Friday, 15 September 2017

Menjelajah konsistensi sebuah inkonsistensi

Kebebasan yang tertambat menjadi norma karena kamu sempat menjejak jarak. Mengajak bicara, menunjukkan dunia, memandu pandangan mata, mengamati nuansa, lalu mengucapkan selamat tinggal yang katamu sementara. Saya merasa agak gimana, tapi tidak apa-apa karena sepertinya saya toh baik-baik saja.

Musim panas yang dingin menjadi berhenti karena kamu sudah kembali. Menyapa bangun saya di pagi hari, menelaah pekerjaan hari ini, memamerkan hujan yang riuh membasahi, lalu menempatkan palang untuk interaksi yang katamu harus dibatasi. Saya merasa keki, tapi saya tidak keberatan untuk tetap jadi makhluk baik hati.

Keramaian yang sepi tidak ada lagi karena kamu ada di sini. Memperdengarkan lagu, memutar cerita syahdu, menertawakan gurau dan meratapi haru, membahas aktivitas baru, lalu meletakkan tanda titik yang katamu memang perlu. Saya merasa mulai ragu, tapi saya anggap ini reaksi wajar terhadap penyesuaian dengan hal baru.

Kepastian yang bimbang menelusup di setiap inchi karena kamu tak juga pergi. Memanggil dari malam hingga kembali sore, menggemakan rentetan satire, melintas maju tanpa antre, lalu mematil dan hilang di balik kubangan yang katamu biar seru seperti ikan lele. Saya merasa bolak-balik ke tempat yang sama seperti sedang diare, tapi saya coba berbaik sangka karena toh saya tidak merasa didikte.


Tapi…


Kamu tetap sama, konsisten di antara ada dan tiada. Membangun asa, kemudian menyembunyikannya. Mewacanakan tatap muka, kemudian berhenti menyebutkannya. Maksud kamu sebenarnya apa?

Kamu kembali tapi kamu tidak ada di sini. Menghalau nyeri, kemudian menebarnya lagi. Memintal mimpi, kemudian melumatnya dengan gergaji. Apa memang yang kamu inginkan yang seperti ini?

Kamu begitu, dan konsisten untuk tetap begitu. Memusnahkan kabut, kemudian meratakan tumpukan abu ke segala penjuru. Memangkas perdu, kemudian memenuhi medan dengan kerasnya gundukan batu. Tidakkah kamu tahu betapa beratnya semua itu?

Kamu hore, saya memble. Memberikan hadiah lotre, kemudian menggagalkannya dengan alasan salah genre. Memfermentasi dengan gigih hingga jadi tempe, kemudian membuangnya di WC. Sadarkah kamu bahwa ini seperti ingin mempertahankan warteg tapi kemudian mendadak tergusur oleh pembangunan kafe?



Mungkin tidak.



Ya sudah lah kalau begitu. Saya pastikan goodbye saja meski kamu masih saja tersenyum sambil terus mengucapkan “Halo!”

No comments:

Post a Comment