Monday, 3 September 2018

Kontemplasi Binwoo*)


CATATAN: Tulisan ini berpotensi dipenuhi pandangan-pandangan yang bias dan tidak didukung data yang sahih. Jika ada kesamaan atau perbedaan dengan kenyataan sebenarnya, yang sekiranya bisa ataupun tidak bisa diterima, mohon diikhlaskan saja karena sesungguhnya ikhlas itu pangkal pandai.. *eh itu ‘rajin’ ding ya?

Terkait kehebohan closing ceremony Asian Games kemarin, ketika saya ikut ‘rame’ gara-gara ada iKON dan SuperJunior
Salah satu teman saya kemarin bertanya mengapa sekarang saya bisa jadi suka Kpop padahal dulu saya sering ngece-ngece kpop. Wkwk

Kalau saya mau merangkum alasannya dalam satu kalimat, mungkin dulu saya tidak suka Kpop karena saat itu saya masih muda, idealis dan punya banyak mimpi yang belum terpenuhi, (mungkin) emosional, cenderung menghakimi dengan (lebih) cepat dibanding sekarang…. dan saya adalah penyanyi (semi-pro) aktif yang relatif tidak terlalu bisa menerima vokal yang biasa-biasa saja.
Sekarang saya tidak (terlalu) seperti itu. Sekarang saya sudah tua, lebih realistis dan sudah mewujudkan sebagian besar mimpi saya, tidak seemosional dulu, minat untuk playing judge sudah minimal, dan sudah jarang menyanyi sehingga saya cukup tahu diri untuk tidak menempatkan harga diri saya pada kualitas suara saya biar nggak malah depresi gara-gara ndegerin suara sendiri terus stress sendiri gara-gara suarane ra mekakat. Selain itu, musik Kpop garapan zaman SuJu yang masuk ke Indonesia sepertinya nggak se-diverse zaman iKON. Sebagai mbak2 yang hingga kini cenderung lebih terpicu nafsu-menabok-orang-nya saat berada dalam ‘stagnasi’, diversity yg ditawarkan makhluk2 Kpop di era dedek2 iKON ini membuat Kpop jadi somewhat less temapuk buat saya dibanding zaman SuJu. Begitu.

Anyway. Sekitar sepuluh tahun yang lalu saat Hallyu mulai menyerang Indonesia, situasi saya saat itu sepertinya memang berbeda dengan sekarang. 

Pertama, saya bukan orang yang visual, cenderung resisten pada hal-hal yang tidak sederhana, dan (sepertinya) pada masa itu saya adalah mbak-mbak galak tukang ngeplak makhluk2 yang hobi dramak. Konsekuensinya, mau makhluk-makhluk kpop itu dibilang tampan atau cantik kaya apa, aku ra urus. Mau dibilang badannya bagus-bagus atau mukanya lebih mulus dari pantat bayi yang bebas diaper rash, ya waktu itu guweh belum ber-belly-fat dan mukak guweh relatif belum terkontaminasi dampak global warming dan kekejaman dunia, jadi saya juga tidak merasa bahwa itu sesuatu yang mengesankan. Mau dibilang video klipnya bagus dengan lighting begini begitu, kostum begini begitu.. saya merasa itu terlalu rumit dan mahal. Nggak sejalan lah sama mahasiswa receh tapi suka lapar mata macam saya yang perlu menghemat di sini sana demi keberlangsungan potokopi teksbuk yang sebenarnya ada ebooknya tapi saya nggak punya laptop dan smartphone jadi nggak bisa baca di rumah kalau nggak ngopi *alasan, padahal ngopi gara-gara pas itu masih paper-obsessed gitu*, kunjungan ke burjo dan angkringan, serta ngawul. Selain itu, sepertinya pada masa itu, Kdrama itu lebih banyak beredar dibanding Kpop dan guweh siboook jadi anak choir sambil sekolah *hla kok kuwalik?* I had no time for drama karena saat saya nyanyi, mood saya harus terjaga. Kalau nggak terjaga, suara saya jadi nggak optimal (baca: jelek). Waktu saya untuk belajar di sekolah rasanya juga relatif sedikit karena ada seabrek materi yang perlu dipelajari dalam waktu singkat; belum lagi belajar lagu-lagu baru buat choir. Jadi ya.. gitu lah. Saya tak rela waktu saya terpakai untuk mengurus mood yang acakadul akibat nonton dramak soalnya saya sadar diri sebenarnya saya ini baperan. Wkwk

