Song title: Hello, Goodbye
Artist: The Beatles
Album: Magical Mystery Tour
Selasa 17 Mei 2011, sekitar pukul 19.00. Kereta Pramex yang saya naiki dari Stasiun Purwosari, Solo, akhirnya tiba di Stasiun Yogyakarta. Saya turun dari kereta lalu menuju area parkir mengikuti teman yang akan memboncengkan saya pulang ke kos. Saat itu fokus pikiran saya adalah tentang bagaimana caranya bisa sampai di kos secepatnya, bisa mandi dan bersiap-siap, lalu pergi lagi untuk kegiatan lain yang rencananya dimulai pukul 19.30. Dalam hati saya sibuk berharap agar tidak terlambat dan masih punya cukup energi untuk mengikuti kegiatan tersebut dengan baik setelah seharian jalan-jalan di Solo. Sekilas, terdengar petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta senja utama tujuan Jakarta akan segera diberangkatkan, dan semua yang sedang saya pikirkan langsung ‘hilang’karena saat itu tiba-tiba saja saya jadi ingat pada seseorang.
Orang ini-sebut saja namanya Adam Levine- adalah penumpang rutin kereta Senja Utama. Dia bekerja di Jakarta, tapi rumahnya tidak jauh dari Jogja, dan mungkin hatinya ada di Jogja. Orang ini baru saya temui dua atau tiga kali di dunia nyata, tapi entah sudah berapa kali saya bertemu dia dalam mimpi. Tentu saja dia tidak sadar bahwa dia sering masuk mimpi saya; dia bahkan tidak sadar bahwa dia sudah pernah bertemu dengan saya di dunia nyata. Dalam kurun waktu empat tahun sejak pertama kali kami saling tahu satu sama lain, sebagian besar kontak terjadi di dunia maya. Kontak yang mungkin buat dia tidak lebih dari iklan kursus Bahasa Zimbabwe yang tidak akan diambilnya karena dia toh tidak akan ke sana dalam waktu dekat (atau mungkin kapanpun), tapi hampir semua kontak itu saya rasakan sebagai sesuatu signifikan.
Selama empat tahun pertama saya tahu dia, tidak banyak yang saya lakukan selain menyadari bahwa dia memang ganteng, dan cukup ganteng untuk membuat saya tergerak meng-add-nya di FS maupun FB. Di-approve, tentu saja, karena pada dasarnya dia tipikal orang yang welcome untuk menerima siapapun dalam friend-list-nya, plus dia sepertinya merasa bahwa saya bukan sepenuhnya orang asing, jadi seharusnya tidak masalah. Dan memang tidak masalah karena saya toh anak baik dan tidak pernah melakukan hal-hal ilegal dengan FS atau FB. Selama empat tahun itu pula, yang terjadi antara saya dan dia hanya sekedar ... err ... tidak ada yang terjadi. He’s on my friend-list, I’m on his friend list, but nothing ever happened. Hehe.
Keadaan berubah kira-kira setahun yang lalu, dengan kronologi yang tidak terlalu bisa saya jelaskan. Yang jelas, saat saya ‘tersadar’, yang tidak henti-hentinya saya pikirkan adalah betapa bodohnya saya karena tidak menyukainya sejak dulu karena setelah penguntitan mendalam pada FB, FS, twitter, dan blognya (ditambah informasi-informasi lain dari berbagai sumber), ternyata dia tepat seperti gambaran a person i want to spend my life with. Entahlah. Saat itu sepertinya tidak hanya dia tidak hanya memenuhi kriteria ‘pria idaman’, tetapi juga memenuhi kriteria ‘konspirasi semesta’, and those are just totally amazing. Anyway, karena saya tidak yakin bisa selesai menjelaskan tentang kedua kriteria tersebut dalam sejumlah total 2000 kata, silakan baca cerita saya tentang “kriteria pria idaman” di sini dan “kriteria konspirasi semesta” di sini. Mungkin bisa membantu.
Well. However.
