya hilang. Dan segalanya mengikuti.
Ngapain sih saya nulis beginian?
No comments:
Post a Comment