Ada beberapa hal tentang penulisan karya ilmiah yang ingin saya bagi pada catatan ini. Dari sekitar 500 naskah yang pernah saya terjemahkan, sekitar sepertiga di antaranya adalah terjemahan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Naskah-naskah berbahasa Indonesia inilah yang sering membuat saya berpikir, “Ini yang magabut guru Bahasa Indonesianya jaman sekolah apa dosen pembimbingnya ya.. “ :p
Berikut tujuh alasan mengapa menerjemahkan naskah berbahasa Indonesia bisa jadi cukup frustating. Meskipun begitu, karena saya toh tidak benar-benar punya track record penulisan karya ilmiah yang bermakna, silakan kalau ada yang mau menambahkan atau mengoreksi :D
1. Menggunakan kata “mengetahui” pada “Tujuan”
“Mengetahui” itu adalah kata yang sangat tidak spesifik, dan tidak mendefinisikan mau tahu-nya sejauh apa. Selain itu, kata “mengetahui” tidak punya padanan yang tepat dalam bahasa Inggris. Kata “tahu” memang bisa diterjemahkan sebagai “know”, tapi jayus banget kalau penelitian tujuannya hanya untuk tahu. Kalau sudah tahu, terus kenapa? Harusnya kan ada implikasi selanjutnya. Akhirnya kata “mengetahui” biasanya saya terjemahkan berdasarkan penjelasan tentang penelitian itu sendiri. Untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar variabel, biasanya saya pakai frase “to determine the existence of correlation between variables”. Untuk menganalisis sifat hubungan, akan tertulis, “to analyse (the nature of) correlation between variables.”
“Mengetahui” itu adalah kata yang sangat tidak spesifik, dan tidak mendefinisikan mau tahu-nya sejauh apa. Selain itu, kata “mengetahui” tidak punya padanan yang tepat dalam bahasa Inggris. Kata “tahu” memang bisa diterjemahkan sebagai “know”, tapi jayus banget kalau penelitian tujuannya hanya untuk tahu. Kalau sudah tahu, terus kenapa? Harusnya kan ada implikasi selanjutnya. Akhirnya kata “mengetahui” biasanya saya terjemahkan berdasarkan penjelasan tentang penelitian itu sendiri. Untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar variabel, biasanya saya pakai frase “to determine the existence of correlation between variables”. Untuk menganalisis sifat hubungan, akan tertulis, “to analyse (the nature of) correlation between variables.”
2. Mengambil referensi dari karya ilmiah lain yang sama nggak jelasnyaMenurut saya setiap peneliti, terutama bidang kesehatan, harus tahu tentang evidence-based medicine dan level of evidence. Dari sini, kita jadi bisa lebih selektif dalam menentukan karya ilmiah mana yang lebih kuat untuk dijadikan referensi. Misalnya untuk variabel yang sama, penelitian yang dilakukan secara longitudinal bisa jadi lebih kuat daripada penelitian cross-section (potong lintang). Selain itu studi longitudinal juga bisa memberikan deskripsi hubungan sebab akibat yang hanya bisa diduga oleh penelitian potong lintang.
Hal lain yang juga agak mengganggu adalah ketika seorang penulis semacam asal memasukkan referensi dari penelitian lain yang seolah serupa, padahal sebenarnya tidak bisa disamakan. Misal, yang baru-baru ini saya terjemahkan, yaitu penelitian yang menghubungkan antara keadaan rumah yang sehat/tidak sehat dengan lokasinya di bantaran sungai, yang kemudian mengambil referensi dari penelitian yang menilai keadaan rumah sehat/tidak sehat dengan lokasinya di pantai. Bentuk rumahnya di sungai dan pantai aja mungkin sudah beda. Kalau mau dikaitkan dengan kejadian banjir, setahu saya naik turunnya permukaan air laut itu fluktuasinya harian (tergantung gravitasi bulan) sedangkan kalau sungai mungkin debit airnya lebih stabil; jadi perbandingannya tidak benar-benar valid. Kalau kaitannya dengan penggunaan air untuk MCK, saya bertanya-tanya aja sih, apa orang di perkampungan nelayan gitu juga pada pup dan cuci baju pakai air laut sebagaimana penduduk di tepian sungai pup dan cuci baju pakai air sungai? Entahlah, nggak dijelaskan juga sih di naspub-nya :p
3. Menggunakan kalimat-kalimat panjang untuk menyebut variabelContoh: “remaja obes dengan ayah berpendidikan tinggi”. Dan definisi masing-masing juga nggak jelas: kriteria umur remaja itu berapa, menyebut “obese” itu berdasarkan kriteria antropometrik yang mana, ayah “berpendidikan tinggi” itu kriterianya apa dan apa bedanya dengan “berpendidikan rendah”.. semacam itu. Belum lagi kalau variabel ini disebut berulang-ulang, bikin bosen. Kalau bosen, lebih gampang mutung. Kalau sebentar-sebentar mutung, menerjemahkannya jadi lama. Haha
4. Penggunaan istilah yang tidak konsisten
Penggunaan istilah yang tidak konsisten ini juga menambah penderitaan kalau variabelnya tersusun atas kalimat-kalimat panjang yang punya banyak kemungkinan kombinasi. Kenapa? Karena nggak bisa di-find and replace, yang artinya, menerjemahkan jadi lebih lama. Selain itu, misal di suatu bagian “berat badan lebih” itu disebut sebagai “obese” dan di bagian lainnya disebut sebagai “overweight” padahal ternyata maksudnya sama, saya juga setres karena di otak saya yang namanya “overweight” (IMT 23-26) itu beda dengan “obese” (IMT >26). Jadi, kriteria klasifikasi harusnya diberi deskripsi yang jelas dulu, jangan sampai ambigu, baru gunakan istilah-istilah itu dengan benar dan konsisten.
