Catatan: sebenarnya saya sedang tidak suka mengetik karena
ada beberapa tombol di kibor laptop saya yang kadang mendadak seperti terpencet
sendiri dan kursornya jadi lari-lari, tapi karena toh saya harus segera
mengetik proposal penelitian, anggap saja ini pemanasan :p
Terus ini sebenarnya mau ngomong apa?
Oh iya, interpersonal space.
Intinya, kecil kemungkinan bahwa saya akan ‘menginvasi’
(inter)personal space seseorang tanpa persetujuan atau kesadaran (setidaknya
parsial) dari orang yang ‘diinvasi’ itu. Jadi kalau saya memang ingin masuk ke (sebagian
aspek dari) kehidupan Anda, kemungkinan besar Anda akan tahu, karena saya
mengkomunikasikannya dengan Anda. Kecil kemungkinan saya akan mengupayakan
komunikasi dengan cara membuat status di Facebook yang selanjutnya membuat
orang berpikir, “Ih ini kayanya tentang aku deh.” Bukannya hal ini tidak pernah
terjadi, pernah tentu saja, tapi saat ini terjadi, biasanya itu karena saya
sudah cukup yakin bahwa saya sudah mengupayakan segala cara komunikasi yang ‘beradab’…
and you’re still not listening. Itu semacam ventilasi terakhir sebelum saya akhirnya
memulai proses untuk merelakan dan beralih ke hal lain.
Mungkin yang bisa jadi masalah buat saya adalah karena saya kadang
lupa bahwa pola pikir saya seringkali tidak cukup representatif untuk pola pikir
yang (menurut saya) umum terjadi pada situasi sehari-hari. Contoh, saat suatu
hubungan lebih banyak membuat saya merasakan emosi yang negatif dibanding positif
karena (inter)personal space saya seperti terus-menerus diinvasi, I’ll just cut
it and consider it gone from my life. Saat ini terjadi di media sosial, yang
saya gunakan adalah blok dan unfriend/unfollow; dan kalau invasi terasa sangat
menyesakkan, baik invasi yang bersifat langsung (mis. reaksi yang saya anggap
berlebih untuk post saya, atau ajakan untuk keterlibatan dalam sesuatu yang
sudah saya tolak baik-baik tapi penolakan saya tidak didengarkan) atau tidak
langsung (mis. solidaritas dengan mengatasnamakan kelompok tertentu di mana
saya tercakup di dalamnya saat sebenarnya solidaritas itu ditunggangi
kepentingan segelintir orang), saya deactivate FB sementara; atau kalau terjadi
di grup whatsapp, saya keluar dari grup. Tentu saja keputusan untuk melakukan
hal-hal ini tidak saya buat secara impulsif, tetapi dengan pertimbangan yang
didasari observasi ‘non-judgemental’ dengan durasi yang relatif cukup.
Saya tidak mempertahankan hubungan yang buruk dengan alasan “menjaga
silaturahmi”. Kalau mau pakai polyvagal theory, pada prinsipnya kalau bersilaturahmi
itu dianggap suatu pro-social behavior, memang itu bagus dan merupakan
mekanisme pertahanan yang paling adaptif. Tapi, saat silaturahmi itu lebih
banyak membuat saya merasa tertuntut daripada mendapat manfaat, akan muncul
semacam perasaan yang ambivalen terhadap proses ini. Saat ada dua kekuatan yang
saling bertolak belakang yang terus tarik-menarik, yang terjadi adalah energi banyak
keluar, tapi kita tidak bergerak ke mana-mana, dan saya bukan penggemar kondisi
seperti itu.
Alasan lain pernah saya dengar untuk tidak meninggalkan
kontak yang lebih banyak membawa emosi negatif adalah, “nggak enak kalau
ditinggalin, siapa tahu nanti kita perlu.” Ya.. gimana ya.. meskipun saya tidak
religius, saya cukup yakin bahwa Tuhan itu baik. Artinya, kalau saya
kehilangan sesuatu (termasuk suatu kontak), saya akan mendapatkan ganti yang
lebih baik. Selain itu, yang ‘nanti’ ya dipikir nanti. Yang dipikirkan untuk
sekarang ya yang ada sekarang. Kalau yang ada sekarang adalah suatu hubungan
yang tampaknya sudah busuk dan perlu dibuang, ya dibuang saja, karena.. namanya
hidup, sepertinya memang tidak ada yang abadi. Things will change, and people
too; that’s just how life is. Mungkin benar, suatu saat saya akan punya
keperluan dengan hal-hal atau orang-orang yang sudah saya relakan pergi, tapi..
pada saat itu kemungkinan besar resources saya sudah berbeda, mindset saya
sudah berbeda; dan sejauh ini saya cukup yakin bahwa apapun yang saya perlukan
akan bisa saya dapatkan pada saat saya memang perlu mendapatkannya. Kalau belum
dapat, berarti belum perlu. Gitu aja.
Alasan lain lagi adalah kalau kita menjauhkan diri dari kontak-kontak
itu, dunia akan jadi kehilangan warna. Well.. menurut saya tidak juga, karena
saat sesuatu hilang dari hidup saya, tempat kosong itu akan bisa saya isi
dengan hal lain yang berbeda; yang mungkin tidak langsung fit in.. tapi dalam
proses mencapai fit in itu, saya jadi diingatkan kembali bahwa hidup adalah
proses yang dinamis; dan bahwa saat saya tidak mendapatkan yang saya inginkan
atau yang saya anggap ideal, bukan berarti itu akhir dunia. Seringkali itu
justru menjadi awal untuk pola baru yang ternyata lebih adaptif dari pola lama…
dan pada akhirnya saya bisa menikmati juga.
Jadi ya.. gitu.
Semoga saya cepat lulus :D *ga nyambung
No comments:
Post a Comment