Tuesday, 15 July 2025

Sepanjang Jalan Kenangan

Ada multi-stage contemplation yang sudah berlangsung sejak pertama kali saya punya diary (i.e. pas kelas 5 SD kayanya wkwk) hingga bisa sampai di level ketika saya yakin kalau saya memang ingin jadi psikiater. Kayanya sih awalnya karena during my annoyingly explosive teenage years, I felt like I got misunderstood A LOT and many times I was like.. WHY? Why is it so hard to understand me? I'm generally pretty straightforward and sometimes I even put extra effort to make things simpler, but why can't I still be understood? Well later on I learnt that sometimes straightforwardness itu yang bikin masalah sih karena ternyata lebih sedikit orang yang ga esmoshit kalo di-straightforward-in dan kalo namanya orang uda esmoshit itu biasanya ya bhay, konten omongannya uda ga bakal didengerin lagi; pasti salahnya. Cuma ya thanks to my lemot brain, I learnt it late kan wkwkwk

Jadi di awal tu motivasi saya belajar buat berkomunikasi dengan lebih 'bener' itu adalah biar people misunderstand me less so I fight less and I have more time for ngapalin lirik lagu dan fangirling. Nah namanya komunikasi ini kan banyak berurusan dengan kata2 yekan.. trus ndilalahnya I like reading and writing quite a lot, dan kalo berurusan sama lagu, I surprisingly put more focus for the lyric. Jadinya during my younger years, I had fun playing with words and somehow kinda built my sensitivity to implicit 'nuances' that go beyond the actual words spoken, and also my tolerance to multi-interpretation of certain events of communication. Nah ada masanya awareness terhadap hidden meaning dan multi-interpretasi itu agak overwhelming, gotta say, and I felt like.. ini otak manusia ni rumit amat kerjanya, dibikin simpel aja bisa ga sih? Kalo di-permak2 dikit bentukan otaknya gitu.. bisa kali ye jadi lebih simple.. Gitu mikirnya, sehinggaaaa ada masanya, bercita-citalah saya jadi dokter BEDAH SARAF karena mau permak, ndempul make over otak itu tadi. Namuuunn, tentu saja hidup tidak semudah itu, Ferguso. Dengan cepat saya menyadari bahwa pendempulan otak seperti yang saya bayangkan itu is not exactly what neurosurgeons do, pluuuuss dapat info juga bahwa tindakan bedah gitu itu might take loooongg hours, needing looootss of stamina... plus later on I found out that dexterity saya jebulnya bosok yha sehinggaaa, berkarir jadi Sp.BS? Maaf, nggak dulu, makasih. I still want to learn to help people (including myself) 'fix' their ways of self-expression and relation. However, to do that with the sacrifice of kehilangan waktu buat musik2an dan fangirling, it's a big no-thanks for me karena I'm not happy without those things dan waham saya berkata bahwa if I don't live happily, I'm in no capacity of sharing happiness to others. In another words, misi guweh buat mempermudah hidup orang, akan jadi mission impossible.

Maka jadilaaah, saya mempertimbangkan jalur karir lain: psikiater, psikolog, diplomat, english teacher (yes I did consider mlebu HI or ngajar enggres, partly because TOEFL 500+ is kinda effortless for me *kibas rambut *iye ini flexing *I don't humble brag, I BRAG). Terus kenapa akhirnya milih masuk FK dan jadi psikiater? Apakah karena kedokteran itu jurusan paling bergengsi, menantang, dan passing grade-nya paling tinggi sehingga nantinya saya bisa membanggakan prestasi saya masuk FK UGM pada seluruh tetangga dan sanak saudara? Oh TENTU SAJA TIDAK. Saya masuk FK UGM karena ujian mandiri UGM itu duluan dibanding ujian masuk PTN yang nasional, dan di UGM itu psikologi-nya termasuk IPS. Aku tu males gaaaesss nek ujiane kudu njupuk  IPA karo IPS alias IPC karena selain ofkors MALES SINAUNE, ujiane suwi which is too much for my attention span yang pastinya akan meronta disuruh duduk segitu lamanya saat seharusnya ku bisa jalan2 menikmati suasana Jogja ๐Ÿ˜

Jadi ya sudah, masuklah saya ke FK, terus PPDS Psikiatri, trus lulus jadi psikiater. Gitu doang? Ya nggak lah ๐Ÿ˜œ Dalam perjalanan itu saya juga jadi semakin yakin bahwa memang I'm more into words instead of hand works (bhay neurosurgery!), I'm more into people instead of tools (bhay -again- neurosurgery! Bhay lab-related sciences!), I'm more into high quality + in-depth few interactions instead of mass + generalized ones (bhay public health medicine!)... dan bahwa saya ini wanita murahan yang tak suka barang2 mahal and that I feel satisfaction when I could get things work secara low budget. The works I enjoy the most are the ones that mainly use myself as an instrument: psikiatri, nyanyi, nulis yang yowes pake bulpen laptop HP aja uda beres... such things. That being said, jadinya, di tengah kehidupan masyarakat kolektivis berazaskan sila keempat Pancasila yang mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan ini, kalau saya mau semacam 'egois', lebih mudah buat saya membahasakannya jadi, "I have to take care of myself because I am the instrument of my work for the community. If my condition is sub-optimal, then my service to the community would be sub-optimal too" Gitu. Cerdas kan taktik saya untuk melegalkan keegoisan ๐Ÿ˜Ž

Jadi begitulah. Saya jadi psikiater dan salah satu minat utama saya memang di psikoterapi karena itu tadi: saya makhluk low budget (bhay psikiatri biologi! Bhay biomolekuler thingy!) and I prefer to use myself as an instrument. One other important reason of me being interested in psychotherapy ini adalah karena IMO subdivisi inilah yang paling berperan buat mendukung saya untuk lebih bisa mengapresiasi the little magics in life and find happiness from those magics. Makanya sempat ada masanya saya bertakon2 napa sih (kayanya) banyak dokter (termasuk psikiater) attached amat sama ngasi obat padahal yang 'nagih' dari kerjaan psikiater itu adalah those small magics. Well although later on sy nyadar juga bahwa: 
1) I don't think like most people, jadi emang otak saya aja yang suka ngide2 sendiri dan akhirnya jadi punya pikiran kaya gitu; 
2) Vibe pendidikan psikiatri jaman old yang (kayanya) emang lebih favoring kompartementalisasi (mind vs body, psikolog vs psikiater, etc.) instead of kolaborasi (yang lately lebih trending), mungkiiin berperan juga dalam kecenderungan itu dan sticking mostly to prescribing was like a method to keep us safe in our compartment, so.. that's just what was 'necessary', I guess.  

I just can't shake it, though, bahwa it feels more right to do it holistically, and flexibly when it comes to the pharmacotherapy vs non-pharmacotherapy regimen. Emang capek, really, to be holistic; dan kemungkinan untuk burnout itu jaaaauhhh lebih tinggi dibanding ketika you simply stay in your own compartment, tapiiii in this case saya anaknya FOMO-an wkwk. I don't wanna miss out on life by 'neglecting' those aspects that makes someone an ์ด์ƒํ•œ ํ•˜๋‚˜. By keeping myself tuning in to these things, rasanya tu kaya semakin gampaaaangg buat bahagia, dan IMO, ternyata salah satu privilege terbesar jadi psikiater itu adalah karena saya bisa bahagia secara low budget *eeeaaa ujung2nya balik lagi ke sini yeee. Dan karena I feel like I can be happy due to small daily things, I have more resources to keep standing firm despite whatever life throws at me. I feel invincible and confident that I can always get back up despite whatever defeat I might face *BG sound musik heroik lalu muncullah ultraman untuk membasmi para monster 

Jadi begitulah gaes. Kalau jadi psikiater itu, kamu tu bisa bahagia dan merasa berprestasi (antara lain) cuma gara2:
1 Ada manusia (read: pasienmu) yang AKHIRNYA gelem ADUS. Bapak emak kalian tidak mengapresiasi kalian karena kalian ga rengking satu di kelas atau gegara skripsimu ra rampung2? Maen ke psikiater/psikolog aja gaes. Kita bisa banget mengapresiasi kamu just because you are gelem mudhun seko kasur terus ADUS terus budhal sinau atau nemoni dosen pembimbingmu *kok jadi mengandung promosi
2 Ngelihat orang yang dulu ra nyambung blas (gegara masih episode psikotik) jadi bisa cerita kalau dia udah bisa nikah, kerja, dan bahkan menenangkan pasangannya pas mereka lagi ada masalah
3 Ndenger seorang abege (dan emaknya) bilang kalo si bocil mau nyoba sekolah lagi setelah empat tahun off gegara (antara lain) ada riwayat di-bully sampe takut ke sekolah
4 Ngelihat perubahan dari manusia yang dulunya sering nangis dan bentar2 bilang pengen mati, tapi sekarang sudah bisa lancar cerita pengalaman-pengalaman hidup yang buat dia menarik
5 Ndenger abege (lagi) bilang "makasih Dokter" setelah sekian tahun ketemu ini bocil tapi blaaaass ga denger suaranya dan akhirnyaaa bocahnya mauuuu ngomoooonggg sama guweeeh, dan kata pertama yang dia bilang bukan kata2 mutiara dari neraka wkwkwk 

Of kors masi banyak lagi yes momen2 daily magic gitu yang the more I have it, the more I realize: ์ œ๊ฐ€ ์ œ ์ƒํ™œ์ด ๋„ˆ๋ฌด ์ข‹๊ณ  ํ–‰๋ณตํ•ด์š” and I wouldn't want it any other way ๐Ÿ˜€
   

Thursday, 13 March 2025

Learning Lyfe

DISCLAIMER: 
ada BANYAK omelan dan kata2 serupa 'kata mutiara dunia setan' di sini, jadi kalo kelen lagi sensi atau laper atau butuh pencerahan, jangan di sini cari siraman rohani dan ketenangan jiwanya; GA BAKAL DAPET ๐Ÿ˜
  
Setelah dibaca ulang, ternyata tiga dari empat resolusi 2024 saya GAGAL wkwkwkwk.

