CATATAN: Semua yang ditulis di sini adalah opini pribadi
yang hanya berbasis ke-sotoy-an dan tidak evidence-based and therefore subject
to debates ;) review-nya by-story ya, nanti di akhir ada semacam kesimpulannya. *ini kok mau masukin gambar ga bisa2 ya.. ck
Cicak di Dinding
Waktu awal2 film rectoverso dibuat, memang sudah ada
‘warning’ bahwa cerita ini dibikin lain, and i was actually curious about how
this ‘twist’ might turn out. Well. Unfortunately, IMO, it doesn’t turn out
really good. Adegan sex-related yang sampai 3x rasanya kebanyakan dan jadi
mengurangi sincerity “cinta yang tak terucap”-nya. Adegan ngopi-nya kelamaan
tapi kurang sukses membangun chemistry juga. Yama Carlos kurang keluar aura
senimannya, kurang ‘galau’; meskipun dibanding pemain yang lain di cerita ini,
dia paling oke. Sophia Latjuba kurang terkesan ‘ice queen’, harusnya kursus
dulu sama Angelina Jolie biar bisa memainkan karakter kaya begini. Hihi. Kayanya
mereka berdua ga reading naskah sambil diiringi lagu Bryan Adams yang medley
“If You Wanna Be Bad, You Gotta Be Good” sama “Let’s make a night to remember”
(di album “unplugged”). Sayang sekali..
IMO, this is the weakest of the five stories. Secara script
sebenarnya bagus lho, paling natural karena story/song asli-nya cenderung
casual, beda sama cerita lain yang lebih puitis. Sayang, penokohannya kurang
kuat; risiko yang harus ditanggung karena bikin interpretasi yang beda..
Curhat buat sahabat
Karena cerita di bukunya relatif khidmat dan mewek-genic,
saya samasekali nggak menduga bahwa cerita ini bakal punya bagian2 lucu. Mulai dari pacar Amanda yang ketua senat bodoh yang memperjuangkan kapur tulis karena
pro rakyat *sumpah ini ide keren banget. haha*, ekspresi Tetty Liz Indriati
waktu lagi pegang spidol, kalimat “ujung2nya DO”, sampai waktu Reggie nolak
fotokopian karena mau ke rumah Amanda. Cerita ini interpretasinya juga agak
beda sih sama yang saya bayangkan saat saya baca bukunya, tapi interpretasi-yang-beda ini berhasil kok. Interaksi karakter Amanda-Reggie terbangun dengan
baik, dan nangisnya Amanda yang terakhir itu pas banget sama bayangan saya
tentang campur aduknya perasaan saat berada di posisi itu. Well done :)
Firasat
IMO, Rachel Maryam beruntung karena dapat cerita ini, yang
dari jaman pleistocene sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk jadi
tear-jerker. Ceritanya puitis, tapi juga naratif. Asal setting-nya pas (dan di
film ini gotta say, setting “Firasat” ini pas banget), kasih aja hujan2 dikit,
dijamin penonton mewek banjir sampai ke laut.
Casting juga oke. Widyawati pas banget jadi ibunya
Asmirandah, dan Asmirandah pas banget jadi anaknya Widyawati. Aura natural
beauty mereka berdua tu selaras banget, and somehow i kinda believe that in
other life, they’re probably mother and child indeed. Dwi Sasono ganteng sih,
dan lumayan pas jadi lawan mainnya Asmirandah, meskipun kesan ‘comforting’-nya
nggak sekenceng yang di buku. Script bagus, cukup riil dan natural.
Adegan-adegannya efisien dan heart-throbbing dari awal sampai akhir. Adegan
nangisnya Asmirandah habis mimpi ‘tenggelam’ itu kayanya adegan nangis paling
oke sepanjang film, dan respons-nya Widyawati buat menenangkan dan adegan pas
mereka berdua akhirnya bobok bareng tu ‘nancep’ banget, ga ada slipped gesture
sedikitpun. Yang lebih keren lagi, ending-nya ternyata twisted boooook. Really
didn’t expect that! Sukaaaak! IMO, this is the best story of the 5.
