CATATAN: Tulisan ini berpotensi dipenuhi pandangan-pandangan
yang bias dan tidak didukung data yang sahih. Jika ada kesamaan atau perbedaan
dengan kenyataan sebenarnya, yang sekiranya bisa ataupun tidak bisa diterima, mohon
diikhlaskan saja karena sesungguhnya ikhlas itu pangkal pandai.. *eh itu ‘rajin’
ding ya?
Terkait kehebohan closing ceremony Asian Games kemarin,
ketika saya ikut ‘rame’ gara-gara ada iKON dan SuperJunior…
Salah satu teman saya kemarin bertanya mengapa sekarang saya
bisa jadi suka Kpop padahal dulu saya sering ngece-ngece kpop. Wkwk
Kalau saya mau merangkum alasannya dalam satu kalimat,
mungkin dulu saya tidak suka Kpop karena saat itu saya masih muda, idealis dan
punya banyak mimpi yang belum terpenuhi, (mungkin) emosional, cenderung
menghakimi dengan (lebih) cepat dibanding sekarang…. dan saya adalah penyanyi
(semi-pro) aktif yang relatif tidak terlalu bisa menerima vokal yang biasa-biasa saja.
Sekarang saya tidak (terlalu) seperti itu. Sekarang saya
sudah tua, lebih realistis dan sudah mewujudkan sebagian besar mimpi saya,
tidak seemosional dulu, minat untuk playing judge sudah minimal, dan sudah
jarang menyanyi sehingga saya cukup tahu diri untuk tidak menempatkan harga
diri saya pada kualitas suara saya biar nggak malah depresi gara-gara ndegerin
suara sendiri terus stress sendiri gara-gara suarane ra mekakat. Selain itu, musik
Kpop garapan zaman SuJu yang masuk ke Indonesia sepertinya nggak se-diverse zaman iKON. Sebagai mbak2 yang hingga kini cenderung lebih terpicu
nafsu-menabok-orang-nya saat berada dalam ‘stagnasi’, diversity yg ditawarkan
makhluk2 Kpop di era dedek2 iKON ini membuat Kpop jadi somewhat less temapuk
buat saya dibanding zaman SuJu. Begitu.
Anyway. Sekitar sepuluh tahun yang lalu saat Hallyu mulai
menyerang Indonesia, situasi saya saat itu sepertinya memang berbeda dengan sekarang.
Pertama,
saya bukan orang yang visual, cenderung resisten pada
hal-hal yang tidak sederhana, dan (sepertinya) pada masa itu saya adalah
mbak-mbak galak tukang ngeplak makhluk2 yang hobi dramak. Konsekuensinya, mau
makhluk-makhluk kpop itu dibilang tampan atau cantik kaya apa, aku ra urus. Mau
dibilang badannya bagus-bagus atau mukanya lebih mulus dari pantat bayi yang
bebas diaper rash, ya waktu itu guweh belum ber-belly-fat dan mukak guweh relatif
belum terkontaminasi dampak global warming dan kekejaman dunia, jadi saya juga
tidak merasa bahwa itu sesuatu yang mengesankan. Mau dibilang video klipnya
bagus dengan lighting begini begitu, kostum begini begitu.. saya merasa itu
terlalu rumit dan mahal. Nggak sejalan lah sama mahasiswa receh tapi suka lapar
mata macam saya yang perlu menghemat di sini sana demi keberlangsungan potokopi
teksbuk yang sebenarnya ada ebooknya tapi saya nggak punya laptop dan
smartphone jadi nggak bisa baca di rumah kalau nggak ngopi *alasan, padahal ngopi gara-gara pas itu masih paper-obsessed gitu*, kunjungan
ke burjo dan angkringan, serta ngawul. Selain itu, sepertinya pada masa itu, Kdrama
itu lebih banyak beredar dibanding Kpop dan guweh siboook jadi anak choir
sambil sekolah *hla kok kuwalik?* I had no time for drama karena saat saya
nyanyi, mood saya harus terjaga. Kalau nggak terjaga, suara saya jadi nggak optimal (baca: jelek). Waktu
saya untuk belajar di sekolah rasanya juga relatif sedikit karena ada seabrek materi yang perlu
