Thursday, 16 May 2024

Tinder Tale Reminiscence

Ada beberapa pembelajaran penting yang saya dapat dari proses malang melintang dengan penuh totalitas di dunia per-dating app-an antara tahun 2015-2017. Pelajaran pertama tentu saja adalah bahwa semua lakik akan mbelgedes pada waktunya. Terkait 'waktunya' ini, if an inegligible amount of shadiness emerges during the starting point, maka semakin cepat dibereskan (read: di-cut) biasanya semakin baik.


Dua,  saya belajar indifferent to lies and not taking it personally and professionally. I was probably like some of you yang kalau dibohongin itu bakal bereaksi dengan disbelief dan mikir semacam "kok bisa aku sebodoh itu?" atau "kok tega dia bohong?" atau "emangnya dia pikir aku nggak tahu apa kalau dia bohong?" dan mungkin berbagai reaksi lainnya yang bikin marah, sedih, kesal, insekyur, nelangsa, takjub, dll. Tapiii setelah dipikirin lagi, pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa saat seseorang bohong, artinya nggak cukup penting buat dia untuk memastikan saya tahu yang benar. Sehinggaaa, implikasi lanjutannya adalah saya jadi beranggapan bahwa saya bukan orang yang di-welcome untuk tahu dia yang sebenarnya, jadi I could care less about spending energy to try to get to know that person and care more about jadwal comeback kpop bulan ini. 

I don't take it as an insult to my self esteem either karena biasanya orang yang bohong sama saya itu bukan orang2 yang building up my self esteem. Jadi mereka mau bohong kaya gimana, karena my self esteem is already there and being firmly supported by those who really care about me, ya ga ngefek ada orang2 yang bohong itu karena mereka dan kebohongannya itu not the components of my self esteem in the first place. Ya of kors kagetnya ada, tapi ya habis fase akut lewat, ya udah. Self esteem saya masih tetep di situ2 aja sih ya, terus gimana dong 🤷🏻‍♀️

I don't take it as a professional insult either (although of course I did in the first times of my practice) karena ya.. showing your true self is not easy, dan kalau memang belum muncul trust-nya ya nggak papa juga. I mean.. namanya dokter kan bertindaknya harus sesuai yang batasan knowledge dan kompetensinya AJA yekan.. Kalau bertindak di luar itu, justru pelanggaran. Jadi ya saya bakal menyikapi pasien sejauh yang dia buka ke saya dan berdasarkan scientific knowledge yang saya tahu terkait apa yang dia sampaikan. Kalau ternyata belakangan disalahin karena anggapan "harusnya jadi psikiater itu bisa baca pikiran orang dan bedakan mana yang bohong mana yang bukan", ya tinggal dijawab kalo itu nggak ada di kompetensi, apalagi kalau yang mintanya definitif HARUS BISA. Catat baik2, tulis di rekam medisnya bahwa datanya x sehingga ditindaklanjuti dengan y dengan scientific and situational considerations a b c d dst, udah. Gosah dipikir banget2. 

I also dont remember pernah dibohongi terus berpikir "kok tegooo ngapusi akuuu?" soalnya saya ngerasanya ket jamanku cilik, lyfe and people in general are tego karo aku. Not in the cruel and abusive way, tapi I'm not that priviledged juga. Njuk mungkin ada orang2 yang lihatnya kaya guweh tu chill and dibanting berkali-kali juga ga bakal mati gitu, jadi yo tego2 wae karo aku. Jadi ya.. kalau ada yang bohongin saya, saya nggak komen "kok tegooo" karena ya.. nyapo kok ra tego? 🤷🏻‍♀️

Jadi ya begitulah. Sante. Cuma ya karena saya nggak ngurusan, jadinya ada juga momen2 tertentu yang bikin saya heran gitu kalau ada kebohongan yang nek aku sing dibujuki I might just respond with "Ah. That happens", eee jebul kalo yang jadi korban dibohongin itu orang lain, ternyata jadi dramak. Ada juga momen ketika ada orang yang (katanya) lies and manipulates me behind my back, terus sing ngamok ki dudu aku tapi wong liyo yang (katanya) ra trimo aku dingonokno. Akune biyasak atao bahkan tak sadar sedang dibohongin atau dimanipulasi. Mungkin karena saya mikirnya "selama badan masih oke, mental health ga gila2 amat, dan saldo masih ada buat makan sampai gajian berikutnya.. then life is gwenchana." Jadi yang lain2 ya takpikir pas aku pingin mikir, termasuk babagan aku lagek dibujuki dimanipulasi opo orak. Nek lagek ra pengen mikir yo ra takpikir 🤣


Tiga, saya belajar bahwa saya nggak suka push and pull. Terlalu banyak membuang energi untuk sesuatu yang pada akhirnya mbelgedes juga itu kayak.. yeaaa I could probably handle it on my youth, but with my current energy level, then.. cukup Ferguso! Hentikan! Aku tidak mau tahu lagi hal2 seperti itu!

Gitu.


Empat, the more I get myself into it, the more I realize that it's not my thing; that I am indeed not that willing to invest a significant amount of time and energy for it wkwkwk. Akhir2 ini po maneh, rasanya kek parah banget. Jadi pas di dating app-nya misal ada yang match terus bisa chat gitu, setelah 3-5 kalimat tu sudah mulai muncul pikiran "iki lapo seh?" atau "aaaakk screen time ku wis piro iki?" terus kebanyakan setelah itu jadinya slow response teros 🤣 Kalo ada yang koyoke mak jreng terus ngomongnya bisa ngalir enak terus chat2annya lama, besoknya tu I feel so drained and tired dan kadang sampe jadi skip cardio work demi mencapai visi #50by2025 terus aku kzl like "aaaaarrggg why kok guweh ora olaragaaa" terus ky males chat maneh. Intine cen ra niat lah pokoke 🤣


Udah itu dulu. Capek nulisnya.


Oh. A little TMI: my mind is this Beomgyu meme everytime ada yang bilang lagi in a relationship problem tapi ga putus2 dengan alasan "ya gimana... namanya masih cinta" 



Pelajaran2 yang laen bisa wapri ye kalo kepo 🤪

No comments:

Post a Comment