Resolusi pertama untuk lebih banyak membaca dan menuliskan hasil bacaan sampai selesai jadi paper mostly tercapai sih, which is nice meskipun semi nanges-nanges karena tidak hanya sekali ketercapaian resolusi ini terjadi dalam posisi kepaksa dan kepepet. Kebanyakan yang saya baca di tahun 2024 kemarin tentunya adalah referensi tentang DBT karena 2024-2025 kan memang dalam proses proses menjalani kegilaan pelatihan itu, dan ada lumayan banyak tugas bacanya. Kebanyakan hasil baca referensi DBT ini nggak jadi paper sih, but I did read about other topics. Salah satunya adalah tentang depiction of mental health problems in the social media yang akhirnya jadi paper-ish yang dengan kekuatan menebalkan muka plus koneksi ordal yang bisa dipresentasikan di acara pertemuan ilmiah yang... ya pokoknya bentukan gue jadi kaya orang bener lah by presenting in that event ๐Ÿ˜Ž Ya meskipun pake acara cemas galao nge-blank ga konsen gegara memunculken niat buat bikin ppt-nya itu adalah tydack semudah itu Ferguso, but I did it. Definitely not astonishingly, but I frikking did it. I mean, I still don't really feel satisfied karena I don't have any new writing published dan dua artikel yang publish di jurnal tahun 2024 itu semuanya sebenarnya paper lama yang baru menemukan jalannya buat muncul, tapi ya.. yawda lah. Let's call it a success gapapa ๐Ÿ˜œ

Resolusi kedua tentang lebih sering diterima buat donor darah ternyata LEBIH GAGAL dibanding tahun sebelumnya which is koyoke aku orak donor blas sepanjang 2024. Bonus point, kalau sebelumnya saya biasanya ditolak HANYA karena belum bisa keluar dari identitas sebagai sobat tensi minimalis, tahun 2024 ini saya ternyata dapat identitas baru sebagai sobat anemis Indonesia karena pas mau donor, selain tensinya, ternyata Hb-nya juga kurang ๐Ÿ˜ญ I mean I think I ate okay, I maintained enough water, I think I worked kinda regularly (not excessively), exercise juga ga gitu2 amat.. tapi kayanya memang kualitas zat gizi makanan sama work/life balance-nya perlu diatur lagi biar sehatnya lebih optimal.

Resolusi ketiga tentang balikin LHDM dan skripsi tepat waktu itu.. emang masih susah ya bund ๐Ÿ˜ข
I mean, ada sih sediiiiikiiiitt LHDM yang saya balikin dan waktu tunggu koreksian skripsi saya sebenarnya sediiiikiiiitt memendek dari sebelumnya, tapi ya.. I need to work better on this lah. Diatur lagi jadwalnya. Yuk bisa yuk..

Resolusi keempat tentang keeping the streak and my place in the Diamond League di Duolingo itu.. sebenernya ga gagal-gagal banget sih. Streak masih jalan meskipun dengan ntah berapa streak freeze yang kepake dan I was only demoted to the Obsidian league for a week, tapi ya.. let's call it a failure gapapa soalnya saya ga se-sebel itu sih kalo fail dalam hal ini wkwkwk


However, wish list-nya ternyata terkabul bund, meskipun yang satunya relatif masih parsial dan yang satunya not exactly di 2024 terkabulnya, tapi ya gapapa. It still feels good ๐Ÿ˜€ 


Meanwhile, yang relatif parsial itu adalah when I mentioned in my 2024 wish list that I kinda wanna have more efficient and organized psychotherapy sessions. Well I'm still not having them, buuuttt in 2025 I have finally completed pelatiyan intensip DBT setelah setahun lamanya๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘ and I think this training teaches a lot about how to structure a psychotherapy. Not only that, it also feels great for at least two other reasons. 

Pertama, jadi kaya punya support system baru, karena di training ini kita di-grup2in gitu dan suka ga suka selama setahun tu harus bonding sama teman segrupnya in a supportive manner (karena itu bagian dari tugas pelatihannya wkwkwk). Mungkin emang di awal kerasa kaya tugas aja ya, tapi semakin lama karena kebetulan orang2nya mostly seru, well-intentioned, dan pada semangat juga belajarnya, akhirnya jadi kaya ada sirkel baru yang positip vaib gitu lo... yang bisa saling surhat, dan kalo mau saling kritik tu 'terkondisikan' buat membahasakan kritiknya se-matter-of-fact mungkin dan sebisa mungkin mengkritiknya harus tetap mengandung validasi (ini juga pelajaran dari pelatiyannya wkwkwk), jadi being criticized itu jadi less scary dan (at least di saya ya) rasanya jadi less reluctant buat being defensive juga karena kaya.. hlah ngapain guweh depensip orang ga ada yang nyerang? Waham curiga dong guweh kalok depensip... Kek gitu kira2 rasanya. Jadi akhirnya 'kepaksa' melatih diri buat chill, wise, santuy, ga ngegas-an, woles, dan segala teman2nya itu... dan ya ofkors the more I practice it, the more I internalize it jadi saya ngerasanya juga jadi bisa lebih sabar. Makanya meskipun negara dan situasi sekitar lagi totally like ๐Ÿ’ฉ status WA saya tetep mostly kpop aja dan mostly masih bisa nahan diri ga terlalu ikutan ngomenin negara karena sesungguhnya saya sedang merencanakan untuk kabur sejauh2nya dari negara durjana ini ngiahahahahahahahahahaha *ketawa mertua antagonis sinetron Indosiar

Kedua, saya jadi dapat validasi yang lebih holistik untuk letting go and this state of letting things go has somehow given me the feeling that I realized I haven't felt for quite a long time: FREEDOM. The genuine and heartfelt kind of freedom. Trus jadi keinget lagu lamanya Madonna yang judulnya "The Power of Goodbye." Saya jadi sadar kalo this song didn't really 'mashok' into me when I was a teenager, tapi sekarang jadi lebih mashok, terutama di lirik yang bilang:
"Freedom comes when you learn to let go, creation comes when you learn to say no"
dan mungkin ada benernya juga kalau di chorusnya ada lirik "there's no greater power than the power of goodbye" karena mungkin memang iya. Saya juga jadi mikir apa jangan2 ini pertanda bahwa saya beneran harus lebih banyak baca kitab dan ajaran Buddha karena kayanya salah satu ajarannya kan adalah bahwa penderitaan itu datang dari keterikatan aliyas ketidakmampuan untuk letting go *now auto playing: scene spiritual awakening: cahaya ilahi muncul dari ujung layar diiringi sound effect penanda enlightment dan blink blink surgawi berpendar di seluruh layar *self tampar *biar kembali ke dunia nyata
Nah karena at this point I feel more at peace for letting go ini, plus ada reminder juga pas pelatihan bahwa "kalau orangnya ga mau komitmen terapi, gosah maksa buat playing God and trying to rescue everybody. let go aja, beresin yang dalam kapasitasmu buat beresin; yang di luar itu gosah", jadinyaaa I feel waaaayyy less guilty about not being able to take care of everything dan saya merasa jadi semakin bisa memantapkan posisi sebagai anggota komplotan setan (read: apapun yang kalian lakukan, saya perSETAN) dan anak gwenchana (read: elo taroh dramak kehidupan kaya apapun on my table, guweh gwenchaaanaaaa... *now playing: back sound piano mi fa mi do re). 
IMO lumayan banyak hal2 yang akhirnya saya let go habis pelatihan ini (dan surprisingly saya tetap gwenchana):
1 Keinginan buat ke yurop bulan Oktober tahun ini (karena ternyata setelah dihayati lagi, pada titik ini ternyata saya lebih suka lihat saldo rekening yang memadai dibanding lihat bule2 tamvan bertinggi badan sangat memadai)
2 Pasien-pasien yang hobi nge-ghosting tapi sekalinya datang dramaknya beneran kek sepuluh season dirapel ditumplekin jadi satu (karena reminder yang saya bilang tadi kan: if you're not that much into doing it, then we're not doing it and I'm fine with that)
3 Kebiasaan untuk mendengarkan dengan sangat empatik dan sangat memvalidasi (karena kata trainer dan referensinya, kalo seumur2 terapi isinya validasi dan acceptance doang, biasanya progressnya lambat dan elu burnout duluan sebelum bisa making any changes trus terapinya malah gagal).
4 Keinginan buat kembali ke "ngambis mode" ala jaman nom2an mbiyen, which surprisingly doesn't make me feel 'degraded', karena ternyata.. ngambis mode yang sempat saya rencanakan kemaren itu adalah ngambis mode yang disusun berdasarkan construct kemaslahatan masyarakat instead of the fun-kind of ngambis mode that makes me love being myself when I'm doing it. Jadinya kaya I have the realization to reorient myself to redefine my favorite kind of ngambis mode dan.. it's fun! To my surprise, I could (relatively) easily come up with plans for ngambis mode yang ์ง„์งœ ๋‚˜์—๊ฒŒ ์ž˜ ์–ผ์—ฌ and I'm happy about it ๐Ÿ˜‡

Jadi begitulah. I let go of things, dan ternyataaa ada beberapa hal yang sebelumnya tetap saya kerjakan meskipun saya ga suka karena itu wajib, yang... ndilalahnya, karena perubahan aturan ini itu di tengah pemerintahan yang mbelgedes ini, jadi let go of me so I don't have to do those things anymore yay!
Satu, 'membership' di suatu tim yang ga jelas jobdesc, kewenangan, dan potential benefitnya (note: remun ga dihitung benefit karena yang pegang ATM penerima transferan remun saya kan bukan saya ๐Ÿ˜Ž)
Dua, membimbing skripsi wkwkwkwkwkwk. No, ofkors I don't hate membimbing skripsi in itself karena I like learning and the best way of learning is by teaching, right? Tapiiiii saya tu capeeeekkk berkali2 harus merasa prihatin atau esmoshit gegara berbagai hal. 
    Pertama, mahasiswa ikut kelompok riset dosen, dan riset skripsi mereka to a huge extent idenya uda dikonsep di kelompok riset itu, dan (saya ngerasanya) mereka kurang gigih memformulasikan argumen mereka biar the importance of their studies itu jelas... and I have to settle with "ini dari kerisnya seperti ini Dok." I mean, guweh tu yaaa, kalo nanya ini itu buat ngejar elu sampe ke ujung dunia buat dapet jawaban tentang "kenapa penelitian saya penting?" itu yaaa, tujuannya buat ngajakin eluuuuu biar membiasaken punya critical thinking dan responsible ama tulisan eluuuu. Secara yeee, rata2 pas elu nulis skripsi tu umur lu uda umur dewasa kan yak... jadi ya tanggung jawaaaaab sama tulisanmu deweee, jangan alasan kerisnya lah, dosennya lah... kek bayik tauuukk kalok kaya gitu tuuu
    Kedua, mahasiswa ikut kelompok riset dosen, terus sudah ngambil data sebelom proposalnya dia beres, terus habis gitu proses riset dan penyusunan karya ilmiah secara keseluruhannya tu nggak dihayati bener. Ngajuin permohonan telaah etik ya sekedar surat aja, ga dihayati bahwa telaah etik itu tujuannya untuk melindungi subjek, bahwa asal muasalnya telaah etik itu ada tu adalah karena ada azas kemanusiaan yang harus dihargai dan dipastikan tidak dilanggar dalam penelitian ini... Terus nulis rekap data di lampiran skripsi sembarangan: data yang ditampilkan ga cocok sama data yang dibilang mau dicari di bagian metode penelitiannya lah, dengan entengnya nama dan alamat asli atau poto muka responden dijembreng gitu ajah (ngerti azas CONFIDENTIALITY ga seh? ๐Ÿ˜ก). Terus kadang datanya ga valid dan ga diinterpretasi tapi maksa tetep pake data itu karena kelompok risetnya uda selesai proses pengambilan datanya, tanpa ada precaution yang cukup tentang generalizability dan usability data itu, dengan alasan "saya ngejar koas yang batch x Dok." Kalau saya pribadi, ngerasanya kalo mempublikasikan suatu konklusi yang sebenarnya belum bisa jadi konklusi tanpa bilang "ini belum final" itu ga jauh beda sama nipu, so I'm not gonna do that. Teruuuus, yang namanya penelitian itu, kalo di tengah jalan ada satu dan lain hal yang bikin penelitiannya harus ganti metode atau ganti data atau semacamnya, ya emang bisa kaya gitu. Kalau itu terjadi, ya udah, di-acknowledge, dilakoni perubahannya, dijelaskan prosesnya di laporannya. Tapi ya gitu... kadang di-acknowledge tapi ga dilakoni perubahannya, in the name of "ngejar koas batch x" hingga endingnya  ya itu tadi: konklusi yang tidak konklusif. Tapi ya gemana yak... itu bukan penelitian guweh, yawda keputusannya bukan di guweh. Seterah elo aja lah ๐Ÿ™„
    Ketiga, again for the sake of "ngejar koas batch x" atau "ngejar yudisium tanggal x", publikasi ilmiah dari skripsi di-submit ke jurnal dengan mencantumken nama guweh tanpa guweh pernah baca draft naskah publikasinya sekalipun. Ini kan artinya nggak aware ya, bahwa naruh nama itu artinya pasang badan alias tanggung jawab atas apa yang ada di tulisan itu. Gotta say, saya merasa didholimi ya kalo ini kejadian, karena ujug2 saya harus tanggung jawab buat sesuatu yang saya nggak tahu tu like... how? How can I be held responsible for something that I don't even know existing? Padahal ini bisa berdampak ke linearitas publikasi saya, ke track record expertise saya yang bisa jadi difus kalo ada banyak artikel yang namanya nama saya tapi topik expertise-nya bukan topik saya. Gemana caranya saya bisa membangun reputesyen di bidang keahlian tertentu kalo topik publikasinya di segala bidang? Ini track record keilmuan yang mau dibangun, bukan supermarket. Even worse, kalo artikelnya atau abstrak artikelnya bahasa enggres trus terjemahane wuelek. Wow sungguh double kill: selain mengancurkan reputasi saya sebagai profesional di bidang kesehatan, hancur jugaaa reputasi saya sebagai PENERJEMAH TERSERTIFIKASI NASIONAL HPI. Like... makasih lho, sudah meng-ambyar-kan CV digital saya secara multidimensional. Sungguh sangat berdedikasi...