One thing bugs me, though. Panca tu katanya orang tuanya di
Padang, tapi kok logatnya semacam medhok Jawa ya.. Apa orang tuanya
transmigran? Wkwkwk #abaikan
Hanya Isyarat
Saya nggak tahu beneran atau enggak, tapi kayanya cerita
inilah yang bikin script-nya paling sulit. Kenapa? Pertama, karena cerita di
bukunya cenderung deskriptif, bukan naratif; dan di cerita deskriptif biasanya
ga ada dialog. Kalau nggak ada dialog, gimana caranya bikin adegan? Kalau saya yang disuruh jadi script-writer-nya kayanya saya ngacir aja ke Timbuktu :p Kedua, buat saya ‘punchline’ cerita ini adalah “aku mencintai seseorang yang hanya
bisa kugapai sebatas punggungnya”, jadi adegan intinya adalah Al yang ngeliatin
punggungnya Raga. Apa asiknya cobak ngeliatin orang ngeliatin punggung orang
lain? Yang ada mah bosen.
Untung interpretasinya cerdas: setting-nya dibikin jadi
orang-orang yang backpacking. Buat backpacker, salah satu fungsi backpacking
memang sebagai ajang kontemplasi. Jadi meskipun bahasa puitis di buku tetap agak awkward waktu
dituangkan dalam adegan film, it doesn’t feel “off”, karena mood-nya memang
mood kontemplasi. Cerita ini buat saya juga paling representatif untuk
“universal synchronicity”; ga tau kenapa. Suara bariton-nya Hamish dan cara Sashi nyanyi di soundtrack-nya rasanya pas aja gitu sama cerita
aku-tidak-butuh-apa2-lagi-nya Raga. Semacam match-made in heaven gitu. Jadi
meskipun ceritanya terasa agak lambat, masih enjoyable. And oh! One more thing:
Amanda Soekasa.
I tweeted that Amanda Soekasa was the best actor/actress in
the movie. Kenapa? Karena peran dia susah, and she pulled it off! Kenapa susah?
Karena nggak ada ekspresi yang ekstrem di sepanjang cerita. Dan untuk
mempertahankan ekspresi yang relatif gitu-gitu aja dalam jangka waktu yang relatif
lama tanpa terasa membosankan sedikitpun itu... susaaaah >.< Ini mirip
sama kaya nyanyi. Penyanyi kalau kelihatan keren di nada2 ekstrem (mis. nada
tinggi), itu wajar karena buat penonton nada tinggi itu sendiri sudah
“adrenalizing”, jadi tinggal disenggol dikit aja pasti udah “wooooow”. Nada2
tengah-lah yang membedakan penyanyi yang sekedar “bagus” dengan penyanyi hebat.
Contoh, Chrisye. Emangnya pernah kita denger Chrisye nyanyiin lagu yang
improvisasi huououo dengan gaya yang dramatis? Saya sih nggak pernah. Tapi
siapapun yang tahu Chrisye, kayanya nggak ada yang nggak setuju kalau Chrisye
itu penyanyi hebat. Ya kurang lebih kaya gitu lah analoginya. Suara alto-nya
Amanda Soekasa itu kalau intensitasnya kelebihan dikiiit aja, kedengerannya
bakal jadi kaya suara Mayang Sari dan Mayang Sari itu penuh intrik dan penuh
intrik itu ga cocok sama mood “Hanya Isyarat”. Kalau intensitasnya kurang
dikiiiit aja, bakal membosankan dan menidurkan. Untuuuung dia bisa pas.