Tentu saja dia tidak menyadari hal ini, dan tentu saja dia tidak berpikiran sama dengan saya, PLUS kami sebenarnya tidak benar-benar saling kenal, tapi ... entahlah. Mungkin ide bahwa ternyata-ada-orang-yang-akhirnya-membuat-saya-ingin-menghabiskan-hidup-bersamanya ini ... agak overwhelming, dan ini menyebabkan realita saya jadi semacam jungkir balik. Pada dasarnya saya adalah orang yang cenderung optimis KECUALI untuk satu hal: menghabiskan hidup bersama satu orang, atau yang secara legal disebut sebagai ‘menikah’. Haha. Bukannya saya anti pernikahan, lho. It’s just like many other things: ada yang berjalan baik, ada yang tidak; dan karenanya saya sebenarnya netral tentang hal ini. Bagaimanapun, berbagai hal yang terjadi dalam waktu hampir 24 tahun kehidupan saya entah mengapa akhirnya membawa saya pada keputusan bahwa saya bukan tipikal orang yang bisa optimal kalau saya menghabiskan hidup bersama seseorang. Saya lebih cocok berjalan sendiri. Jadi, saat "Adam Levine" ini datang dan –dengan segala pesonanya, dan percayalah, dia memang mempesona- membuat saya berpikir bahwa saya mungkin bisa menghabiskan hidup dengan seseorang dan tetap optimal (atau bahkan bisa maksimal), logika saya pun mendadak punah. Proses pemikiran panjang yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa saya lebih cocok sendiri itu pun akhirnya menjadi mentah. Selanjutnya, hidup saya seperti hanya punya satu alur cerita dan alur itu berjalan di bawah judul yang jelas: dia.
Sayangnya, saya sepertinya ‘lupa’ bahwa segala jungkir balik logika ini hanya terjadi pada saya, dan tidak terjadi padanya. Saya ‘lupa’ bahwa ini perasaan saya SAJA, dan bukan perasaan dia juga. Saya juga ‘lupa’ bahwa semua pertanda kosmik sebenarnya bersifat multi-interpretasi, dan bahwa saya tidak selalu bisa menginterpretasikan pertanda itu dengan benar karena saya toh bukan Tuhan. Yang lebih bodoh lagi, saya ‘lupa’ bahwa meskipun mungkin keyakinan saya bisa menggerakkan alam semesta untuk berkonspirasi memenuhi keinginan saya, perjalanan konspirasi semesta ini bukan sesuatu yang bisa diduga dengan mudah karena satu dan lain hal. Pertama, mungkin apa yang saya pikir saya yakini dan inginkan ternyata bukan benar-benar sesuatu yang saya yakini dan inginkan. Kedua, Tuhan tahu saya akan dengan cepat bosan jika segala sesuatu berjalan sesuai yang sudah saya prediksikan, jadi Dia selalu mempersiapkan berbagai kejutan untuk menghindarkan saya dari kebosanan itu. Bagaimanapun, kadang saya tidak selalu bisa menerima cara Tuhan dalam memberikan obat-anti-bosan itu. Jadi saat ternyata ‘kejutan’ itu muncul dalam bentuk si "Adam Levine" yang (awalnya single tapi) akhirnya menunjukkan tanda-tanda sedang PDKT ke seseorang, dan akhirnya jadian, saya patah hati berat.
Saat itu saya TIDAK menangis atau marah-marah karena kalau saya masih punya cukup energi untuk melakukan itu, artinya sebenarnya dia nggak cukup penting buat saya jadi saya nggak merasa terlalu ‘habis’ dan ‘hilang’ saat dia diambil orang. Saat itu saya hanya tidak lagi berminat untuk menulis (karena yang ingin saya tulis cuma tentang dia dan menulis tentang dia rasanya sakit) atau terpapar musik-musik yang biasanya saya suka (karena semua lagu seperti mengingatkan saya tentang dia dan mengingat dia rasanya sakit). Ya, saya ‘habis’ dan ‘hilang’. Ternyata dia penting buat saya, dan dia tidak pernah tahu. Gimana mau membuat dia tahu, saya aja baru tahu setelah sudah telat...