Jadi begitulah.
Dengan berbagai hal yang ter-let-go itu, sepertinya mental load dan attachment saya to people and things cukup banyak berkurang. As mentioned earlier, I feel free. My mind... somehow... has re-found ways for being creative and 'out of the box'; something I haven't felt like possible for a kinda long time. Emang sih kalau saya lagi 'out of the box' itu kadang bikin orang menderita, tapi yawda lah ya, ga tiap hari ini guweh bikin orang menderita... *argumen macam apa ini?

Anyway. Saya jadi bisa bikin rencana yang (buat saya) seru untuk menjalani 2025 yang 1st quarternya penuh berita korupshit dan oplosan ini. Saya jadi lebih pede buat berencana bahwa I'm not gonna be traveling a lot this year; I'll save the cash instead. 
I'll stay home and read a lot, learn a lot, and feel swag for being smarter.
I'll listen better to the music, appreciate it better, and indulge myself more in the beauty of sounds.
I'll pay better attention to details in life that I might have missed all these times; take better care of them, and be more thankful of their presence.
I'll get my homework done, especially the ones that have been delayed for sooo long.

I might write more, translate more, conduct better therapy sessions, create more, and play more.

I can't say that I'm 100% ready yet, but I'm excited coz fo' sho', the best is yet to come.
2025 ๋…„ ํ™”์ดํŒ…!

Tuesday, 11 March 2025

Kontemplasi Konser

Di era pasca COVID sejauh ini saya sudah nonton 4 konser; tiga di antaranya kpop tapi somehow ternyata tiap act tu punya story, fun, dan pembelajarannya sendiri-sendiri. Mungkin karena I like them for different reasons, penentuan budhal enggaknya ke konsernya beda, dan ya karakternya masing2 beda. Well. I should've gone to 5 concerts instead of 4, tapi ada unfortunate event yang bikin satu konser yang sebenarnya paling saya tunggu-tunggu jadi batal, so I end with 4. 
I'd like to share some stories about these concerts. Banyak di antara cerita ini tentu saja tidak berguna dan tidak edukatip karena this is mostly about personal experience and impression instead of reportase detail kaya yang sering saya tulis jaman nom2an pas masih jadi anak choir mbiyen. Still, going to concerts has always been one of my top choice method of having fun so I just feel too bad not blabbering it out so here they are, in chronological order.

Woodz - OOLI 
Ini konser pertama yang tertonton pasca era COVID dan niat nge-war gaes akutu buat konser ini wkwkwk. First day ticket sale-nya pas saya ultah jadi hari ultah saya di tahun 2023 dihabisken dalam kondisi tegang karena tiket ga langsung kepegang ngiahahaha. Belajar dari nonton Nu'est di 2019 dan Eric Nam di 2020, budhal konser ini HPku wis ganti gaes karena HP siomay yang sebelumnya sungguh tydack kondusip buat recording. Ya iya sih jadi lebih mindful enjoying konsernya karena ga disambi rikording, tapi kaya footage of the good times-nya jadi kurang. Jadilah saat si HP siomay sudah mulai menunjukkan tanda2 kelelahan, yowes lah ganti HP, and I don't regret it at all coz it's worth it ๐Ÿ˜ƒ 
Meskipun sebenernya I wasn't a Moodz in the first place, tapi gegara ngikutin skandal produce 101 season 4 dan music works pada bocils yang terkait acara ini, akhirnya saya salah satunya jadi terpapar Woodz. Dari awal tu udah ngerasa, oh ini bocah unik ya.. I don't usually li ke this kind of timbre, tapi kok yang ini nggak papa? Terus di MV ini, saya ngerasanya MV-nya cukup terkonsep baik, acting-nya dia bagus, dan kerennya di MV itu dia kaya bisa jadi berbagai persona dan nyanyi-nya itu berdinamik dan luwes; in short, ra koyok rookie blas2o. Trus semakin diperdalam telaahnya, semakin sukaaaak soalnya semakin ketahuan musical versatility-nya dan I think it's just awesome how he is a singer, a performer, a songwriter, and also a multi-instrumentalist. Lirik lagu bikinannya dia tu juga having pretty good depth and meaning; ga yang kaya asal memenuhi tuntutan apa yang hype aja. Trus pas setelah tahu beberapa lagunya Woodz terus habis gitu (akhirnya) ndengerin Flash-nya X1 dan di situ dia cuma dapet bagian seuprit yang sangat tidak mengeksplorasi versatility-nya, sorry to say, 1st thing that came to mind adalah, "untung X1 ga kelamaan eksisnya. Kasian banget kalo dia harus underused 2 tahun dalam rangka jadi idol." He's too goooooooddd buat tydack on the spotlight sungguh kutydack relaaa
Gitu.
Nah pas dia mulai sounding kalo mau konser di Jakarta tu sebenarnya masih ragu ya, worth it ga ni konsernya? Apalagi dia solois and my last experience with a kpop soloist was with Eric Nam yang... setting gedungnya agak minimalis, gotta say, karena kayanya kurang commercially successful. Tapiii setelah nonton live performance di salah satu pidio konsernya yang tayang di yutub, langsung gas lah berangkat aja karena the concert seems sooo much fuuun, dan yang terjadi di hari H adalaaah EMANG IYA.
Meskipun lokesyennya bukan di stadion, tapi setlist dan multimedianya juga oke dan IMO lumayan selevel sama grup2 populer gede gitu, despite the stage being less fancy ya of kors. Tapiii ketutuuup ke-kurang-fancy-an itu sama keholistikan seorang Woodz. Kalau saya bilang dia komplit in the nice way sih, karena kualitas musikalitas dan stage act-nya itu level artis indie idealis, tapi karakter interaksinya sama audiens yang ramah dan fan service oriented hasil didikan per-trainee-an idol tu bikin vibe enak dan 'inklusif', jadi ya.. seru. Way exceeding my expectation lah pokoknya. Kalaupun ada satu hal yang saya sesali, itu adalah karena I didn't get myself the front row ticket. Ya masih untung sih karena ada giant screen dan lokasinya kecil jadi tetep nggak terlalu jauh dari stage, cuma.. ya kurang puas aja wkwkwk so I promised to myself, next time I go to a concert, I'll get myself a front row ticket for a better experience. Gitu
 

P1Harmony - P1oneer 
I love this group since day one karena IMO dibandingkan rookie laen yang debutnya di waktu yang berdekatan tu mereka kualitasnya jauuuh di atasnya. Mereka tu kek ga ada vibe rookie2nya sama sekali. I don't watch them performing that much, tapi karakteristik musiknya dan terutamaaa vokalnyaaa, mateng. Level SM sih kalo kata saya, dan later on I found out kalo Theo tu dulu memang pernah jadi trainee SM. Power bagus, dinamik aman, high notes aman, adlib2an afro-amerika yang meliuk-liuk pun amaaaan, so how can I not fall for these guys yekan..  Terus rapper-nya ituuu artikulasi, pronunciation, ketepatan beat, dan per-staccato-annya itu okeeee ๐Ÿ˜ญProduksi suara-nya IMO juga variatif tapi surprisingly aman kabeh, pluuuuss timbre-nya mereka berenam tu bervariasi banget, tapiiii bisa tetep blending dengan enak. Jadiiii, ya I keep tarcking on them tiap kali comeback dan emang lagu2 kambeknya enak2 terus, jadi ya.. meskipun taunya telat kalo mereka ke Jekardah, pas akhirnya tahu dan ternyata tiket masih ada, yawda gas budhal.  
Long story short, I did secure a highest rate ticket for this show, tapiiii beda sama yang pas nonton Woodz, dapat tempatnya sayangnya agak nyamping gitu dan ternyataaa ini cukup memengaruhi kenyamanan menonton karena jadi banyak blind spot di stage-nya kalo ga di tengah. Ini juga kerasa banget pas nonton Seventeen which got me thinking quite a few times like "balikin tiga setengah jutak guweh yang berharga guweh ga trimak ga bisa liat band dan screen yg immediately di blakang seventeen-nyaaaa." Even worse, kayanya karena yang di Jakarta doesn't seem to be a commercial success, giant screen yang di kanan kiri ora diurupken ๐Ÿ˜ญ Makanya footage dari konser ini juga nggak bisa banyak dan proper. Baru bisa agak proper rikording itu pas di akhir mereka freestyle muterin medley lagu2 mereka dan yowes dinyanyiin aja tanpa terlalu banyak terstruktur, karena pas itu mereka nyuruh penonton di level tiket yang paling depan buat berdiri dan mendekat ke stage. Seruuuu yang bagian ituuuu dan interaksinya jadi lebih kerasaaa karena pas awal2 tu mereka kaya terbatas juga ya karena stage-nya juga agak minimalis. Terus despite performance-nya oke, kayanya ada momen2 sebagian dari mereka tu ky ga mindful, kayanya sih karena capek dan ada yang cedera juga. Terus mungkin karena kayanya ini world tour pertama mereka, skill komunikasi sama audiens-nya itu masih belum sepenuhnya luwes. Still, syukaaaak, karena ya mereka live-nya pun emang seberkualitas itu, termasuk yang solo performances-nya. Teruuuuss ada beberapa lagu yang diaransemen beda jugaaa dan jadi lebih seruuuu baik lagunya maupun jejogetannya. Hal lain yang lutchuk dari konser ini tu adalah ada gform evaluasinya habes konser dan udah saya isi kan tapi ntahlah sampe sekarang kok belom sampe ya sertipikatnya... *mbak ini konser mbak bukan webinar mbak tolong ya

