
Jadi gini. Salah satu momen tergonjreng saat melakukan "pembicaraan" yang berbau psikoanalisis adalah saat saya (merasa) bisa menyusun suatu formulasi cerita yang seperti lebih dekat ke superdupermbuletgajelas daripada ke masuk akal, menemukan kata-kata untuk menyampaikan interpretasi tersebut ke orang yang saya ajak bicara, dan dia dengan takjub menyahut dengan, "Iya sih ya, kayanya emang gitu".
Pada saat itulah I feel like nembakke confetti dan menebarkan isinya ke segala penjuru sekaligus mbukak champagne yang harganya paling mahal sedunia terus diputer-puter disebar kaya saya habis menang F1. I feel like so grateful karena ada yang mengapresiasi kerja keras saya untuk membongkar sebanyak mungkin memori yang bisa saya bongkar dalam rangka menyusun formulasi itu, mengatur kata untuk menyampaikannya; dan bukannya serta merta menyahut "ah nggak kaya gitu" bahkan sebelum saya menyelesaikan kalimat pertama.
Terus apa hubungannya sama novelnya? Wkwk buat saya, novel itu adalah bagian yang cukup penting dari proses saya untuk melakukan self-analysis. Namanya 'self' (ie tanpa supervisi) dan karena saat itu mungkin saya baru membaca satu atau dua buku tipis tentang psikoterapi (terutama yang terkait psikoanalisis), sepertinya saya berbohong kalau saya bilang bahwa isi buku itu sepenuhnya bagus, memikat, relatable, atau punya berbagai alasan lain yang mungkin akan membuat Anda tertarik untuk membaca.
Meskipun begitu, saya tetap senang. Karena di buku itulah saya merasa bisa memaparkan cerita dengan tempo yang mungkin jauh lebih masuk akal dibanding sebelumnya. Karena saya merasa jauh lebih bisa menilik berbagai hal dari berbagai sudut pandang dalam bingkai yang saling mengapresiasi, bukan saling mempertentangkan. Karena (alasan teknis kalau ini) novel itu adalah satu-satunya novel yang saya kirimkan ke penerbit yang ditolak karena isinya tidak memenuhi mungkin 7 dari 15 'syarat' di penerbit tersebut (bukan 15 dari 15 seperti enam novel lain yang ditolak sebelumnya. gyahaha).
Jadi ya gitu. Setelah novel itu selesai, self-analysis saya relatif (hampir) selesai juga; saya jadi semacam "virtually have no baggage." Ditambah dengan (mungkin) 30an buku terkait psikoterapi yang saya baca, (mungkin) 80an sesi psikoterapi yang sudah saya lewati sejauh ini jadi terasa... cukup enlightening buat saya karena... saya jadi bisa semacam lumayan fokus pada apa yang dibawa pasien instead of being (overly) self-conscious over my own "baggage". Intinya, I'm grateful. Dan semakin grateful kalau tautannya dibuka, dikasih review, dan bukunya dilarisin. Wkwkwk *teteup, ujung-ujungnya promosi *ya biarin sih ya promosi, daripada statusisasi akibat kontroversi hati... :p
P.S. Terima kasih buat dek Saras-nya mamak Wayan Dewi yang sudah bikinin gambar covernya, dek Putu D Krisna Aji yang sudah menyesuaikan dimensi gambarnya agar layak terbit, Elisa Dian Pramesti dan Cindy Gautama yang sudah sempat meluangkan waktu buat baca versi bukunya, juga beberapa makhluk Tuhan yang dulu sempat membaca soft-copy-nya yang versi acakadul tak terhingga (maaf saya lupa siapa saja tepatnya; OMG saya durhaka). Jasa kalian sungguh tiada tara, may all the goodness be returned to you *salim satu-satu
No comments:
Post a Comment