Setelah berpikir agak panjang, ada satu hal yang mungkin
cukup penting yang baru saya sadari dari pembicaraan dengan Bu Susi (BS) kemarin,
yaitu bahwa harapan BS tentang karir ideal untuk saya adalah saat saya menjadi…
dosen.
Menilik riwayat perjalanan hidup saya, secara umum harapan
ini sebenarnya masuk akal dan relatif baik-baik saja; saya pun tidak keberatan misalnya
nanti saya benar-benar jadi dosen. Meskipun begitu, saat akhirnya ada pembicaraan
lebih detail tentang berbagai dimensi terkait menjadi seorang dosen, jadi cukup
jelas (setidaknya buat saya) bahwa ternyata ada aspek-aspek dari harapan Bu
Susi dan harapan saya yang sepertinya perlu dikompromikan demi kemaslahatan
bersama.
Inti permasalahan mungkin berada pada perbedaan definisi “keamanan”
atau “security” antara saya dan BS. Sejauh
yang saya tangkap, definisi “aman” bagi BS adalah saat ada jaminan finansial
yang berkelanjutan. Saya setuju dengan hal ini, dan memang kalau seseorang
ingin membangun keluarga, jaminan finansial dari pekerjaan akan jadi penting.
The problem is, however, pada titik ini saya belum tahu apakah saya akan
berkeluarga. I would say “It could be an option” instead of “I’d love to (build
a family)”, jadi.. saya memang ingin punya jaminan finansial, tapi saya mungkin
masih keberatan kalau jaminan itu berarti bahwa saya harus bertahan pada
pekerjaan yang tidak membuat saya merasa bahagia sebagai seorang manusia. BS
kemudian bertanya lagi, “Apa alasannya harus bahagia di pekerjaan?” Ada juga
pernyataan tambahan yang mungkin disampaikan beberapa waktu lalu yang kurang
lebih seperti ini, “Namanya kerja pasti ada tantangannya, pasti ada yang njelehi, yang penting jalani aja.”
Memang, shits happen, tapi buat saya, when shits keep happening to the level
that they put my mental health in danger, then I would tend to question if the ‘financial
safety’ really worth it. Saya kemudian mencoba menjelaskan ke BS bahwa di masa
lalu, di pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya, kondisi emosional saya boleh saja
campur aduk dan saya akan tetap bisa membereskan apa yang menjadi tugas saya.
Di masa depan, saat saya mungkin menjadi dosen DAN terapis, and shits keep
happening, pekerjaan administratif sebagai dosen mungkin bisa beres, tapi..
aspek lain mungkin akan lebih sulit. Entahlah. Mungkin karena saya masih jauh
dari being an expert, pada titik ini saya tidak bisa membayangkan bahwa saya
akan bisa mengajarkan empati pada mahasiswa saya saat my emotion is in a total
wreck. Saya tidak bisa membayangkan bahwa saya bisa menganalisis respons mental
seorang pasien dan memfasilitasi perubahannya ke arah yang konstruktif saat
saya justru disibukkan dengan pergulatan emosi saya sendiri. Jadi pada intinya,
buat saya, “aman” itu artinya saat saya bahagia. Jaminan finansial adalah salah satu cara untuk bahagia, tapi ada
cara juga cara lain yang mungkin bisa kita sebut sebagai “aktualisasi diri.”
Buat saya, keduanya sama pentingnya. Pada posisi di mana saat ini saya mungkin sudah
cukup terbiasa dengan ke-kere-an, aktualisasi diri bisa jadi lebih penting..
Poin lain yang bagi saya cukup menarik adalah saat saya
bercerita tentang kemungkinan bekerja di suatu lembaga yang berurusan dengan
penerjemahan, dan BS langsung menyahut dengan “Kok itu? Kan itu nggak sesuai
bidang kerjamu..” Saya terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Ya.. sesuai
lah. Kan yang diterjemahkan topiknya tentang kedokteran…” yang disahuti BS
dengan, “Kan bukan psikiatri.” Ya saya jawab, “Ya.. nggak pa-pa” dan melanjutkan
dengan keterangan lebih detail tentang seperti apa teknis pekerjaan yang
dimaksud. Sepertinya sempat ada ‘protes’ juga karena pekerjaan ini akan membuat
saya tidak bisa jadi dosen, tapi kemudian saya jelaskan lagi bahwa melakukan
pekerjaan ini dan menjadi dosen itu
bukan sesuatu yang tidak mungkin. Di sini saya jadi berpikir tentang bentuk “keamanan”
lain yang mungkin diharapkan oleh BS: status. Status sebagai dosen (apalagi di
universitas yang sudah dikenal) mungkin secara otomatis menyiratkan “pekerjaan
baik-baik” dan/atau “pekerjaan orang pintar” dan mungkin itu akan lebih mudah
diterima di masyarakat dibanding pekerjaan yang… detail tugas-tugasnya tidak
bisa dijelaskan ke orang yang relatif awam dalam satu atau dua kalimat. Pekerjaan yang
mungkin tidak populer, sehingga ada risiko untuk disalahartikan oleh kebanyakan
orang yang tidak mungkin tidak tahu, just because.. they don’t know and they
don’t wanna know. Nggak pa-pa sih. Masuk akal. When people think we’re not
doing anything bad or we’re smart enough, they might be less likely to
interfere our lives because they think each of us is good enough at handling it;
which means that it’s not a threat for them. Tapi.. toh akhir-akhir ini kayanya
people tend to simply ignore what they don’t know, so.. kalaupun nantinya saya bekerja
di suatu hal yang tidak cukup populer bagi kebanyakan orang, they’re still not
gonna interfere anyway, so.. why worry? Lagipula kalau sudah ‘kadung’ jadi
psikiater, risiko distigma (i.e. dianggap ‘jelek’ atau ‘nggak jelas') juga tetap
ada dan kemungkinan besar posisi sebagai dosen juga tidak otomatis mengubah risiko
itu...
Nggak tahu juga.
Saya merasa BS sudah berupaya dengan cukup keras untuk bisa
memahami dan menerima penjelasan saya, dan I somehow think that she really does
understand and accept. Mungkin karena saya semacam menegaskan juga bahwa saya
belum mengambil keputusan; bahwa banyak kemungkinan masih bisa terjadi. Yah. Pada
keadaan seperti ini, mungkin respons yang paling cocok memang
keterbukaan-terhadap-kemungkinan, bukan mengambil keputusan secara prematur
dalam rangka “biar aman” atau “biar jelas”.
Baang je rage harap-harap-cemas dengan tenang..
*mbrakot draft tesis *tesisnya digarap mbak, jangan di-brakot
No comments:
Post a Comment