The Corrs Live in Jakarta
Kalau yang ini bukan kpop tapi band idola masa remaja yang sudah pengen saya tonton konsernya sejak SMP. Band pertama yang bikin saya meniatkan diri untuk menabung demi apaaa? Demi beli biola biar bisa maen kaya Sharon Corr wkwkwk. Saya juga suka Andrea karena I like her image on stage, I like her lyrics, dan pas jaman nom2an tu salah satu komponen dari the adult version of me that I wanted to be itu adalah kaya Andrea Corr itu. I like the way (IMO) she kinda portrays a woman who's brave, feminine but powerful, firm but friendly, flirty but not that slutty, energetic, fresh, and youthful gitu. Jadi ya ini juga diniatin nge-war. Meskipun ada tiket VIP yang bisa duduk dan kayanya lebih akomodatip buat kejompoan saya, tapi saya ga ambil tiket itu karenaaa panggonane adoh dari stage which is like what for mbayar larang2 trus malah adoh saka stage? Jadinya belilah tiket festival yang ngadeg dan ternyataaa dengan kekuatan niat cosplay remaja 90an, saya bisaaa melewati sekian jam nonton dalam keadaan ngadeg meskipun besoknya ya kejompoan kembali mendera.
Nonton konser ini tu rasanya somewhat dreamy dan grateful, kaya... wow. Cita2 guweh yang dulu kayanya jaooooohh banget sampe tujuh turunan ga bakal kejadian, ternyata bisa tercapai juga. Terus ya mereka itu staminanya tetep samaaaa kaya yang di video2 yang sering saya tonton mbiyen. Kualitas performanya juga samaaa, dan yang mereka bawain tu lagu2 yang populer di masanya yang of kors aku apal kabeh lah ya sehinggaaaa pertama kalinyaaa bisa nonton kongser sambil (hampir) full sing along which is aju naaaaiiiisss 
Trus lagu sukaan aku dinyanyiiin di pidio ini:
  

Seventeen - Right Here
Kalau yang ini tydack nge-war, tapi pakai semacam calo wkwkwk. Awalnya ga niat nonton sih dan ga apdet beritanya juga karena I'm not a Carat, tapi I know their names and their reputation, dan nonton grup dari agensi gede kan emang udah jadi salah satu wish list 2024, jadi berangkatlah saya buat nonton di hari kedua konser mereka. Despite tempatnya yang tydack terlalu aju nais as I mentioned earlier, gotta say they do live up to the big name sih kalau kata saya. Performance-nya sungguh terkonsep holistik dan skill dan experience mereka sebagai salah satu artis senior panutan para hoobae tu beneran ketaraaaa๐Ÿ˜Live vocal aman, dance gosah ditanya, dan stage act tuuuuu keliatan genuine, mindful, natural gituuuuu.. vibe smcm being on stage is in my blood itu kerasaaaa, dan sy tu syukaaak liat performer yang having fun doing their job. Stamina dan energinya juga warbiyasaaak. Konser hampir 4 jam ya gas aja ga ada bosennya karena emang lagu mereka yang enak emang sebanyak ituuuu, dan gotta say ini konser dengan ENCORE TERPANJANG that I've been in ye secara encore-nya aja kayanya hampir 2 jam sendiri wkwkw. Trus mereka tu keajaiban tingkah polahnya dan repertoar improvisasinya uda sangat bejibun kan ya.. jadi ya kalo diturut sih benernya bisa kali yak konsernya dibikin semalem suntuk ala nanggap wayang... trus jadinya bukan konser doang, tapi sekalian serial komedi ๐Ÿ™„
Banyak momen yang ์ง„์งœ ๋ฉ‹์žˆ์–ด, yang lutchuk gmz, yang aduh-tolong-udah-tua-kelakuannya-dijaga-dikit-plis.. intinya, the experience was wholesome sih. Cuma ya itu tadi, posisi ga enak daaaaan kursinya JIS cilik dan sungguh tydack kondusip untuk memuaskan aktualisasi aura cegil secara paripurna. Sedih akutuuu ga aware kalo ada band-nya kalo ga diperkenalkan sama mereka (karena ora ketok dari posisiku). Selain itu, meskipun beli tiketnya yang level 2, ternyata tetep lumayan jauh dari stage dan jadinya lebih banyak mengandalkan view dari giant screen which is nice karena ketampanan Joshua dan Mingyu jadi sungguh tertampilkan secara shining shimmering splendid, tapiiiii kalo ga konsentresyen tu kurang bisa dapet chill et causa the legendary 17 dance synchronization itu. Ya gemana, scr jauh dan yang dimunculin di giant screen biasanya yang udah di-spotlight sesuai arahan camera director ala inkigayo gitu kan... jadi kadang formasinya malah ga keliatan which is too bad.





Anyway. 
Begitulah kira2 kesan pesan perkonseran pasca COVID kali ini. Karena wish list udah kelakon, I'm not actually that much looking forward for watching more concerts, tapi kalooo ada kesempatan buat nonton lagi, kayanya pengen nonton Jackson Wang karena ya.. kayanya bakal seru aja dan di antara nakkanak GOT7, stlh mereka out dr JYP, yg sy ngerasanya paling surprising bentukan2 solonya itu Jackson. Yang paling bikin sy ngerasa kalo (selama di JYP) talent-nya underused banget selama jadi idol itu ya Jackson ini, jadinya pgn nonton Jackson. Of kors, keinginan nonton TRG lagi dan/atau anak Astro juga tetep ada, tapi ya.. ntar lah digas kalo uda ada beneran


Saturday, 18 January 2025

๋‚œ ๋„ ์กฐ๊ธˆ ๋” ์ƒ๊ฐํ•ด

Dulu saya mikirnya kalau jadi dosen itu ya udah ngasih kuliah, kadang ngomelin mahasiswa yang bandel, bikin-bikin buku ajar atau modul, ngoreksi kerjaan mahasiswa, riset tipis-tipis, gajian... udah. Setelah kerjaan selesai, pulang terus either karaokean di rumah atau daydreaming sambil nulis-nulis. Terus gajinya disimpen buat nonton konser sama jalan-jalan. Gitu aja diulang terus kayanya saya juga ga bakal bosen karena makhluk distractible dan mudah excited kaya saya tu biasanya bakal nemu aja sesuatu yang bisa menarik perhatian dan bikin excited setiap harinya, so I don't expect to get much fun from the my environment; no worries, I can make the fun(s) myself.

Cuma ternyata...
Waktu saya kuliah dulu, sempat ada lecture yang bilang bahwa cara terbaik buat belajar adalah dengan mengajar, dan ternyata memang iya. Dengan jadi pengajar ternyata saya malah banyaaaaakk belajar. Yang kadang agak overwhelming, belajarnya itu kadang nggak hanya tentang sains-nya, tapi juga tentang... hidup. Apalagi, I had (and still have, to some degree) the chance buat (sok-sokan) ngajarin orang lain tentang cara hidup yang baik dan adaptif itu kaya gimana, which turns out to be.. kadang saya yang justru banyak belajar dari mereka yang saya ajarin. In some special occasions, pembelajarannya tu bahkan kaya buwanyaaak dan heartwarming that I feel like.. wow, do I really deserve this kind of honor? I can't..

Gitu. Dan di 2024 yang baru saja berlalu ini... the honor is somewhat.. overwhelming T_T


Pertama, saya beberapa kali dapat kesempatan buat nulis surat rekomendasi buat makhluk-makhluk yang mau daftar sekolah atau daftar program non degree apa lah gitu. Overwhelming-nya kenapa? Karena orang-orang yang saya tulisin rekomendasinya ini kerennya sungguh beyond words and to date I still think, why me? Kenapa yang mereka minta ngasih rekomendasi itu saya yang notabene bukan siapa-siapa dan tentunya masih jaooooh sejaoh-jaohnya jaooohh dari being internationally acknowleged, yang artinya, IMO, I actually have no legal standing whatsoever buat membantu mereka biar tampak 'legit'. Namuuuun, karena mereka percaya, ya saya usahakan sebisanya buat actually nulis surat rekomendasinya. Escribรญ muy fรกcilmente karena nge-list ke-keren-an mereka itu bahkan lebih gampang daripada nge-list album The Real Group dari masa ke masa saking jelasnya dan saking banyaknya ๋ฉ‹์ง„ ๊ฒƒ๋“ค yang sudah mereka kerjakan. I actually feel a bit concerned, apa kalau mungkin (nantinya) mereka nggak keterima (semoga enggak kejadian, aaamiiinnn), penyebabnya adalah gara-gara dokumen CV-nya ternoda surat rekomendasi yang datangnya dari remah rengginang di kaleng Khong Guan macem saya instead of someone else more reputable? Ya semoga enggak lah ya. Yah tapi kalau apes-apesnya ada hal-hal tidak diharapkan yang terjadi, I still wish all the best for them in the future. Mostly because they deserve that, and a 'lil part is because IMO they should've been given the luck as a reward for having had me included as a part of their heartwarming and pride-providing journey. Again, I'm honored and deeply thankful.

