Saturday, 11 February 2017

Tentang menjadi jomblo dan berinvestasi untuk pipa bocor

Mumpung menjelang Valentine, saya mau membahas hal-hal yang berbau relationship ya. Sejauh ini saya cukup bangga dengan diri sendiri karena (saya merasa bahwa) sejauh ini tulisan-tulisan saya di blog ini relatif bisa ‘anonim’ dan minim risiko untuk membuat orang merasa “ini kayanya ngomongin gue deh.” Ya mungkin karena blog-nya relatif nggak ada yang baca, jadi nggak ada yang merasa. Meskipun begitu, just in case ada pembahasan yang ternyata dirasa menyinggung, percayalah, bahwa kesamaan ini hanya kebetulan semata meski bukan fiktif belaka. Kalau ada yang kemudian jadi bete dan mau ditraktir krupuk buat ngilangin bete, langsung japri aja ya. Gampang, bisa diatur.

Jadi gini.
Dua tahun terakhir ini, thanks to T*nder, saya bisa ketemu mas2 dalam jumlah yang lebih banyak dibanding jumlah yang pernah saya temui dalam 28 tahun sebelumnya dikalikan dua. Seru sih, dan saya jadi banyaaaaakk sekali belajar. Tentang pola-pola hubungan yang tidak konvensional, tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam berjalan atau tidak berjalannya suatu hubungan, tentang apa yang saya mau dan butuhkan, tentang apa yang bisa saya terima dan tidak, tentang perbedaan, tentang cara komunikasi, tentang manajemen waktu dan keterlibatan emosional di medsos, tentang kompatibilitas, tentang hati, tentang trend masa kini, dan sebagainya. Uraian di bawah ini adalah sebagian cerita tentang hal-hal yang sudah saya pelajari tersebut. Nggak ada tips and trick karena setiap orang itu unik, dan otomatis setiap hubungan juga akan unik; ini sekedar pemaparan tentang apa yang (menurut saya) saya tahu karena sudah saya alami.

Oke. Let’s get started.

Poin pertama, meeting people is now easy, so probably cheating is easier as well. Ini hipotesis, tapi ya.. mungkin pada pernah dengar lah cerita-cerita tentang mereka yang hubungannya jadi goyah karena ketemu mantan atau kenalan baru via medsos. Buat saya pribadi, kemudahan ini ternyata sempat memberikan pengalaman buat saya untuk jadi semacam selingkuhan yang sialnya baru saya sadari setelah kontak berakhir. Saya sempat marah sama diri sendiri dan sempat berulang-ulang bertanya, “How come I didn’t notice?” and because I’m a (soon-to-be) shrink, pertanyaan seperti ini tidak hanya membuat saya mempertanyakan judgement saya sebagai seorang pribadi, tapi juga sebagai seorang profesional. Long story short, at least buat saya, jadi selingkuhan itu nggak enak. Dulu sudah pernah juga diselingkuhin, dan itu juga nggak enak. Nggak usah lah ya saya melanjutkan siklus nggak enak ini dengan berselingkuh dan membuat orang lain jadi berada di PNW (posisi nggak wuenak) instead of PW (posisi wenak). Saya masih percaya bahwa hal-hal nggak baik yang saya tanam suatu saat pasti akan saya tuai, dan uripku ra selo-selo banget jadi saya akan lebih memilih untuk menanam yang (menurut saya) baik daripada yang tidak baik. Although of course, baik atau nggak baik itu selalu arbitrary. Kalau mungkin ada yang bilang, “Selingkuh aja kali, kan enak..” ya mungkin di elu enak, gue sih ngrasanya enggak enak, jadi ya gue nggak usah lah. Elu sih terserah.



Poin kedua, seperti yang sempat dicetuskan ‘beliau’ saat melakukan psikoanalisis ke saya, saya ternyata nggak suka hubungan non konvensional. By "konvensional", I'm referring to that kind of relationship which is long-term, secure, and monogamous; not exactly a marriage, though. Saya nggak bilang hubungan non konvensional itu salah, but I just didn’t like it when I was kind of in it, I still can’t imagine I could change my mind into liking it in the future, and I can’t imagine going on living while continuously being at something that I dislike either. I’d definitely rather stay in my comfort zone: njomblo, karena pengalaman selama bertahun-tahun sebagai jomblo yang konsisten nggak laku-laku mengajarkan bahwa momen di mana saya paling produktif dan bermanfaat bagi orang lain, adalah saat saya sedang jomblo; dan bukan saat saya sedang punya hubungan but the relationship went like shit. Kalau katanya kita mau menjalankan spirit agama sebagai rahmatan lil ‘alamin dan kita tahu bahwa paling bermanfaatnya adalah saat jadi jomblo, ya udah lah ya, njomblo aja gpp, yang penting tujuan tercapai inih... 
*mbak kesambet apa mbak kok mak bedunduk relijius.. *gapapa, ngomyang dikit aja mumpung masih belum ganti KTP