dipelajari dalam waktu singkat; belum lagi belajar lagu-lagu baru buat choir. Jadi ya.. gitu lah. Saya tak rela waktu saya terpakai untuk mengurus mood yang acakadul akibat nonton dramak soalnya saya sadar diri sebenarnya saya ini baperan. Wkwk
Kedua, saya anak choir. Artinya, saya jarang menyanyi pakai
mic atau menggunakan alat bantu ‘elektrik’ dalam bermusik. Konsekuensinya,
comfort zone saya jadinya ada di musik yang cenderung akustik. Konsekuensi
lainnya, saya cenderung tidak tergerak untuk mengeksplorasi bunyi-bunyian melalui
speaker/earphone yang berkualitas. Karenanya, dance music ala K-pop itu jadi
sesuatu yang cukup jauh dari comfort zone saya. Mungkin baru tiga atau empat
tahun terakhir setelah rodo sugih sithik saya mulai punya motivasi lebih untuk
mendengarkan dengan speaker atau earphone yang lebih baik; dan baru sejak
itulah saya jadi lebih bisa mengapresiasi bahwa di balik nada-nada dan beat
dance music yang dulunya terasa monoton buat saya, ada kompleksitas yang… keren
juga. Detail-detail yang bisa ‘conveying message’ juga, bukan sekedar ajeb2 ga
jelas meski liriknya kadang tetap bosok dan bikin pingin makan orang sih.
Implikasi lain dari menjadi anak choir yang semacam agak
‘kacamata kuda’ thanks to my ngeyel-kongenital-gene adalah, saya cenderung
tidak tertarik pada suatu musik saat vocal part dari musik itu tidak membuat
saya terpana. Saya nggak terkesan
sama nada tinggi karena tinggi-nya lagu-lagu Kpop itu masih within my range. Saya nggak
terkesan saat yang nge-rap bisa nyanyi atau sebaliknya, karena I do both too,
and I think that if you really aspire to be a singer, you simply should put
different things into your repertoire so you could keep improving. Meskipun begituuuu, kalau dipikir lagi, mereka itu nyanyi sambil joget; something that I still can't do properly until today soale aku ra dhong njoget tur aku wis tuwo wis ra kuat akrobatik. Belakangan saat saya sudah merasa cukup secure dengan vocal range saya, sepertinya juga saya jadi lebih bisa terpana akibat versatility suara penyanyi yang bisa cocok dengan berbagai genre musik, atau takjub sendiri saat menemukan bahwa timbre yang berbeda-beda dari berbagai orang dalam satu grup bisa berpadu dengan mulus dan enak dalam satu lagi yang koheren. Keragaman genre yang tercakup dalam Kpop yang saya tahu belakangan ini (plus speaker/earphone yang
lebih baik yang saya punya), memungkinkan saya untuk bisa mendengar paduan
timbre dan versatility itu… yang ternyata cukup… fascinating. Jadi ya… bisa lah saya mulai mendengarkan Kpop2an ini... *emot berpikir kontemplatif
Begitulah.
Pada intinya, buat saya pribadi, pesan moral dari urusan
per-Kpop-an ini adalah bahwa perubahan itu akan terus terjadi dan saya nggak
selalu bisa melawan itu. Saya justru akan cenderung tidak adaptif kalau ngotot bertahan
pada hasrat utopis untuk membuat segalanya tetap sama. Gitu.
Akhir kata, tolong diikhlaskan juga kalau saya sukanya sama
Astro, bukan yang lain. Chemistry-nya paling ‘dapat’ sama Astro, Tidak usah coba dibujuk untuk
pindah haluan karena kalau saya mau pindah haluan, hanya Tuhan yang tahu saya
bakal pindah haluan ke mana and you might not wanna know because sometimes
I don’t wanna know either.
Demikian kiranya yang dapat saya sampaikan. Sekian, terima
kasih.
*) Binwoo adalah kependekan dari MoonBIN dan EunWOO, nama
dua orang anggota Astro sukaan akoh. I like them for different reasons. Tapi saya juga suka anggota-anggota lainnya. Tapi ya udah lah, dibahas
kapan-kapan. Wkwk
No comments:
Post a Comment