Kedua, kapan hari saya diajak diskusi laporan kasusnya adek jiden yang pakai psikoterapi psikodinamik buat menangani pasiennya. Lapsusnya keren abeees gelaaaak dan guweh langsung kontemplesyen dong, kenapaaaa saya menghabiskan sebagian besar masa jiden madya saya dengan kakehan tinderan fokus ke CBT dan kaya blaaass ra ngerti per-psikodinamik-an? Baca ego psychology sama self psychology aja tu yaaa baru kapan hari pas mau bawain kasus buat didiskusiin di forum diskusi psikoterapi which itu terjadinya setelah sekitar 5 tahun saya jadi Sp.KJ wkwkwk. Rasanya kaya.. damn, I have lots to learn to catch up... tapi aku males sinau ๐Ÿ˜ญ Tapi kalo ga sinau nanti goblognya kebangetan dan itu big no no tapi maleees teros gemana dong ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ *dahlah

Ketiga, 'anak' saya yang paling rajin konsul selama 6 tahunan masa perkuliahannya, hari ini 'laporan' di zoom, dan bilang kalau di tempat barunya sekarang, yang mostly menguras energinya akhir-akhir ini adalah mikirin gimana caranya biar nanganin pasiennya bener. Again I am reminded about betapa makhluk ini hobi bangeeet mikirin orang lain, many times sampai bener-bener ga tau gimana caranya mikirin diri sendiri. Dia juga cerita kalau (sepertinya) dia cukup bisa beradaptasi dan making friends sekalipun di tempat yang sepenuhnya baru dan ketemunya dengan total strangers, dalam waktu yang IMO relatif singkat kalau mempertimbangkan riwayatnya yang pas kuliah dulu struggling adaptasinya tu sampai 4 semester-an kayanya. Yang dulunya emosinya relatif sulit dikontrol dan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan kampus cenderung on/off karena sepertinya cukup emotion-dependent.. sekarang sudah bisa relatif lancar melakukan tugas dan (katanya) tinggal belajar dikiiit aja lagi buat ngatur ekspresi mukanya biar nggak terlalu ngetarain kalau lagi ngerasa nggak enak. Dulu, bikin manusia ini pingin hidup aja tu susaaaah, dan sekarang dia sudah bisa jaga hidupnya sendiri DAN willingly making efforts buat njagain hidupnya orang lain (i.e. pasien-pasiennya). Most importantly (buat saya), sekarang kayanya dia sudah lebih bisa bersenang-senang dan nggak lagi memancarkan aura "ngapain seneng2 kalau habis ini toh sedih lagi?" ์ง„์งœ ์ž˜ ํ”ผ์–ด๋‚˜์„œ ๋‚œ ๋„ˆ๋ฌด ํ–‰๋ณตํ•ด ๐Ÿ’— Kalau versi wahamnya, rasanya kaya... wow... berhasil gue ngedidik anak biar jadi orang bener... wkwkwk
 


Begitulah. Jadi meskipun saya mengawali 2025 dengan feeling mediocre (which is actually fine but at the same time I wonder if I should scold myself about being mediocre and make some change about it but also I'm still too lazy to think things through to actually proceed with the change jadi kek yoweslah ngko wae :p), saya ๊ดœ์ฐฎ์•„ karena I'm a part of great stories anyway, despite mung seuprit. Sudah cukup lah buat fuelling my grandiosity biar tetap bisa staying afloat dan mempertahankan buat feeling swag meskipun sakjane yo embuh wkwkwkwk

Saturday, 21 December 2024

Things students do that I actually question

Disclaimer
1 Ini mostly opini pribadi ya, berdasarkan pengalaman dan pemahaman otak saya yang kapasitasnya terbatas dan konslet-konsletan ini. I might be right or wrong, or partially right and wrong, and that's just the way it is.
2 Biasanya pertanyaan-pertanyaan ini akan di'rasionalisasi' dengan "Ah emang otak guweh kan dari dulu ga terlalu menstrim, jadi kayanya yang concern kaya ginian aku aja. Even my peers in my era don't think that way, apalagi mahasiswa-mahasiswa yang beda era atau beda usia"


Gotta say saya tu lumayan telat ya belajarnya dalam hal mencermati cara orang di sekitar saya belajar. Kayanya saya baru mulai notice tipis-tipis tentang hal ini tu waktu jadi residen. Sepertinya itu terjadi karena di zaman S1 dulu, main concern saya adalah nyanyi dan belajar sebanyak-banyaknya buat menoleransi berbagai situasi dan berbagai jenis manusia. Belajar itu tujuannya mostly untuk memuaskan curiosity (yang pas itu ga curious-curious amat juga) dan meminimalkan risiko remidi biar jadwal nyanyi dan berinteraksi sana sini tak terkurangi wkwk. Waktu profesi, I sang less sih, tapi apakah itu berarti saya jadi memprioritaskan per-koas-an dan mengabdikan hidup saya sepenuhnya untuk aktivitas pendidikan? Tentu tidak wkwkwk. Koas itu yang jadi prioritas saya adalah belajar gimana caranya survive in lyfe (in general, bukan lyfe sebagai koas aja) sebaik mungkin, sambil belajar. Gotta say saya (sedikit) lebih responsible sih belajarnya waktu koas karena sepertinya memang lebih merasakan urgensinya buat seriously immersed in the learning instead of being semi autopilot kaya waktu S1. Cuma ya.. gitu deh. Ada hal yang IMO biasa saya lakukan saat koas because I feel like that's what it should be done, tapi (sepertinya) ada dedek-dedek koas yang tidak melakukan itu and that's quite questionable for me, but we'll get to that later. 
Anyway. these are several things about students that.. when they do them, I kinda question... why? Why do they do such things? Gitu. Tapi again, ini opini pribadi ya. Mungkin sebenarnya they're actually the right/good things to do; sayanya aja yang konslet jadinya yang dikerjain malah beda :p


Ga baca teksbuk 
Mungkin karena saya merasa bahwa kalau nggak baca 'the whole story'nya saya bakal kesulitan ngapalinnya, jadinya waktu kuliah memang saya biasakan untuk baca teksbuk. I kinda enjoyed it karena rata-rata teksbuk 'baku' yang berasal dari penerbit-penerbit utama buku-buku kedokteran itu IMO memang sudah ditata biar (relatively) easy to read, baik dari lay out, chapter organization, sama sama 'storytelling'-nya. Biasanya tiap chapter tu kaya sudah ada template, kira-kira komponen topiknya apa saja. IMO dengan melihat struktur flow yang sama secara berulang-ulang ini, sedikit banyak jadi melatih buat berpikir secara urut, sistematis, dan relatif lebih kecil kemungkinan kelewatan sesuatu. Sense of required depth terkait penguasaan materinya juga terbentuk. Jadi, meskipun bahannya kaya buuuuwanyaaaaakk, after a while tu kaya sudah bisa mendeteksi dengan lebih cepat, "oh ini penting, baca yang bener dan diulang-ulang lagi sampai ngerti. oh ini ga penting, baca cepet-cepet biar sekedar tahu aja gapapa." Dengan ada sense itu, the feeling of being overwhelmed gegara materinya banyak itu relatif kecil. To some extent, baca teksbuk ini meningkatkan awareness dan acceptance bahwa materinya memang sebuwanyak itu dan there's just no humanly way possible that I will master of those.. jadinya ekspektasinya juga nggak muluk-muluk. Kaya.. kalau nilai masih jauh dari 100%, ya b aja karena ilmu dari bidang ini yang saya paham ya memang cuma nol koma nol nol nol sekian persen, jadi bisa dapat nilai ga nol koma nol nol nol sekian persen itu syuda berasa kaya apresiasi yang tinggi banget. Jadi nilaiku elek aku yo orak nanges wong ancene goblog.. Kaya.. hyowes sinau maneh, digenahke maneh. 
Saya kadang merasa, kalau mahasiswa itu nggak baca teksbuk dan fokus hanya di materi yang diberikan waktu kuliah, awareness dan keikhlasan bahwa beban hidup ini memang amat sangat berat jadi kurang optimal karena jadi ada delulu semacam, "ah gampang, materinya segini doang. Bisa lah guweh" Namanya delulu, kalau reality hits hard ya emang bakal jadi shattered into pieces. Misal, pas diterangin waktu kuliah kita ngerasanya ngerti. Terus yang dikeluarin pas ujian itu sebenarnya ya materi yang ada di kuliah, tapi 'tampilan'nya beda terus kita ga bisa jawab karena si 'tampilan baru' ini adalah makhluk lain yang tidak kita kenal, ya kaget lah ya kita.. Apalagi kalau yang ga bisa jawab itu ternyata banyak meskipun kita ngerasanya seluruh materi dari kuliah sudah kita kuasai. Wuih.. itu harga diri runtuhnya bisa warbiyasak dan the thoughts that "wah kok ternyata aku segini doang? wah kok aku nggak bisa apa-apa?" itu bisa annoyingly overwhelming. Nah tapi kalau baca teksbuk, at least in my case, I don't have that delulu jadi kalo nilainya jelek ya udah tinggal belajar lagi aja. Gosah nyediain energi ekstra buat memunguti harga diri yang berserakan dulu sebelum bisa mulai belajar lagi. Kalau saya sih ngerasanya mindset kaya gitu lebih hemat energi dan lebih efisien ya buat tuntutan medical lyfe yang sangat fast-paced ini. Ini kadang berhubungan juga dengan keheranan saya sama dedek-dedek mahasiswa yang kayanya punya aja waktu buat menghayati dramak sama mantemansnya karena kalo saya enggak karena mikirnya, "duh tanggungan sinau ijih akeh, sinau wae lah nek nganggur; rasah dramak." Hal lain terkait per-teksbuk-an yang sering saya batin juga adalah, saya tu dulu sudah baca teksbuk aja, pas koas itu tetep guuuoblooooggg dan kaya belajar dari awal lagi tiap masuk stase baru. Jadinya saya heran: anak-anak ini kok bisa ya nggak baca teksbuk tapi koasnya slamet? Apa jangan-jangan kekuatan doa ibu mungkin memang se-luar-biasa itu? ๐Ÿค”


Ga mencermati panduan belajar yang ada di modul
Yang dibaca skenarionya doang. Sisanya nanya kating atau sen-nya yang kondisinya pas ngejalanin kuliah/stase belum tentu situasinya exactly sama ma yang lagi ongoing. Terus habis gitu di jalan berkali2 nanya pertanyaan yang sama yang takjawab dengan jawaban sama juga: "buku panduannya sudah dibaca dari depan sampai belakang?"; dan mereka jawab dengan jawaban sama: "maaf dokter *emot soneul mat ttae soneul mat ttae now make a wish*" *kok malah nyanyi
Yah. Although setelah baca modulnya, emang format dan komponen yang kurang seragam antar blok atau atau antar stase, serta kesesuaiannya dengan realita yang rendah.. mungkin emang bikin orang jadi males buat baca sih. Well things are gradually improving sih IMO, tapi gotta say emang masih banyak yang 'lolos' dari observesyen. Yah. PR buat dosennya juga si ini, but at leeeeaaasstt yang nggonku wis takediitt ben sejelas mungkin dan sesesuai mungkin sama realitaaakk jadi bacaoooo gaaaesss ๐Ÿ˜ญ Biar ndang paham trus kelen efisiyen sat set dan ndang bisa fowkes sinau tanpa kakehan mikiri teknis2an gitu looo..


