Ge Pamungkas pernah bilang kalau alat musik yang paling
susah dijogetin adalah electric keyboard, dan alat inilah yang kalau ga salah
sering dipakai oleh para pemain orgen tunggal. Bukannya saya ngefans sama sama
Ge trus jadi sok2an ikut ‘bermasalah’ sama orgen tunggal si, tapi yang bisa
saya bilang di sini adalah, “I feel you, Ge..” meskipun mungkin dengan alasan
lain yang akan saya jelaskan di bawah ini.
Saya tidak sebel sama pemain orgen tunggal –i don’t usually
go personal about things, that’s lame- it’s what they do that annoys me. Well.
At least most of the orgen tunggal player i’ve had involved with, not all of
them. Banyak pemain orgen tunggal menganut prinsip, “pakai feeling aja”, dan
sekalipun sampai SMA saya relatif ga belajar musik pakai teori, this felt kinda
wrong already. Dan saat saya sedikit banyak mulai melaksanakan aktivitas musik
pakai teori, this turns to be damn wrong. Kenapa?
Because when you feel, you need to perceive. In order to be
able to perceive, you have to acknowledge things; in other words, you have to
learn things in advance. When you perceive without acknowledging anything,
that’s hallucination. And people who have hallucination are not usually
reliable. That’s reason number one.
Sekali lagi, nggak semua pemain orgen tunggal kaya gitu.
Bisa dilihat dari playlistnya. Pemain orgen tunggal yang berpotensi untuk bikin
saya gila biasanya SELALU punya genre ini dalam playlist utamanya: dangdut
koplo dan lagu band2 alay. Genre lain bisa berkisar antara (dari tingkat
kesulitan paling mudah ke paling sulit): campur sari, pop oldies indonesia,
keroncong; tapi jarang keluar dari itu. Kenapa? Karena genre2
tersebut chord-nya gampang. Kalau main di nada dasar C –dan pemain orgen
tunggal tertentu selalu main di nada dasar C, naik turun tinggal transpose.
Gampang- dangdut koplo, lagu band alay, sama campur sari itu kisaran akord-nya
paling di sekitar C-F-G-Am-Dm-Em. Kalau pop oldies, mungkin nambah Ab atau D
(yang kadang tak terindera juga si oleh pemain orgennya, dan ujung2nya berubah
jadi F tapi terdengar aneh). Kalau keroncong, mungkin tambah satu jari dan
jadilah Cmaj7. Kecil kemungkinannya pemain orgen tunggal dengan playlist ini
bisa pakai chord Gm yang bikin galau, which is probably indeed better karena
siapa juga sih yang butuh galau di acara kawinan? Ok, fine. Tapi mereka juga
will hardly acknowledge modulasi satu setengah nan sakti itu; which means you
can never ask them to sing “You’ll Be In My Heart” atau lagu-lagunya Yovie,
apalagi lagu-lagu Chrisye yang variasi chord-nya delicate itu; salah sedikit,
mood-nya udah berubah. Lupakan juga keinginan untuk nyanyi “Everything I do I
do it for you”-nya Bryan Adams yang modulasi turun satu di awal reff, trus naik
satu lagi menjelang reff berakhir. Fine, people might need time to learn, but
these people, usually hardly learn anything other than those six chords, karena
toh enam chord itu aja udah bisa dapet banyak lagu. Emang iya, tapi jadinya
nyebelin. Apalagi kalau pakai ngomong, “ah itu lagunya (yang ingin kita
nyanyikan) nggak terkenal, nyanyi yang terkenal aja, ni “aku bukan bang toyib”
aja.” Semua juga tahu kalau saya bukan Bang Toyib, ngapain pake di-lagu-in lagi
sih.. Ck. Lebih nyebelin lagi kalau udah memeras otak cari lagi C-F-G yang
catchy (setelah semua usul lagu lainnya ditolak karena chord-nya di luar
C-F-G), dan dengan pede-nya dia bilang, “ya ya itu aja, gampang,” tapi habis
itu masih juga salah chord! Dan setelah lagu selesai, bilang, “ya soalnya
lagunya baru. Ini kan saya pakai feeling aja, belum belajar.” Oh please go f*ck
yourself with that feeling-thingy..
Well. That’s reason number two. Here’s reason number three:
Alasan ketiga baru ‘emerge’ setelah saya belajar nyanyi di
paduan suara sih: terlalu banyak improvisasi tak terprogram; yang bukannya
bikin lagu jadi asik, tapi malah terdengar jadi nggak rapi. Tahu roller coaster
kan? It somehow leads to tachycardia, tapi ga bakal sampai bikin atrial flutter
atau fibrillation, kecuali pada individu yang memang sudah nasibnya. Kenapa?
