Saturday, 17 December 2016

(Inter)personal space part 1: Our mixed feeling (hence our ambivalence)

Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan seorang teman melakukan semacam displacement dan simbolisasi berlapis sebagai reaksi terhadap suatu perubahan (inter)personal space yang sedang dia alami. Bisa saja saya terlalu heboh menginterpretasi, tapi.. buat saya, terlihat jelas betapa campur aduknya perasaan teman saya terkait perubahan ini. Ada kemarahan dengan setidaknya dua alasan yang bisa saya identifikasi. Pertama, karena tidak terima. Saat orang lain mengatakan, “I need my own (personal) space” kadang itu sama artinya dengan ‘mengusir’ orang yang selama ini dekat dengan kita. Namanya diusir saat kita tidak merasa melakukan kesalahan, saya rasa marah adalah reaksi yang sepertinya relatif wajar. Alasan kedua… agak lebih kompleks, dan terkait dengan perasaan-perasaan lainnya. Sepertinya ada semacam kelegaan bahwa saat satu orang berada di space-nya sendiri, space yang kita kuasai penuh akan menjadi relatif lebih luas karena tidak lagi perlu berbagi dan penambahan keluasan ini bisa melegakan. Di sisi lain, tentu saja tidak semua space yang tadinya dibagi bersama, bisa dikuasai, sehingga ada juga kehilangan sesuatu yang tadinya ‘seolah’ milik kita. Ada semacam kesadaran yang muncul bahwa mungkin apa yang kita miliki ternyata tidak sebanyak yang kita pikirkan, dan hal ini bisa memicu rasa kehilangan yang.. kind of sad, somehow. Mungkin ada juga perasaan yang berjalan bersama dengan kelegaan itu berupa apresiasi terhadap perpisahan antara me and not-me; yang tentunya seringkali berhubungan dengan perasaan tidak aman akibat adanya pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa saya yang sekarang ini memang benar-benar bisa untuk mengurus space saya sendiri? Bagaimana kalau saya melakukan kesalahan? Apakah saya sudah bisa cukup menghargai space orang lain? Bagaimana kalau saya tidak cukup menghargai space orang lain? Bagaimana kalau justru orang lain yang tidak menghargai space saya? Apa yang harus saya lakukan: marah, membiarkan, atau bagaimana?”

Yah. Kompleks, dan manifestasi kompleksitas itu bisa beragam. Pada teman saya, ia melakukan displacement (dan mungkin simbolisasi) dengan mengomel tentang orang-orang yang tidak menghargai space orang lain; tapi space yang ia bicarakan saat itu adalah space yang konkret, bukan (inter)personal space. Ia juga menunjukkan upayanya untuk yakin dengan the established-ness of the space-nya dengan cara mempertahankan usulan yang diharapkan dapat diterapkan secara kolektif; tetapi mungkin masih tampak kebingungan saat established-ness itu ternyata tidak selalu bisa dipertahankan dengan bersikap tegas dan menegakkan aturan. Satu konsep yang juga penting adalah bahwa (inter)personal space itu ternyata “liquid” dan selalu berubah; menyesuaikan dengan konteks sekitar, seperti cairan yang akan selalu berubah mengikuti bentuk wadahnya meski volumenya sebenarnya tidak berubah. And yep, awareness can be confusing, especially when it’s at early stage.

Observasi seperti diuraikan di atas itu tentu saja kemudian membuat saya berefleksi tentang (inter)personal space saya sendiri (yang tidak akan saya bahas di sini), hubungan interpersonal secara umum, serta satu atau dua teori yang pernah saya baca terkait hal tersebut. Yang akan saya uraikan lebih lanjut di sini adalah tentang “menjaga silaturahmi” dan kaitannya dengan “teori evolusi” dan mungkin dengan “the polyvagal theory

Jadi akhir-akhir ini ceritanya ada beberapa temans yang mengeluhkan isi linimasa medsos yang dianggap ‘hostile’ dan ‘menyedihkan’, dan sedikit banyak berpikir untuk mengurangi penggunaan medsos atau “memutus hubungan” dengan beberapa koneksi di sana karena menginginkan kehidupan yang lebih sehat mental. Mengurangi penggunaan medsos sepertinya lebih sulit karena saat ini medsos cenderung dianggap sebagai bagian yang wajar dari kehidupan sehari-hari (although some interpersonal encounters that I had during my days off some time ago clearly indicated otherwise). Karena itu, pilihan untuk “memutus hubungan” dengan pihak-pihak yang dianggap berdampak buruk terhadap kesehatan mental, dianggap sebagai solusi yang lebih mudah. Tapi benarkah mudah? Tidak juga. Karena memutuskan hubungan itu sama seperti ‘menandai’ space antara me dan not-me dengan batas yang lebih tegas, dan konsekuensinya bisa seperti yang saya ceritakan tentang teman saya tadi: perasaan yang campur aduk. And of course we tend to prefer certainty, sehingga kita selanjutnya berkutat pada pertimbangan pro dan kontra tentang perlu atau tidaknya memutuskan hubungan, karena… despite knowing that it’s not good, we still wish to preserve our current certainty; because… it’s ugly, but it’s still a certainty, and it is a certainty that we can live with. Well, to this point, at least

Jadi ya.. rempong. Kaya orang parkir gitu: gerak maju, mundur, kanan, kiri.. eeeehh ujung-ujungnya diam di tempat.



To be continued… :p 

No comments:

Post a Comment