Ga suka ditanyain dan kalau maju ilmiah, pertanyaan yang diajukan oleh audience adalah pertanyaan scripted yang jawabannya sudah dia cari
Ini salah satu yang saya ga temuin pas kuliah tapi common banget di tempat saya ngasi kuliah dan sampe sekarang sy ga tau why it should be like this. I mean.. kalo kamu ga mau ditunjuk di mana ga bisanya, gimana kamu bisa improve? Pencitraan semua beres dan bisa jawab semua tapi aslinya masi bosok dan disentil reasoning dikit aja uda langsung ambyar itu buat apa benernya? Buat membiasakan hidup dalam ilusi terus kalo actually ngadepin realita langsung breakdown terus jadi pasien saya gitu? Wow kalian baik sekali ngasi saya kerjaan biar saya tak bosan tapi ga kelen kasi kerjaan pun saya jarang banget bosen si gaes benernya jadi kalo kelen gini tu selaen ga terlalu berguna buat saya, ga berguna buat kelen juga benernya ๐Ÿ˜’


Ga mau tanya kalau kuliah dan kaya takut ngajuin pertanyaan buat menstimulasi pembelajaran sendiri karena ga mau cape cari sendiri jawabannya
Kalau yang ini I'm still kinda able to rationalize something to solve it sih. I mean, buat orang yang naturally curious dan menikmati perjalanan buat cari jawaban kaya saya pun, simply feeding my curiosity aja kadang bisa melelahkan. Apalagi, kalau you're not curious in the first place. Ngeluarin energi biar curiosity bisa muncul aja mungkin sudah effort banget, harus dikasi makan pula curiosity-nya.. ya emang ngrepotin sih. Ya udah deh yang ini nggak saya ributin :p


Udah.
Sekian ngomel kali ini karena sepertinya waktu saya buat menghindar buat nggak ngerjain PR pelatihan DBT semakin berkurang tapi asembuh lah. Saya cukup yakin tulisan kali ini level nirfaedahnya lumayan tinggu, tapi ya jajal pikiren gaes. Lyfe as a doc itu tydack mudah. Nek modalmu minimalis gegara kamu mlz baca teksbuk dan males sinau, yang berpotensi susah tu uripmu ya, bukan uripku. Nek kamu ga mau latihan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak terprediksi, ngko ditakoni cemmacem karo pasienmu, kelen kesulitan gaes karena kurang terlatih buat: 1) macak chill untuk ngadepinnya; 2) mengarang jawaban diplomatis secara kilat dalam rangka buying time buat kamu menggali storage memorimu yang lebih dalem atau mbukak medscape atau ngetik nggo takon chatgpt dkk. Akhirnya, jawabanmu mungkin jadi defensif atau muter2 gajelas blas atau kamu ngeblank ga jawab; either of those, selamat! Anda berhasil bikin pasien (semakin) trust issue ke Anda dan sistem kesehatan negara berflower yang sungguh penuh bunga-bunga warna-warni yang menakjubkan ini wkwkwk.

Uwis. Sekian terima gajinya masih tunggu berapa hari lagi sih benernya? kasih.


Saturday, 17 August 2024

Yang Lagi Rame di TL/Feed/WAG Profesi

Disclaimer: I try to be as objective and as neutral as possible, tapi karena ini nulisnya ga pake SR + meta-analisis dulu dan mostly based on pengetahuan dan pengalaman guweh, jadi unsur subjektivitasnya pasti ada. So, kalau ada yang ngerasa ga cocok atau ga berkenan atau semacamnya, of kors sangat tidak apa2 karena pada titik ini aku sudah jadi anak ๊ดœ์ฐฎ์•„ dan bukan anak ngamokan lageh. 
 

Kayanya saya mau memulai pembahasan dengan membahas beberapa pernyataan yang banyak beredar di komen2 kali yak. Pernyataan pertama, bullying itu ada. Ini bener, memang ada. Terus kalau ada yang nyautin, "di tempat saya nggak ada tuh" ya itu bisa bener juga, tapi tidak otomatis membuat pernyataan yang pertama jadi salah. Selanjutnya ada yang bilang, "Sistem pendidikannya nggak bener ini" itu bisa jadi bener. Tapi ada juga yang bilang, "Yang salah itu kemenkes karena keenakan pake jasa residen secara gratis, jadi kemenkes juga benernya yang bikin sistem ini awet," kata saya si pernyataan itu juga bisa jadi ada benernya juga. Again, aku anak ๊ดœ์ฐฎ์•„ jadi ya gimana dong ya..

Anyway. Long story short, seperti yang dibilang di sini, yang namanya perundungan itu multifaktorial, begitu juga depresi. Untuk hal2 yang multifaktorial, kalau menyikapinya secara sepotong2 dan dari satu pov aja tu memang sepertinya kurang pas ya.. So here I am, rambling dowo buat ngomenin secara semi2 holistik biar (pura2nya) kolo2 ketok bijak, elegan, berbudaya, dan berpendidikan ngono lho. Trus kalo mungkin kamu nanyeeeaaak, kamu bertanyea-tanyeaaaak kenapa nulisnya di blog instead of setori IG atau setatus WA, jawabannya ya adalah dalam rangka biar ga sepotong2 yang rawan diskrinsot dan disetir sesuai iman dan takwa netijen itu. Intentionally di-setting blog-nya satu spasi dan sebisa mungkin tidak mengandung kalimat2 pendek yang easily quotable tu juga dalam rangka biar ga gampang diskrinsot itu juga si selain juga untuk memperumit hidup kelen yang baca itung2 latihan tipis2 menghadapi rumitnya kehidupan yekan. Trus I have lots of things in my mind too karena pertama, saya sudah pernah jadi jiden. Kedua, saya keluar dari per-jiden-an dengan tesis tentang stres pada residen yang jumlah sampel penelitiannya 289 dan proses guweh mbikin tesis ini from scratch sampe selese tu makan waktu 2 tahun lebih which means akeeeeehh referensi ini itu yang sy baca terkait urusan stres di mahasiswa kedokteran, termasuk jiden. Ketiga, sekarang saya jadi dosen yang kebetulan sampai tahun 2023 yll dapat tanggung jawab tambahan juga sebagai anggota bimbingan dan konselingnya fakultas, in which I did 100+ (and even 200+) konseling per tahun sama mahasiswa. This means I have some not-so-negligible knowledge lah tentang urusan per-psikis-an mahasiswa ini. Jadi tolong diikhlasin ya rambling panjang lebar ini. I'll try my best to make it as nonjudgemental and as solution-focused as possible, but again, subjectivity might intertwine here and there, so try to be considerate upon reading and reacting to this (nek onok sing moco trus bereaksi).


Jadi from what I know, emang bener, tingkat stres dan depresi pada mahasiswa kedokteran itu relatif tinggi. Masalah akademik inevitably jadi salah satu stresornya, dan gotta say, ada cukup banyak stresor terkait akademik ini yang sebenarnya bisa dimitigasi dari sistem. Nggak usah yang berat2 macam zero bullying dulu deh. Dengan ngasih beban akademik yang SOPnya jelas dan well-written aja, itu kadang sudah mengurangi stresor mayan banyak. Saya bisa bilang gini karena saya pernah berada di lingkungan pendidikan S1 yang panduan belajar dan petunjuk praktikumnya jelas, format laporan praktikumnya jelas, dan kriteria penilaiannya jelas... dan pernah juga berada di lingkungan yang nggak kaya gitu, daaaan level capeknya BEDA. 
Di lingkungan yang jelas, mahasiswanya bisa lebih fokus to just do it karena panduannya sudah langsung bisa ditindaklanjuti. Di lingkungan yang nggak jelas, mahasiswanya harus berulang kali nanya dulu, "eh bener gini ga si ngerjainnya?" ke temen karena dosennya belom tentu bisa langsung dijangkau (ya 11 12 lah kaya idola2 yang sering kelen halu-in itu cuma bedanya kalo idol kan halu kalian genre drama romantis tapi kalo dosen genre-nya horor sama thriller yekan). Ntar temen A bilang A, temen B bilang B, terus bingung dulu mau milih ngikutin yang mana sebelum akhirnya ngerjain, jadinya ya emang less efficient. Belom kalo feedback dosennya ga jelas, mahasiswa juga jadi ga tau dia itu udah kompeten atau enggak, jadi vibe-nya kek 'digantung' sampe either feedback itu datang atau kalian dapet feedbacknya dari sumber lain yang itu turun dari surga entah kapan, atau sampai kalian ikhlasin dan kalian muvon dari hubungan yang tak jelas statusnya itu. Kalo kriteria penilaian jelas, mahasiswa ga ada unfinished issue gitu kan. Kalo memenuhi kriteria, lulus, muvon ke pembelajaran selanjutnya. Kalo ga memenuhi, ulang sampe kompetensi memenuhi. Jadi kaya ga bawa baggage sampe tua gitu.
Nah buat dosen, punya panduan yang jelas dan well written (i.e. 'legally established') ini juga lebih efisien karena ga kebanyakan dramak akibat mahasiswa2 yang cari celah dari panduan yang ga jelas. Kalo ada mahasiswa yang protes, "kok gini Dok?" ya dijawab, "di panduannya gimana dek yang kemarin sudah kita bahas dan kita coba klarifikasi di awal? sudah dibaca apa belum panduannya? ada nggak di situ? ada? sudah sesuai nggak yang saya lakukan sama yang ada tu panduanmu? sudah? terus kalau saya sudah sesuai panduan, berarti yang bermasalah saya atau pertanyaanmu dek?" gitu. Jadi kalo buat saya pribadi, this is one thing that I try to apply, at least di kuliah2 yang saya pegang: ada panduan yang jelas. I give rewards untuk hal-hal yang mungkin ga ada di panduan, tapiiii saya menghindari banget untuk memberikan hukuman yang tidak ada di panduan. Kenapa? Ya simply put, kalo dikasi reward orang2 ga bakal protes; yang ada bakal seneng, jadi much less likely ada dramak. Tapiiii kalo namanya hukuman, mleset dikit aja yaaaa siap2 dramaknya panjang. Karena nonton drakor yang banyak orang cakepnya aja guweh mlz, ya saya mlz kuadrat lah kl keseringan terlibat di skenario drama kehidupan yang blas ga berurusan sama makhluk2 cakep... makanya panduannya sy bikin sejelas mungkin.
Oh iya. Urusan dokumen jelas ga jelas ini sepertinya fungsinya juga kaya ngasi batasan yang wujudnya lebih konkret antara yang bullying dan bukan bullying; pembelajaran dan yang bukan pembelajaran. Ini somehow related sama yang saya alamin pas jadi residen. Pas sy residen, kalo sy refleksi lagi di jaman now, sebenarnya ada hal2 yang ada nilai pembelajarannya yang bisa saya pake setelah masa kerja. Cumaaa karena ga ada panduan jelas terkait kompetensi yang harus dicapai kek gimana terkait hal itu, hasil kerja yang bagus dan ga bagus tu kek gimana; PLUS ga ada feedback yg konsisten pula dari yang lebih senior, kesannya ini jadi kaya membebani kita yang 'di bawah' ini dengan tugas-tugas mereka yang sebenarnya bukan tugas kita. Ditambah lagi, dengan adanya faktor SARA dan pengaruh pure blood, half blood, dan muggle yang justru lebih apparent saat mereka pada momen tertenti kesambet dan akhirnyaaaa ngasi feedback, jadinya kaya semakin bikin ngerasa bahwa ini bukan bagian dari pembelajaran. Mungkin faktor saya anaknya ngamokan juga kali ye, dan kalo uda kadung ngamuk, kek yowes: take it or leave it. Karena (pas itu) saya merasa ga ada faedahnya ngurusin begituan, akhirnya yawda, I forget it and I left it wkwk. 