Karena roller coaster punya SOP keamanan yang jelas, dan speed-nya pun punya
pola yang jelas: dari diam, jalan pelan, trus semakin cepat sampai kecepatan
puncak, trus nanti turun lagi, sampai berhenti. Bermusik juga gitu. Ada yang
namanya pakem/frame, dan menurut saya ini harus ditaati dulu. Selanjutnya
mungkin akan ada progresi atau improvisasi, dan mungkin akan ada pergeseran
‘frame’, tapi musik yang bagus nggak pernah melakukan perubahan2 ini dengan
abrupt. Kenapa? Karena hal2 yang abrupt itu nggak enak dan bikin setres.
Bayangkan roller coaster lagi cepet2nya, trus tiba2 berhenti pas lagi di atas.
Pasti paniknya ngalahin pas lagi maximum speed kan? Hal2 abrupt inilah yang
sering dilakukan pemain orgen tunggal. Sekali lagi, se-feeling-nya dia aja.
Yang tiba-tiba ngambil melodi satu atau dua oktaf di atasnya lah, tiba2
mengganti bunyi melodi dari yang tadinya suara cello yang humble dan comforting
jadi suara biola 1 yang kayanya dimainin sama orang yang sedang kejepit pintu
lah.. lagu dengan beat 3/4 dimainin secara 4/4 lah, not yang harusnya minor mak
bedunduk jadi mayor lah *beda setengah not ki akeh yoooo*, melodi yg harusnya
lebih syahdu dibikin not2 panjang malah dibikin improvisasi not2 pendek yang ga
pas sama chord-nya lah.. smp kesalahan amatir paling ringan-tapi-menyebalkan
semacam tidak bisa membedakan perenambelasan dengan perdelapanan.
Menyebalkannya terutama karena terjadi berulang, and still they think it’s
cool, apalagi karena, “ini memang saya sengaja improvisasi, pake feeling aja
lah pokoknya.” ....... do u know why i often wear dress with belt to wedding
ceremonies? Well. Just in case the orgen tunggal do that thing to me, i already
have something to strangle him *evil grin*
Alasan yang keempat cenderung lebih subyektif sih: I hate it when
they tell me how to sing while they’re still going off-beat or even off-chord.
Saya sebel kalau mereka sok2an menentukan nada dasar berdasarkan “biasanya lagu
ini kalau cewek nada dasarnya ini.” I’ve been listening to my own voice for
nearly 27 years now, and i’m LISTENING and exploring it, not merely HEARING
it.. and i was suggested to take different key kadang karena beliaunya males
pencet tombol transpos berkali-kali. That’s damn annoying. Apalagi kalau si
penyanyi yg datang bareng orgen tunggalnya kadang ikut ngatur2; kadang ikut
nyanyi, ngasi suara dua, tapi off beat, dan pitchy. Trus setelah lagu selesai,
salah satu dari mereka bilang, “kaya gini ini memang harus pakai feeling,
mbak.” *self-injecting high dose diazepam di arteri carotis
So. That’s what happens, and due to this and that, I know
that i will still need to endure all those things again and again, so. For you
who probably would somehow be singing with orgen tunggal dengan playlist yang
didominasi dangdut koplo atau lagu2 band alay and dont usually enjoy both
genres *why those two genres have fans is still a huge mystery for me*, these
few tips may help:
- Learn to play musical instrument your own, at least know the basic chords. So when something goes wrong, u can say, “that’s wrong, YOU SHOULD GO LIKE THIS” instead of merely “that seems off..” while you heart is crying helplessly inside.
- Don’t learn songs from those two genres (dangdut koplo and lagu band2 alay), it’ll blunt your musicality even further. Learn a few songs from the somehow-better-but-within-orgen-tunggal’s-range genre such as campur sari, pop indonesia oldies, or keroncong; preferably the popular one, and sing that everytime you’re asked to sing. In my case, btw, i usually sing Vina Panduwinata’s “Biru”, or if they don’t know the song, i’ll go with keroncong. If they don’t do keroncong, i cancel singing. Simple :p
- Never ask for songs from Chrisye, The Beatles, or such. It’ll only break your heart for knowing that they don’t know any of the artist you’re mentioning. And forget the desire to burn the stage by singing Queen’s “Bohemian Rhapsody”, they’ll probably just put a random music, and go koprol around instead of playing the poor orgen.
Once again, i’m not being personal. I just don’t enjoy being
involved with someone who consider themselves professional, yet are not eager
enough to learn and improve; and instead, choose to “pakai feeling aja.” That’s
damn cekek-able. Sekian terima kasih.
Tulisanmu membuat saya tersenyum hingga baris akhir... Nice sharing! :)))
ReplyDeleteTerus semangat ngeblog (dan nyanyi)! :D