Kereeeen >.<
Well. Meskipun i think Firasat was best, but I think Hanya
Isyarat is my favourite. Faktor Hamish juga si, tapi ya.. gitu deh :p
Malaikat Juga Tahu
Kalau saya bilang Firasat itu efisien, MJT ini compact sekaliiii
-which is good, tapi malah jadi agak ‘berdesakan’ di satu atau dua spot. Cerita
ini sudah magis kongenital meskipun konon inspirasi lagunya muncul pada saat
penciptanya sedang sikat gigi *hubungan antara sikat gigi dan malaikat ini juga
masih menjadi misteri Illahi. I seriously have no thought about how this story
can be wrong karena semuanya sudah perfectly-elaborated; dan untungnya tim film
MJT benar-benar mengeksekusi perfect elaboration itu dengan perfect juga.
Juara-nya memang karakter Bunda –kayanya 3 karakter ibu di film ini memang
juara semua. Lagu MJT yang dinyanyikan Glen IMO juga ‘juara’ dibandingkan yang
lain (meskipun ttp paling suka ma Hanya Isyarat-nya Drew :p). Yah. Meskipun
bukan yang paling mewek-genic, MJT ini yang paling solid. Keren lah..
Oke. Secara umum, film-nya bagus, meskipun kalau harus
disetarakan sama buku dan musiknya yang asli, IMO si masih di bawahnya. Kalau
saya disuruh ngasi nilai, saya akan kasih nilai 12 pada skala 1-10 untuk buku
dan lagu2nya *ya maklum, adDEEction garis keras :p*,
dan dengan skala yang sama, film ini nilainya 8. Transisi antar ceritanya
smooth banget, which is damn cool, dan penggarapannya cukup detailed and
delicate, which is quite fascinating. Dibandingkan sama beberapa film Indonesia
yang saya tonton sebelumnya, slipped gesture di film ini secara umum minimal
(paling banyak di “Cicak di Dinding”, paling sedikit di “Firasat”), yang
artinya, it feels real. Keren lah :) Oh. And have i mentioned that this is the
first movie i watched in theatre after.... 106 months? :p
Yang bikin saya sebel adalah meet and greet-nya. Kenapa? Alasan
pertama jelas, karena saya cuma bisa lihat Hamish dari jauh. Padahal saya sudah
menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam keadaan excited karena apa? Karena
merasa mau ketemu Hamish. Padahal saya datang buat salaman, dan memastikan
bahwa warna matanya memang coklat muda. Selanjutnya saya bakal balik lagi ke
tempat di mana saya jadi bayang2..
Alasan kedua, saya merasa salah tempat. Harusnya saya ikut
diskusi rectoverso di Bentara Budaya, karena sebenarnya diskusi itulah yang
pingin saya dengar, bukan kumpul-kumpul hore yang sebentar banget dan crowded
dan ga jelas dan ga meaningful kaya kemarin. Sayang telat tahunya *ya secara sy
ga twitter-an 24 jam juga, i have a life :p
Even more sad is, ternyata hampir semua orang yg ada di
acara meet and greet itu sebelumnya ga baca atau mendengarkan lagu2 rectoverso. Mereka bukan fans yang datang karena memang ingin datang, tapi
datang karena “why not? lumayan nonton gratis, bisa ketemu artis.” Beda waktu
saya ikut acara semacam bincang2 sore di Jogja sama Dee. Itu freakin’ crowded,
dan most of them are fans yang udah nyiapin segebog buku buat ditandatanganin. Acara kemarin itu yang menonjol adalah
promosi-nya, rectoverso-nya sendiri malah ga tll diekspos, baik film-nya
sendiri, atau dalam kaitan dengan buku dan CDnya. I mean.. the book and CD has
been around since 2007 and they were masterpiece, one of the best work Indonesians
might ever create, and you don’t even know they exist? Kasihan banget si hidup
lo... so yes, i think i’m kinda disappointed, merasa tertipu. Untung udah disogok pake merchandise+nugget+sosis+bakso+french fries+minum gretongan, jadi saya ga raptus di sana.. *murah banget ya kl mau nyogok sy, pantes ga pernah berhasil jadi koruptor
No comments:
Post a Comment