Hal lain yang bisa saya pelajari terkait pendidikan kedokteran dari proses adulting saya yang berbasis ngurusin stres orang dan mberesin stres guweh sendiri itu setidaknya ada tiga poin sbb:  

Pertama, kalo ga bisa mencapai tujuan dengan jalan di jalur yang lurus dan mulus, carilah jalur memutar yang mungkin lebih lamak gpp, tapi gosah terlalu banyak ngide buat babat alas dan keluar jalur karena itu jaaaaohhh lebih laaaamaa dan ga selalu worth it. In my case, karena salah satu mekanisme pembelaan ego yang sering saya pake adalah intelektualisasi, consciously training myself buat membiasakan cari jalan memutar ini somehow bikin saya jadi cenderung analitik dan teliti buat cari 'jalur yang memutar' itu. At the same time, adanya awareness bahwa namanya jalan memutar itu pasti energinya butuh lebih banyak daripada jalan yang lurus, I consciously train myself buat manage my energy dan memperkuat endurance lah yak, biar ga kehabisan energi pas masih berproses di jalur yang berputar ini. Jadi ya gapapa, I get there later, but I get there anyway. Gitu.
Nah kalau kaitannya sama stresor anak kedokteran dan terutama dalam konteks guweh jadi jiden senior atau dosen, jadinya (agak terkait sama babagan panduan yang jelas di atas), I try my best buat ga nyuruh2 junior/mahasiswa buat ngerjain hal-hal yang ga ada di panduan atau referensi, dalam rangka membantu jalur mereka biar lebih lurus dan ga terlalu berputar2. Selain mlz dramak, kalo buat saya, mbayangin orang lain lelah gegara saya tu kek additional mental burden tersendiri, jadi quite a no no. 
Kalau kaitannya sama kasus yang lagi rame ini, saya mikirnya, yang katanya perundungan pake mukul pake marah2 tu.. energi mental dan fisiknya seberapa banyak yak yang kepake buat aktivitas kaya gitu? Dalam pikiran saya, ini tu analoginya kaya yang tadi saya bilang keluar jalur sampe babat alas sembarangan itu lho.. which is capek, jaoh, dan ga selalu worth it. Padahal, kalo mungkin cari jalur yang sebatas muter aja buat cari kompetensi, ya energinya itu kan (mungkin) bisa dipake buat baca textbook lah, bikin artikel jurnal lah, latihan soal2 atau latihan OSCE lah... atau apa lah yang sejenis kek gitu. Jadi ya.. for me it's too bad that such things happen. Kalau kaya gitu (katanya) fungsinya dalam rangka melatih disiplin dan sebagai bentuk feedback atas performa junior/mahasiswa.. well. Kalau kata Prof dari Belanda yang ngomong pas saya ikot webinar kapan hari, feedback itu adalah sesuatu yang mendorong penerima feedback buat belajar. Kalau nggak bikin belajar dan malah meningkatkan reaksi menghindar, atau bahkan bikin trauma... ya perlu cautious bahwa itu mungkin memang sudah bukan feedback lagi, tapi bullying. Soalnya kata beliau juga, feedback lebih bisa mendorong pembelajaran kalo diberikan di setting yang 'psychologically safe', jadinya orang bisa fokus sama feedback terkait performanya yang kurang dan ga terlalu distracted sama upayanya buat distress tolerance dalam proses menerima feedback itu. Riset tentang depresi juga bilangnya (kalo saya ga salah paham yes), orang yang sering ngalamin trauma itu hipokampusnya mengkeret jadinya kapasitas buat konsolidasi short term memory jadi long term memory itu terganggu. Akhirnya apa yang terjadi sodarasodaraaa? Orangnya kalo dikasi ilmu ya susah menginternalisasinya. Inget pas mau ujian atau pas ditanyain senior, tapi habes gitu lupak soalnya konsolidasinya ga jalan itu. Akhirnya ntar jadi dokter beneran pas praktik sendiri, masih bingung2. Yang rugi siapa? Pasien yang dia tangani karena penanganannya jadi ga optimal. BPJS juga rugi karena (mungkin) jadi banyak ineficient procedures dan bikin biaya kesehatan naik. Institusi juga rugi kalo ndilalahnya penanganan yang ga optimal ini menyebabkan ada litigation yang... you know litigation lah, mbulet wkwk. Jadinya, marah2in juniornya pake fisik dan hukuman2 gajelas? Jangan yha dek yhaaaaa

Kedua, berjuanglah dengan pantang menyerah, tapi tahulah juga kapan harus berhenti. Berhenti itu bukan berarti menyerah, tapi artinya kamu being open to choosing to fight in a different way, and that's totally okay. Jadinyaaa kalo buat saya, misal ada orang yang uda masuk PPDS terus di tengah jalan dia memutuskan berhenti dengan alasan apapun, kayanya terlalu naif dan judgemental kalau kemudian itu dianggap lemah. I mean, penelitian yang paling bagus sekalipun, keterbatasannya itu pasti ada, i.e. kebenarannya itu nggak mutlak. Po maneeeeh kita yang ga actually walking with the shoes of orang yang ngambil keputusan; yang belum tentu pernah ketemu dan dapet berita tentang alasan seseorang untuk stop ikot PPDS tu dari katanya2 doang. Ke-valid-an judgement kita itu jadinya sangat questionable lah ya.. Jadi kalau ada yang sampai yakin baaaangeeettt bahwa pendapatnya bener padahal belom penelitian secara holistik dan foul-proof, tolong haloperidolnya diminum yang rutin ya. Kalau sulit minum rutin, injeksi fluphenazine dekanoat tiap bulan diusahakan jangan sampai skip, oke?
Terus glorifikasi "saya dulu juga gitu, saya bisa kenapa kamu enggak?" itu juga kalo kata saya kurang tepat karena that is so last century dan sekarang tu yang bener adalah "kalau orang lain bisa, kenapa harus saya?" situasi jaman old sama jaman now beda. Paling simple aja, jaman old mungkin eloh mau prosedur ngapa2in gosah banyak mikir mau nyortir mana yang ditanggung BPJS mana yang enggak, tinggal consent pasien aja, whether they're taking it or they're leaving it; Sekarang, harus mikir. Jaman old, waktu kelen ga lagi jaga, yang bisa ganggu tidur malem kelen tu paling telpon sesekali dari temen yang mungkin minta back up atau IGD. Jaman now, ngecek atau nyimak cetangceting WA grup temen yang panik karena ada yang dimarahin konsulen, grup laen lagi yang lagi jadi panitia sesuatuk, grup lainnya lagi yang ada senior marah2, grup arisan kampung, grup wali kelas yang nanya besok tugasnya anaknya apa aja... itu udah butuh waktu dan jadi beban tersendiri; jadi ya ga sama. Jaman old, referensi dan tuntutan publikasi ga sebanyak sekarang, jadi yang namanya tugas referat jaman old mungkin lebih santuy karena gosah nyortir dan memformulasikan dari banyak sumber. Trus mungkin dulu ga dikejar2 mbikinin tugas publikasi konsulen/seniornya karena ya dulu ga ada yang harus ngejar sinta score, ngejar publish di jurnal yang impact factor-nya tinggi, atau (yang sekarang lagi hits) ngejar banget jadi pembicara di acara ilmiah biar SKPnya banyak. Sekarang, ya gitu lah ๐Ÿ˜ถ Jaman old, penduduk ga sebanyak sekarang dan literasi kesehatan mungkin masih lebih rendah dari sekarang, jadi case load mungkin juga ga segila sekarang. Jadi ya.. again, kalo mau bikin kesimpulan terkait harusnya bisa/nggak bisa atau lemah/nggak lemahnya seseorang, ada baiknya emang lihat berbagai pov dulu dan masukin kata "disclaimer" atau "caution" atau "keterbatasan" di kesimpulan itu, biar ga malah waham.    

Ketiga, kaya kata Jewel di lagu Hands: in the end, only kindness matters. Jadinya meskipun gawan bayiknya aku ngamokan dan mukak guweh kalo ga dikondisikan itu akan cukup mudah untuk jadi muka RBF, I always try to put kindness as one of my highest values because that's what makes me feel like human. Lu mau beragama sebagus apa, ga bisa kalo you're not being human karena konsep agama itu adalah konsep higher function yang cuma human yang punya, bukan makhluk lainnya. Makanya (kalo kata saya), bisa jadi itulah alasan kenapa orang2 yang beragama tetap melakukan hal2 yang 'incomprehensible': karena dia pegang nilai agama doang tapi ga pegang nilai yang lebih luhur lagi, which is humanity yang (kalo sepemahaman saya) termasuk kindness itu. Lu mau jadi dokter sebagus dan sekompeten apapun, ya gabisa kalo lu bukan manusia karena yang bisa daftar fakultas kedokteran cuma manusia; kirik ga bisa, kocheng ga bisa. Jadi ya.. let's make sure we're real humans inside out first before we proclaim ourselves as doctors. Kalau human-nya wujudnya doang tapi dalemnya enggak, artinya manusia jadi2an, jadi tolong, tahan diri dulu buat nyebut diri sebagai dokter dan lebih fair aja nyebut diri sendiri sebagai "cash machine" kek, atau "anger machine" kek atau apa. Tujuannya biar kelen yang jadi2an dan kami yang beneran tu sama2 ga krisis identitas dan malah bikin trust issue di masyarakat gitu lho..