5. Penentuan variabel yang tidak berdasarkan pustaka
Misal variabel yang ingin diteliti adalah “status gizi”. Ada banyak parameter status gizi dengan klasifikasi masing-masing yang nggak bisa seenaknya saja kita tentukan sendiri. Misal, pokoknya kalau anak berat badannya rendah berarti gizinya kurang, berat badan cukup berarti gizinya cukup, dan berat badan tinggi berarti gizinya lebih. Tidak semudah itu. Penilaiannya mau pakai kriteria yang mana? Apa pakai IMT? Atau kriteria berat badan ideal? Atau waist/hip ratio? Kalau mau yang lebih spesifik, misalnya, apa mau pakai body fat mass/proportion? Itu tergantung tujuan penelitian: yang mau dicari apa. Masing-masing kriteria punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan itu harus dipikirkan. Populasi penelitian juga harus dipertimbangkan. Akan berantakan kalau kriteria IMT, misalnya, diterapkan pada anak usia 1-5 tahun karena tentu saja proporsi tinggi/berat badan orang dewasa dan anak-anak akan berbeda.
6. Pembahasan yang tidak dibahas
Setahu saya, yang namanya “Pembahasan” itu fungsinya kurang lebih adalah untuk membandingkan penelitian tertentu dengan penelitian-penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya, dan mengapa terjadi seperti itu. Jadi misal senada, berarti nanti konsekuensinya apa? Kalau berbeda, mengapa berbeda dan konsekuensinya juga apa? Mana dari dua pendapat berbeda itu yang lebih disarankan untuk diaplikasikan? Dan sebagainya.
Sering yang saya temukan, pembahasan itu isinya menarasikan tabel di bagian “Hasil”, dan bukannya membuat jadi semakin jelas, tapi malah semakin membingungkan karena penjelasannya berputar-putar. Referensi yang dikonfrontasikan dengan penelitian juga terbatas, dan seringkali sekedar “senada” atau “tidak senada” dengan penelitian tanpa ada penjelasan tentang kesamaan atau perbedaan hal itu. Hla kalau udah sama atau beda, njuk ngopo? Kalau cuma mau tahu itu aja tanpa ada konsekuensi selanjutnya, ngapain juga dibahas? Menuh-menuhin tempat aja..
Sering yang saya temukan, pembahasan itu isinya menarasikan tabel di bagian “Hasil”, dan bukannya membuat jadi semakin jelas, tapi malah semakin membingungkan karena penjelasannya berputar-putar. Referensi yang dikonfrontasikan dengan penelitian juga terbatas, dan seringkali sekedar “senada” atau “tidak senada” dengan penelitian tanpa ada penjelasan tentang kesamaan atau perbedaan hal itu. Hla kalau udah sama atau beda, njuk ngopo? Kalau cuma mau tahu itu aja tanpa ada konsekuensi selanjutnya, ngapain juga dibahas? Menuh-menuhin tempat aja..
7. Pola kalimat yang tidak jelas subjek predikatnya
Aspek ini saya bahas terakhir bukan karena paling tidak penting dibanding aspek lainnya. Sebaliknya, kesalahan inilah yang paling banyak terjadi dan paling marmos di antara semuanya. Kalau dalam bahasa Indonesia, bentuk kata kerja mungkin hanya akan berbeda antara kalimat aktif dan kalimat pasif. Nah kalau dalam Bahasa Inggris, kalau nggak bisa menentukan subyek, saya nggak bisa menentukan mau pakai “to be” yang mana (dan derivatnya): am, is, atau are? Kadang ada juga kalimat yang panjaaaaaaaaaaaaang sekali, dan semacam tidak mungkin diuraikan SPOK-nya. Contohnya seperti ini (ini satu kalimat lho):
Aspek ini saya bahas terakhir bukan karena paling tidak penting dibanding aspek lainnya. Sebaliknya, kesalahan inilah yang paling banyak terjadi dan paling marmos di antara semuanya. Kalau dalam bahasa Indonesia, bentuk kata kerja mungkin hanya akan berbeda antara kalimat aktif dan kalimat pasif. Nah kalau dalam Bahasa Inggris, kalau nggak bisa menentukan subyek, saya nggak bisa menentukan mau pakai “to be” yang mana (dan derivatnya): am, is, atau are? Kadang ada juga kalimat yang panjaaaaaaaaaaaaang sekali, dan semacam tidak mungkin diuraikan SPOK-nya. Contohnya seperti ini (ini satu kalimat lho):
"Tidak adanya hubungan yang bermakna antara citra tubuh dengan perilaku makan remaja obes pada ayah yang berpendidikan rendah, dikarenakan dalam membimbing seluruh keluarga ke arah yang sebaik-baiknya tidak hanya terpaku tingkat pendidikan, namun bagaimana peranan ayah sebagai model terbaik dan efisien dalam membina anggota keluarganya khususnya remaja dalam memberikan petunjuk dalam mengonsumsi makanan gizi seimbang dan dapat memberikan arahan yang baik dalam persepsi citra tubuh positif, sehingga tidak bermuara pada perilaku makan menyimpang."
Sudah. Intinya ingin berbagi. Kalau ada masukan terkait apapun dalam catatan ini, silakan :D
No comments:
Post a Comment