Poin ketiga, meski judulnya “dating app”, seringkali yang didapat justru bukan “a date”, and it’s just okay. Karena posisi saya di Bali yang mungkin merupakan tujuan wisata (dan mungkin juga tujuan kerja) domestik dan internasional, saya relatif lebih banyak ketemuan dengan antek asing dibanding mas2 lokal. Saya relatif lebih banyak swipe left untuk mas2 lokal karena biasanya pada nggak nulis profil (yang bikin saya mikir, “ah kaya gini mah kl di-swipe-right paling juga ga bakal message, ga bakal ketemuan. Ngapain juga ngumpulin poto2 mas2 gajelas di HP, mendingan ngumpulin skrinsot guideline psikofarmaka). Ya tapi tentu ada mas2 lokal yang profilnya oke, dan setelah ketemu ngomongnya juga lumayan enak dan nyambung. Antek-antek asing juga fifty-fifty lah. Ada yang asik, ada yang brengsek. Banyak yang enak diajakin berbagi cerita tentang pengalaman dia selama traveling, apa yang beda tentang hidup di negara asalnya dan di Indonesia, pengetahuan-pengetahuan praktis, opini-opini tentang topik tertentu.. dan sebagainya. Pada kasus yang seperti itu, saya juga senang karena jadi punya kesempatan untuk cerita betapa beragamnya Indonesia, bertanya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak yakin bisa saya tanyakan pada siapa, atau bahkan belajar mengapresiasi sudut pandang yang berbeda. So it’s been kind of nice, I guess J

Poin keempat, suka atau enggak, menjalin (dan mempertahankan) kontak itu butuh modal. Modalnya bisa dalam bentuk waktu yang harus disediakan untuk sekedar balas message atau ketemuan. Duit atau transport yang perlu dikeluarkan biar bisa ketemuan dan kontak lagi dan ketemuan lagi. Kapasitas verbal yang adekuat buat bisa menentukan ketemu kapan di mana jam berapa mau ngapain dan bukannya sekedar kirim lokasi disertai pesan “this is my hotel”. Terus kenapa kalau itu hotelmu? Saya disuruh jadi investor buat bayarin biaya maintenance pipa bocor? Ya sori, ngga level, aku ra nde dit nggo koyo ngono; mbayar sekolah wae ijih njaluk bapak emakku. Hih.
Modal lain yang diperlukan bisa juga berupa keteguhan hati untuk nggak ngacir dari janjian meski selalu ada potensi bahwa orang asing yang akan kita temui adalah serial killer, atau yang lebih parah lagi, f*rh*t *bb*s yang menyamar jadi mas-mas bermuka brad pitt dengan profil meyakinkan. Kemampuan untuk mengendalikan diri agar tidak ada makhluk tak berdosa yang terbunuh saat kita kesel banget karena janjian dibatalkan pada last minute saat kita sudah ada di lokasi padahal demi memenuhi janjian itu, ada tesis yang pengerjaannya jadi tertunda. *uhuk *alibi
Pada intinya, kalau kontak itu memang bagus, atau at least nggak merugikan, punya modal dan menggunakan modal itu memang akan jadi keniscayaan. Kalau katanya menjalin hubungan itu harus dimulai dengan tulus, kok sepertinya berat ya, karena yang saya tahu, orang yang namanya Tulus itu cuma ada satu dan sudah sibuk jadi artis. Saya rasa dia tidak akan sempat menjalin hubungan dengan semua jomblo di dunia ini, jadi ya nggak usah dipaksakan lah.

Jadi begitulah.


Kesimpulannya, saya sebenarnya lumayan ikhlas jomblo tapi ya kalau ada mas2 jomblo self-content tampan cerdas bermusikalitas yang lewat terus menganggap bahwa saya harusnya didepak dari zona nyaman itu, ya nggak pa-pa juga. Bisa nego, asal mau bantuin saya ngerjain tesis.. *tetep

No comments:

Post a Comment