Wednesday, 17 April 2013

saya merindukanmu


Saya merindukanmu, dan bola mata berwarna coklat muda itu. Yang pernah kamu gunakan untuk adu pandang (atau “staring contest”, seperti katamu) dengan bayi kecil bernama Embun. Saya tidak bisa membayangkan siapa yang menang di kontes itu, karena sepertinya kalian berdua memang jagoan. Melihat Embun, melihat kamu, melihat kalian berdua.. mungkin kalau terlalu lama saya meleleh lalu menguap, jadi awan, dan saat pagi datang, sayalah yang akan berubah menjadi embun. Dalam arti sebenarnya.

Saya merindukanmu, juga warna-warna langit dan air yang sudah kamu bagi. Kombinasi dua biru yang terklasifikasi tanpa gradasi, semburat pink-jingga-merah-kuning di langit senja, hijau sungai yang memantulkan warna pepohonan, atau tebing ombak putih yang terbelah oleh papan selancar di bagian tengah. Hanya dengan mengenalmu saya bisa tahu warna-warna itu, dan hanya dari kamu warna-warna itu jadi punya arti yang bebas dari keserakahan dan tinggi hati.

Saya merindukanmu, and all those things that people call “edgy”. Sebelumnya saya tidak tahu bahwa sudut setajam itu ternyata bisa tampak ramah, sudut tumpul tidak selalu payah, dan siku-siku juga bisa salah. Dan saya tidak ingat kapan terakhir kali saya benar-benar membatin “ternyata”. Buat saya hidup adalah serangkaian hal-hal-yang-seharusnya-terjadi: tidak ada yang mengejutkan, dan (sialnya) tidak ada yang mengagumkan. Sampai kamu membawa sudut-sudut itu: tajam, tumpul, siku-siku; dan menegaskan tentang perlunya repetisi untuk menambah kemungkinan kombinasi. Lalu berkembanglah kombinasi-kombinasi itu tanpa kita sadari, sejalan deret ukur, saat otak kita berpikir bahwa mereka bekerja berdasarkan deret hitung. Saat sisi angkuh kita mengatakan bahwa kitalah yang menciptakan dan menambah kombinasi, saat mereka sebenarnya berkembang sendiri. Tidak seperti kita, manusia, mereka tidak dihalangi realita, mereka hidup dalam dunia mimpi tak terbatas, yang hanya sesekali saja bisa kita jangkau. Akhirnya banyak dari mereka pun menjadi misteri, dan misteri ini begitu menakjubkannya, sampai pada batas yang dapat menginduksi kita untuk meninggalkan pembuatan kombinasi, dan alih-alih justru menjadi pemburu misteri. Keadaan menjadi terbalik: kitalah yang belajar dari apa yang kita buat. Tajam, tumpul, siku-suku; tiga yang menjadi satu. Seperti tritunggal di agama Hindu, atau sebutan “bapa, putra, dan roh kudus” di Injil.. Entahlah, saya meracau, mungkin karena efek sedatif dari perasaan “contented” ini. Kamu mungkin lebih tahu.

Saya merindukanmu, dan segala hura-hura perayaan manusia. Seolah itu spesial; sebagian memang iya, sebagian karena blow-up oleh media. Tidak masalah, tidak ada makna yang akan tepat sama. Antara aku dan kamu, atau bahkan dalam diri kita masing-masing. Mungkin akan butuh waktu seumur hidup bagi kita untuk membicarakannya, terlebih karena pada tiap pembicaraaan tak ada jaminan bahwa kita adalah orang yang sebelumnya. Kamu tahu, saya tahu, dan kita akan tertawa untuk hal itu. Orang yang berorientasi pada tujuannya untuk mencapai kesepakatan mungkin akan frustasi dengan hal ini, tapi saya tidak, dan kamu juga tidak. Ini perjalanan, dan tak ada yang lebih masuk akal dalam suatu perjalanan selain.. menjalaninya. Ya kan?

Saya merindukanmu, dan segala keterasingan yang terasa akrab itu. Tidak ada batas, kita sendiri yang menciptakan berbagai kata sifat sebagai upaya konyol untuk merangkum banyak hal dalam satu kata. Dalam nama keterbatasan waktu, demi kecepatan dan percepatan. Bahkan “cepat” itu sendiri pun adalah kata sifat. Mungkin memang dimensi kita di sini, tetapi siapa yang tahu kalau ternyata ada dimensi lainnya? Ketakutan kita pada kekacauanlah yang membuat kita menciptakan batas itu. Pada akhirnya, keteraturan pun having its own twists, dan kembali lagi kita harus mengakui, bahwa kita bersama dalam ketidakteraturan yang teratur. Atau keteraturan yang tidak teratur. Whatever. I’m not gonna go phylosophical with that, i’ve got real bills to pay anyway.

Saya merindukanmu, dan semesta ini mengetahuinya. Kamu juga, meski entah bagaimana caranya. Selebihnya, saya tidak tahu, dan tidak perlu tahu. Mungkin justru kamu yang lebih tahu..

4 comments: