Saturday, 7 January 2017

(Inter)personal space part 2: Ruang saya

Catatan: sebenarnya saya sedang tidak suka mengetik karena ada beberapa tombol di kibor laptop saya yang kadang mendadak seperti terpencet sendiri dan kursornya jadi lari-lari, tapi karena toh saya harus segera mengetik proposal penelitian, anggap saja ini pemanasan :p

Sejauh ini saya masih memegang prinsip bahwa jika ada hal-hal yang tidak bisa saya ungkapkan secara jelas dan tepat sasaran, itu artinya saya akan harus siap untuk melakukan supresi terhadap hal-hal itu hingga mencapai satu dari luaran berikut: 1) saya menemukan cara untuk mengkomunikasikannya dengan baik; 2) saya merelakan hal itu untuk tidak tersampaikan. Ini berarti bahwa saya tidak membiasakan diri untuk menyasar orang dengan cara menyindir, karena (bagi saya) menyindir bukan cara komunikasi yang jelas dan tepat sasaran. Saya juga berusaha untuk tidak memanipulasi lingkungan (atau pihak yang saya target) untuk membuat maksud saya tersampaikan, karena namanya jalan memutar itu biasanya jalurnya lebih panjang dan melelahkan. Saya akan bersedia menempuh jalan memutar yang melelahkan ini kalau: 1) durasi yang diperlukan untuk jalan memutar ini  relatif bisa diprediksi dan masih dalam rentang waktu yang memang masih dalam kapasitas saya; 2) analisis risiko/manfaat mengatakan bahwa ini kemungkinan besar akan lebih banyak manfaat daripada risikonya---contoh dari situasi ini adalah saat saya diskusi MiniCEx dengan koas. Kalau saya bertanya dan koas menjawab dengan jawaban yang sudah nyrempet tapi belum tepat, saya biasanya tidak langsung memberitahukan jawaban yang benar, tapi mengajukan beberapa pertanyaan lain yang saya harapkan bisa memandu untuk kembali ke jalan yang benar; 3) Saya melakukan ini untuk seseorang atau sesuatu yang saya anggap penting to the level that I’m (virtually) willing to do anything or even die for it/him/her.

Terus ini sebenarnya mau ngomong apa?
Oh iya, interpersonal space.

Intinya, kecil kemungkinan bahwa saya akan ‘menginvasi’ (inter)personal space seseorang tanpa persetujuan atau kesadaran (setidaknya parsial) dari orang yang ‘diinvasi’ itu. Jadi kalau saya memang ingin masuk ke (sebagian aspek dari) kehidupan Anda, kemungkinan besar Anda akan tahu, karena saya mengkomunikasikannya dengan Anda. Kecil kemungkinan saya akan mengupayakan komunikasi dengan cara membuat status di Facebook yang selanjutnya membuat orang berpikir, “Ih ini kayanya tentang aku deh.” Bukannya hal ini tidak pernah terjadi, pernah tentu saja, tapi saat ini terjadi, biasanya itu karena saya sudah cukup yakin bahwa saya sudah mengupayakan segala cara komunikasi yang ‘beradab’… and you’re still not listening. Itu semacam ventilasi terakhir sebelum saya akhirnya memulai proses untuk merelakan dan beralih ke hal lain.

Mungkin yang bisa jadi masalah buat saya adalah karena saya kadang lupa bahwa pola pikir saya seringkali tidak cukup representatif untuk pola pikir yang (menurut saya) umum terjadi pada situasi sehari-hari. Contoh, saat suatu hubungan lebih banyak membuat saya merasakan emosi yang negatif dibanding positif karena (inter)personal space saya seperti terus-menerus diinvasi, I’ll just cut it and consider it gone from my life. Saat ini terjadi di media sosial, yang saya gunakan adalah blok dan unfriend/unfollow; dan kalau invasi terasa sangat menyesakkan, baik invasi yang bersifat langsung (mis. reaksi yang saya anggap berlebih untuk post saya, atau ajakan untuk keterlibatan dalam sesuatu yang sudah saya tolak baik-baik tapi penolakan saya tidak didengarkan) atau tidak langsung (mis. solidaritas dengan mengatasnamakan kelompok tertentu di mana saya tercakup di dalamnya saat sebenarnya solidaritas itu ditunggangi kepentingan segelintir orang), saya deactivate FB sementara; atau kalau terjadi di grup whatsapp, saya keluar dari grup. Tentu saja keputusan untuk melakukan hal-hal ini tidak saya buat secara impulsif, tetapi dengan pertimbangan yang didasari observasi ‘non-judgemental’ dengan durasi yang relatif cukup.

Saya tidak mempertahankan hubungan yang buruk dengan alasan “menjaga silaturahmi”. Kalau mau pakai polyvagal theory, pada prinsipnya kalau bersilaturahmi itu dianggap suatu pro-social behavior, memang itu bagus dan merupakan mekanisme pertahanan yang paling adaptif. Tapi, saat silaturahmi itu lebih banyak membuat saya merasa tertuntut daripada mendapat manfaat, akan muncul semacam perasaan yang ambivalen terhadap proses ini. Saat ada dua kekuatan yang saling bertolak belakang yang terus tarik-menarik, yang terjadi adalah energi banyak keluar, tapi kita tidak bergerak ke mana-mana, dan saya bukan penggemar kondisi seperti itu.

Alasan lain pernah saya dengar untuk tidak meninggalkan kontak yang lebih banyak membawa emosi negatif adalah, “nggak enak kalau ditinggalin, siapa tahu nanti kita perlu.” Ya.. gimana ya.. meskipun saya tidak religius, saya cukup yakin bahwa Tuhan itu baik. Artinya, kalau saya kehilangan sesuatu (termasuk suatu kontak), saya akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Selain itu, yang ‘nanti’ ya dipikir nanti. Yang dipikirkan untuk sekarang ya yang ada sekarang. Kalau yang ada sekarang adalah suatu hubungan yang tampaknya sudah busuk dan perlu dibuang, ya dibuang saja, karena.. namanya hidup, sepertinya memang tidak ada yang abadi. Things will change, and people too; that’s just how life is. Mungkin benar, suatu saat saya akan punya keperluan dengan hal-hal atau orang-orang yang sudah saya relakan pergi, tapi.. pada saat itu kemungkinan besar resources saya sudah berbeda, mindset saya sudah berbeda; dan sejauh ini saya cukup yakin bahwa apapun yang saya perlukan akan bisa saya dapatkan pada saat saya memang perlu mendapatkannya. Kalau belum dapat, berarti belum perlu. Gitu aja.

Alasan lain lagi adalah kalau kita menjauhkan diri dari kontak-kontak itu, dunia akan jadi kehilangan warna. Well.. menurut saya tidak juga, karena saat sesuatu hilang dari hidup saya, tempat kosong itu akan bisa saya isi dengan hal lain yang berbeda; yang mungkin tidak langsung fit in.. tapi dalam proses mencapai fit in itu, saya jadi diingatkan kembali bahwa hidup adalah proses yang dinamis; dan bahwa saat saya tidak mendapatkan yang saya inginkan atau yang saya anggap ideal, bukan berarti itu akhir dunia. Seringkali itu justru menjadi awal untuk pola baru yang ternyata lebih adaptif dari pola lama… dan pada akhirnya saya bisa menikmati juga.
Jadi ya.. gitu.

Semoga saya cepat lulus :D *ga nyambung

No comments:

Post a Comment