Kedua, saya anak choir. Artinya, saya jarang menyanyi pakai mic atau menggunakan alat bantu ‘elektrik’ dalam bermusik. Konsekuensinya, comfort zone saya jadinya ada di musik yang cenderung akustik. Konsekuensi lainnya, saya cenderung tidak tergerak untuk mengeksplorasi bunyi-bunyian melalui speaker/earphone yang berkualitas. Karenanya, dance music ala K-pop itu jadi sesuatu yang cukup jauh dari comfort zone saya. Mungkin baru tiga atau empat tahun terakhir setelah rodo sugih sithik saya mulai punya motivasi lebih untuk mendengarkan dengan speaker atau earphone yang lebih baik; dan baru sejak itulah saya jadi lebih bisa mengapresiasi bahwa di balik nada-nada dan beat dance music yang dulunya terasa monoton buat saya, ada kompleksitas yang… keren juga. Detail-detail yang bisa ‘conveying message’ juga, bukan sekedar ajeb2 ga jelas meski liriknya kadang tetap bosok dan bikin pingin makan orang sih.
Implikasi lain dari menjadi anak choir yang semacam agak ‘kacamata kuda’ thanks to my ngeyel-kongenital-gene adalah, saya cenderung tidak tertarik pada suatu musik saat vocal part dari musik itu tidak membuat saya terpana. Saya nggak terkesan sama nada tinggi karena tinggi-nya lagu-lagu Kpop itu masih within my range. Saya nggak terkesan saat yang nge-rap bisa nyanyi atau sebaliknya, karena I do both too, and I think that if you really aspire to be a singer, you simply should put different things into your repertoire so you could keep improving. Meskipun begituuuu, kalau dipikir lagi, mereka itu nyanyi sambil joget; something that I still can't do properly until today soale aku ra dhong njoget tur aku wis tuwo wis ra kuat akrobatik. Belakangan saat saya sudah merasa cukup secure dengan vocal range saya, sepertinya juga saya jadi lebih bisa terpana akibat versatility suara penyanyi yang bisa cocok dengan berbagai genre musik, atau takjub sendiri saat menemukan bahwa timbre yang berbeda-beda dari berbagai orang dalam satu grup bisa berpadu dengan mulus dan enak dalam satu lagi yang koheren. Keragaman genre yang tercakup dalam Kpop yang saya tahu belakangan ini (plus speaker/earphone yang lebih baik yang saya punya), memungkinkan saya untuk bisa mendengar paduan timbre dan versatility itu… yang ternyata cukup… fascinating. Jadi ya… bisa lah saya mulai mendengarkan Kpop2an ini... *emot berpikir kontemplatif 


Begitulah.

Pada intinya, buat saya pribadi, pesan moral dari urusan per-Kpop-an ini adalah bahwa perubahan itu akan terus terjadi dan saya nggak selalu bisa melawan itu. Saya justru akan cenderung tidak adaptif kalau ngotot bertahan pada hasrat utopis untuk membuat segalanya tetap sama. Gitu.



Akhir kata, tolong diikhlaskan juga kalau saya sukanya sama Astro, bukan yang lain. Chemistry-nya paling ‘dapat’ sama Astro, Tidak usah coba dibujuk untuk pindah haluan karena kalau saya mau pindah haluan, hanya Tuhan yang tahu saya bakal pindah haluan ke mana and you might not wanna know because sometimes I don’t wanna know either.

Demikian kiranya yang dapat saya sampaikan. Sekian, terima kasih.




*) Binwoo adalah kependekan dari MoonBIN dan EunWOO, nama dua orang anggota Astro sukaan akoh. I like them for different reasons. Tapi saya juga suka anggota-anggota lainnya. Tapi ya udah lah, dibahas kapan-kapan. Wkwk

No comments:

Post a Comment