Saturday, 3 June 2017

Pembicaraan kemarin

Setelah berpikir agak panjang, ada satu hal yang mungkin cukup penting yang baru saya sadari dari pembicaraan dengan Bu Susi (BS) kemarin, yaitu bahwa harapan BS tentang karir ideal untuk saya adalah saat saya menjadi… dosen.

Menilik riwayat perjalanan hidup saya, secara umum harapan ini sebenarnya masuk akal dan relatif baik-baik saja; saya pun tidak keberatan misalnya nanti saya benar-benar jadi dosen. Meskipun begitu, saat akhirnya ada pembicaraan lebih detail tentang berbagai dimensi terkait menjadi seorang dosen, jadi cukup jelas (setidaknya buat saya) bahwa ternyata ada aspek-aspek dari harapan Bu Susi dan harapan saya yang sepertinya perlu dikompromikan demi kemaslahatan bersama.

Inti permasalahan mungkin berada pada perbedaan definisi “keamanan” atau “security” antara saya dan BS. Sejauh yang saya tangkap, definisi “aman” bagi BS adalah saat ada jaminan finansial yang berkelanjutan. Saya setuju dengan hal ini, dan memang kalau seseorang ingin membangun keluarga, jaminan finansial dari pekerjaan akan jadi penting. The problem is, however, pada titik ini saya belum tahu apakah saya akan berkeluarga. I would say “It could be an option” instead of “I’d love to (build a family)”, jadi.. saya memang ingin punya jaminan finansial, tapi saya mungkin masih keberatan kalau jaminan itu berarti bahwa saya harus bertahan pada pekerjaan yang tidak membuat saya merasa bahagia sebagai seorang manusia. BS kemudian bertanya lagi, “Apa alasannya harus bahagia di pekerjaan?” Ada juga pernyataan tambahan yang mungkin disampaikan beberapa waktu lalu yang kurang lebih seperti ini, “Namanya kerja pasti ada tantangannya, pasti ada yang njelehi, yang penting jalani aja.” Memang, shits happen, tapi buat saya, when shits keep happening to the level that they put my mental health in danger, then I would tend to question if the ‘financial safety’ really worth it. Saya kemudian mencoba menjelaskan ke BS bahwa di masa lalu, di pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya, kondisi emosional saya boleh saja campur aduk dan saya akan tetap bisa membereskan apa yang menjadi tugas saya. Di masa depan, saat saya mungkin menjadi dosen DAN terapis, and shits keep happening, pekerjaan administratif sebagai dosen mungkin bisa beres, tapi.. aspek lain mungkin akan lebih sulit. Entahlah. Mungkin karena saya masih jauh dari being an expert, pada titik ini saya tidak bisa membayangkan bahwa saya akan bisa mengajarkan empati pada mahasiswa saya saat my emotion is in a total wreck. Saya tidak bisa membayangkan bahwa saya bisa menganalisis respons mental seorang pasien dan memfasilitasi perubahannya ke arah yang konstruktif saat saya justru disibukkan dengan pergulatan emosi saya sendiri. Jadi pada intinya, buat saya, “aman” itu artinya saat saya bahagia. Jaminan finansial adalah salah satu cara untuk bahagia, tapi ada cara juga cara lain yang mungkin bisa kita sebut sebagai “aktualisasi diri.” Buat saya, keduanya sama pentingnya. Pada posisi di mana saat ini saya mungkin sudah cukup terbiasa dengan ke-kere-an, aktualisasi diri bisa jadi lebih penting..

Poin lain yang bagi saya cukup menarik adalah saat saya bercerita tentang kemungkinan bekerja di suatu lembaga yang berurusan dengan penerjemahan, dan BS langsung menyahut dengan “Kok itu? Kan itu nggak sesuai bidang kerjamu..” Saya terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Ya.. sesuai lah. Kan yang diterjemahkan topiknya tentang kedokteran…” yang disahuti BS dengan, “Kan bukan psikiatri.” Ya saya jawab, “Ya.. nggak pa-pa” dan melanjutkan dengan keterangan lebih detail tentang seperti apa teknis pekerjaan yang dimaksud. Sepertinya sempat ada ‘protes’ juga karena pekerjaan ini akan membuat saya tidak bisa jadi dosen, tapi kemudian saya jelaskan lagi bahwa melakukan pekerjaan ini dan menjadi dosen itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Di sini saya jadi berpikir tentang bentuk “keamanan” lain yang mungkin diharapkan oleh BS: status. Status sebagai dosen (apalagi di universitas yang sudah dikenal) mungkin secara otomatis menyiratkan “pekerjaan baik-baik” dan/atau “pekerjaan orang pintar” dan mungkin itu akan lebih mudah diterima di masyarakat dibanding pekerjaan yang… detail tugas-tugasnya tidak bisa dijelaskan ke orang yang relatif awam dalam satu atau dua kalimat. Pekerjaan yang mungkin tidak populer, sehingga ada risiko untuk disalahartikan oleh kebanyakan orang yang tidak mungkin tidak tahu, just because.. they don’t know and they don’t wanna know. Nggak pa-pa sih. Masuk akal. When people think we’re not doing anything bad or we’re smart enough, they might be less likely to interfere our lives because they think each of us is good enough at handling it; which means that it’s not a threat for them. Tapi.. toh akhir-akhir ini kayanya people tend to simply ignore what they don’t know, so.. kalaupun nantinya saya bekerja di suatu hal yang tidak cukup populer bagi kebanyakan orang, they’re still not gonna interfere anyway, so.. why worry? Lagipula kalau sudah ‘kadung’ jadi psikiater, risiko distigma (i.e. dianggap ‘jelek’ atau ‘nggak jelas') juga tetap ada dan kemungkinan besar posisi sebagai dosen juga tidak otomatis mengubah risiko itu...

Nggak tahu juga.

Saya merasa BS sudah berupaya dengan cukup keras untuk bisa memahami dan menerima penjelasan saya, dan I somehow think that she really does understand and accept. Mungkin karena saya semacam menegaskan juga bahwa saya belum mengambil keputusan; bahwa banyak kemungkinan masih bisa terjadi. Yah. Pada keadaan seperti ini, mungkin respons yang paling cocok memang keterbukaan-terhadap-kemungkinan, bukan mengambil keputusan secara prematur dalam rangka “biar aman” atau “biar jelas”. 


Keto.

Baang je rage harap-harap-cemas dengan tenang..
*mbrakot draft tesis *tesisnya digarap mbak, jangan di-brakot


No comments:

Post a Comment