Huff.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan juga sih sebenarnya, karena saya toh sudah dewasa dan tidak skizofrenia. Saya bisa menerima kenyataan, meskipun sakit, meskipun butuh waktu. Ruang yang sempat kosong karena ada bagian besar yang ‘hilang’ itu juga sedikit demi sedikit mulai dipenuhi pengganti yang lain, meskipun tentu saja rasanya tidak akan pernah sama. Tidak masalah, cepat atau lambat pasti akan bisa penuh lagi :) Bagaimanapun, saya masih belum berhenti bertanya-tanya tentang ‘konspirasi semesta’ apa yang sebenarnya sedang terjadi, yang membuat saya jadi harus menghadapi hal menyebalkan ini. Mengapa seolah semesta sempat ‘meminta’ saya untuk meyakini bahwa saya sebenarnya bisa bersama seseorang, saat akhirnya ternyata toh tidak bisa? Dan kalaupun memang benar sudah tidak akan bisa, kenapa saya kadang-kadang masih memikirkan dia? Semacam itu. Meskipun saya sudah ‘berfungsi’ seperti biasa, saya tidak berhenti menantang semesta untuk memberikan pertanda yang meminta saya untuk ‘berhenti’ karena saya merasa ... why should i stop anyway?
Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya cukup jelas: karena terobsesi pada orang yang sudah jadi milik orang lain dapat membahayakan kesehatan mental. Tapi tentu saja hal ini hanya jelas buat semua orang, tapi tidak buat saya. Sampai akhirnya saya sampai pada hari Selasa 17 Mei 2011, sekitar pukul 19 lebih, saat petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta Senja Utama dengan tujuan Jakarta akan berangkat. Saat itu spontan saya membatin, “dia ada di kereta itu,” meskipun saya tidak benar-benar melihatnya. Saya datang dari Solo, menyapa Jogja dengan “Hello”, dan dia pergi ke Jakarta, meninggalkan Jogja dengan “Goodbye”. Tiba-tiba saja saya jadi teringat lagu lama dari The Beatles yang berjudul “Hello, Goodbye”. Lagu berisik yang lucu tapi sarkastis tentang dua orang yang –dengan alasan yang tidak jelas- tidak pernah bisa nyambung, dan yah .. rasanya jadi agak ironis karena ... mungkin seperti itulah saya dan dia.
Dia mungkin memenuhi kriteria pria idaman dan kriteria konspirasi semesta. Secara teori, seharusnya cara pandang, cara hidup, dan cara saya bersikap, bisa kompatibel untuk bisa berdampingan seumur hidup dengan cara pandang, cara hidup, dan cara dia bersikap. Sayangnya (atau malah untungnya?) hidup tidak sesederhana itu. Ada banyak hal yang tidak saya tahu yang mungkin bisa membuat perbedaan bermakna pada jalannya konspirasi semesta dan ... yah. Seharusnya saya tahu bahwa saya tidak tahu dan bisa menerima ketidaktahuan saya itu dengan lapang dada. Mendadak saya ingat bahwa ada kalanya saya harus berhenti bertanya-tanya karena jawaban dari pertanyan-pertanyaan itu hanya akan dibukakan kalau memang sudah waktunya. Yah. Hal-hal yang diharuskan seringkali menyebalkan untuk dilakukan, tapi namanya ‘harus’ ... ya harus.
Dua jam kemudian, dari twitter-nya, saya tahu bahwa dia memang benar-benar ada di kereta itu. Jadi sebenarnya saya dan dia nyaris bertemu. Bagaimanapun, nyaris itu BUKAN tepat. Dan setelah berkali-kali nyaris, lama-lama saya terpaksa menghadapi kenyataan juga, bahwa mungkin seumur hidup saya dan dia hanya akan menjadi ‘nyaris’, tanpa pernah benar-benar menjadi ‘tepat’. Dan itu tidak masalah, karena suatu saat pasti akan ada yang tepat. Untuk dia, dan untuk saya.
So.
Mungkin sekarang saatnya mengucapkan “Hello” pada hari yang baru, dan ...
Goodbye, #you. It’s been great, but ... goodbye, thank you :)
gud job mbak inke!
ReplyDeleteseperti yang udah aku bilang, ini merupakan terapi yang ampuh bwat menumpahkan semua rasa itu,,dan berhasil dirimu kerjakan dengan baik :)
welcome to the jungle (baca : kos2an) ! :p