Udah. Kayanya itu. Sekian (another) rambling nirfaedah siang ini; kita kembali ke daftar apdet kambek kpop terbaru ๐Ÿ˜Ž 

Saturday, 27 July 2024

Kontemplesyen Menyongsong Indonesia Cemas 2045

Disclaimer: 1) Ini opini pribadi; 2) Ditulis dalam keadaan kzl gegara japel belum kelihatan hilalnya dan jam karaokean diganggu manusia-manusia yang nanya pendaptaran dan kapan SKP di-verif padahal INFONYA UDA ADA BACA DULU NAPAAA ๐Ÿ‘ฟ. In short, stok sabarnya emang dalam masa-masa stok opname sehingga ya.. begitulah

Jadi ceritanya saya tu ditunjuk jadi salah satu CP untuk salah satu acara seminar di kampus. Saya awalnya mikirnya no big deal lah, karena at least 2 hal: 1) panitia lain yang kerjanya jauuuuhh lebih banyak dari saya ada banyak which means gosah kakehan sambat bcs it's just part of the work and it's just how things are supposed to be, 2) I've done this before karena zaman nom2an mbiyen beberapa kali jadi CP konser choir. Cuma seiring berjalannya proses, ada beberapa refleksi yang somehow bikin agak heart-wrenching:

1) Smartphone dan koneksi yang tersedia 24/7 ini to some extent memang mendegradasi kepekaan terhadap norma dan menginduksi impulsivitas, DAN itu tidak hanya di GenZ, tapi ya bapak emak bahkan embah2nya juga. Buktinya apa? Banyak yang WA saya nanya pendaftaran di atas jam 10 malem. Sopan nggak kaya gitu sama stranger? Kalau kata saya si enggak. Ganggu jam tidur dan leisure orang ga tu? Kalau kata saya si ganggu. Kalo drijinya ditahan buat ga WA dulu sampai pagi di jam kerja, ada yang mati ga? Ga ada, tapi tetap dikerjain karena apaaa? Karena ga dibiasain behaving mindfully. Yang 'dikasi makan' cuma subkorteks-nya yang emotion-based dan pleasure seeking, kontrolnya nggak dilatih, akhirnya impulsif. Fungsi luhurnya sebagai manusia yang bisa punya sopan santun, melakukan pertimbangan dari berbagai sisi, self control, dll... jadi terkikis karena jarang dilatih. Sedih ga si losing humanity kaya gini? Kalau buat saya lumayan agonizing sih. Makanya saya pribadi, as an effort to prevent myself from losing humanity ini, I consciously make efforts to keep interacting with people in real life meskipun memang to some extent "lewat zoom aja kan bisa.." I do use zoom too karena kalau saya resisten sama perubahan yang ada, ya saya nggak adaptif juga, tapi core values yang ingin dipertahankan itu ya dicari caranya biar tetap bisa dipertahankan. That's also one reason why I keep trying to make time to occasionally travel to actually meet my dear friends because I wanna appreciate their presence as real humans instead of what they present in the media. Kalau lagi ketemu mereka, ya fokusnya ngobrol dan catch up kabar masing-masing, bukan foto sana sini sama bikin story. Terus biar saya ga annoyed sama ceting-ceting notif WA, kalau ada yang masukin ke grup, hal pertama yang saya lakukan adalah 'mute notification' kecuali kalo dimasukin ke grup sekolah lama which the 1st thing I did first after dimasukin adalah leave group wkwkwkwkwk. Centang biru juga sudah saya matikan sejak 2017 and I don't feel like I miss anything by doing that other than my tendency for being an avid stalker tapi lakik seumuran guweh di dating app sekarang tu pada mbelgedes kan.. jadinya ya urgensi untuk stalking tu juga ga ada. I also feel very much relieved when realizing that sekarang meskipun ada notif WA yang masuk, volume lagu kalau lagi nyetel spotify ga berubah sehingga saya tetap bisa spotify-an dengan tenang karena spotify-an dengan tenang adalah salah satu jalan ninjaku menuju sehat mental wkwkwk.
Terus terkait bagaimana konektivas tanpa batas yang mbelgedes ini memengaruhi tidak hanya GenZ tapi juga bapak emak om tante dan mbah2nya, kadang jadinya kalo ada yang bilang, "Duh anak jaman sekarang lembek2..", apalagi kalo yang bilang itu ortu2 yang gaweane kerjoooo tok dan anaknya diasuh mbahnya atau baby sitter atau HP, I feel like ngamok si kadang2. I mean like... 
lu sadar ga kenapa anak lu lembek dan elu enggak? Karena elu tu gede DIDAMPINGI ama bapak emak lu yang jaman dulu kerjanya gosah 24/7 nglengkapin dokumen ini itu atau traveling sana sini. Hla anak lu? Uda lu dampingin bener belom? Resilience itu datangnya dari continuous training, bukan dari ceramah lambe elu atau quote2 instagram yang sepotong2 doang. Trus lu sadar ga, jaman elu nom2an mbiyen, kalo elu stay at home dan keluarga elu keluarga cemara yes, elu tu AMAN; asal ga pato2 amat, elu auto bisa jadi manusia bibit unggul harapan bangsa. Nah jaman sekarang, anak lu di rumah, dia masih bisa kena cyber-bullying, cyber-harrassment, tipu2 judi onlen, dan entah apa lagi. Lu uda pastiin yang bener belom kalo anak lu ga bakal kena dampak dari yang kek gini? Kalo belom, gosah sok2an bilang anak lu lembek, karena ancaman buat keamanan dia tu lebih banyak daripada ancaman elu jaman nom2an, MEANWHILE, proteksinya which is elu, ga ada. Soalnya elu sibuk kerja dan bisa jadi instead of ngasi anak lu comfort and protection, elu jadi ancaman tambahan dengan ngasih tuntutan cemmacem atau dengan berantem ama pasangan elu gegara elu keseringan chatting ama temen kantor trus selingkuh.
Demikian kira2, bapak2  ibu2. Mohon berkenan dijadikan periksa wkwkwkwk
Oh. on another not-so-related note, ada beberapa yang WA itu panggil "Kak" gitu dan dalam hati tu jadinya kaya "DAMMIT AKU BUKAN KAKAKMU, PANGGIL "DOK" BISA GA? KAN DI SITU ADA TULISANNYAAAA ๐Ÿ‘ฟ LU KATE GUWEH SEKOLAH SEKIAN BELAS TAHUN BUAT JADI KAKAK ELU? KAGAAAAAKKK, GUWEH SEKOLAH BIAR JADI DOKTER YANG BENEEEERRRR, GA KAYA ELOH YANG SEKOLAH TINGGI2 SAMPE PERGURUAN TINGGI TAPI BOLOSAN NJUK SKRIPSINE NJOKI PALING, SAMPE BACA TULISAN 'dr.' AJA GABISA" :p


2) Our life has seriously shifted to a quantity-over-quality world, and urusan ke-dafuq-an perSKPan ini juga not an exception. I mean, ga salah sih, untuk improvement, yang namanya aktivitas tu perlu punya indikator yang jelas dan terukur, ๊ทธ๊ฒƒ์€ ์ง„์งœ ์ธ์ •ํ•˜๋Š”๋ฐ... seperti yang dibilang emak guweh, indikator2 angka itu cuma ngasitau "WHAT" to improve, tapi ga ngasitau exactly HOW to improve. Urusan SKP ini juga sama: pada berlomba2 nyari angka SKP gede tanpa lihat kumpulan angka itu asal muasalnya dari mana, relevansi kontennya sama bidang karir, dan actual impact-nya ke masyarakat dengan kita punya banyak SKP itu. To some extent, kaya kita jadi mikirin diri sendiri doang padahal kalo sepemahaman saya, the time I officially took Hippocratic Oath itu adalah the time that I kinda declare to the world that I'm ready to give myself to people in my community; bukan deklarasi untuk jadi budak SKP atau buat flexin' status sosial baru atau buat bahan konten story dengan kepsyen "manifesting becoming crazy rich Asian in 5 years aaaaamiiinnn ya Allah." 
Jadi ya... ya udah. Kalau saya sih jatuhnya jadi berusaha kerja aja yang bener karena kerja secara biasa aja ('biasa' versi saya ya, might not always be applicable to all contexts), selama hasil kerjanya itu didokumentasiin yang bener, SKP tu pasti terpenuhi, bahkan lebih2. Saya bisa bilang gini karena pas mau memperbaharui STR beberapa waktu yang lalu, SKP saya kalo semua dokumen kerja dimasukin dengan benar tu kayanya bisa 400 atau 500an dan yang aspek pembelajaran tu kayanya 250an gitu soalnya publikasi saya ada beberapa dan itu nilainya tinggi. Cuma ya saya uda males entry2 karena waktunya mepet, jadi pokoknya nilai minimal uda memenuhi, saya mbalik liat pidio apdetan Kpop. Saya juga ga bentar2 WA adminnya buat verifikasi dokumen karena saya ngerasanya tanggung jawab saya sebagai psikiater adalah mendukung kesehatan jiwa manusia pada umumnya instead of bikin mereka edan dengan bentar2 meneror nanyain kenapa SKP belom diverif. Again, this might not apply for everyone, so kalo ada yang jadi bucin SKP karena satu dan lain hal, ya somehow gapapa asal elu ga jadi edan aja, but that's just not me, I don't follow, sorry. I'll just work the way I gotta work, and I'll (try to) document the work properly. Udah. Gitu aja.
Trus buat urusan quantity over quality ini.. Well. Sebagai manusia yang cenderung quality over quantity, gotta say it's pretty annoying for me, but again, kalau saya mau maksa banget being myself tanpa bersedia menyesuaikan dengan perubahan, ya professional wise dan personal wise, guweh cepet matek. I mean of kors no big deal to this world kalok guweh matek karena guweh butiran debu doang yekan.. tapi saya belom pernah nonton satupun konser anak Astro, masih pengen nonton konser The Real Group di Swedia, masih pengen bisa ngerasain ngerjain psikoterapi yang terstruktur secara somewhat-right, masi pengen bisa at least bikin 'tunas' buat community-integrated psychiatric service yang holistik (wow I sound like orang bener :o), masi pengen 'jagain' people that I care about, dan beberapa hal laen.. jadi saya ga ada rencana buat mati muda. Oleh karena ituuuu, I'll go with the rules, tapi ya ga blindly to the level sampe guweh lupa gimana caranya have fun gara2 kebanyakan mantengin angka. Untuk hal-hal yang masih dalam kewenangan saya, misalnya urusan feedback atau curhatan dari mahasiswa tentang proses pembelajaran mereka.. saya tetap akan minta feedback yang ada narasinya, nggak cuma indikator yang sifatnya angka saja. Sepanjang apapun mereka nulis, saya bakal tetep usahain baca, taking notes, dan following up sesuai bisanya saya except for dummy-nya psikiatri yang akhir2 ini emang sering ga saya kasi feedback balik meskipun ya tetep sy baca dan saya nilai si benernya.. monmaap ya dek adek koas :(. karena buat saya, komen2 mereka itu penting. Additionally, dengan taking a close watch and doing follow up buat komen2 mereka, yang saya rasain ternyata saya lebih jarang dapat komplen dan malah lebih sering ketularan hepi-nya mereka kalau mereka belajar sama saya. Jadinya ya itung2 investasi buat sense of safety and fulfilment saya sendiri yekan secara sebagai manusia yang tiap hari kerjaanya ngadepin dramak kehidupan manusia2 lainnya, I need a good defense plan to survive, dan ya.. feeling safe and fulfilled adalah another jalan ninjaku untuk survive selain playlist di spotify premium yang ga terinterupsi ceting2 notif WA. Gitu.


Demikian rambling minggu pagi kali ini dalam rangka kontemplasi anak bangsa menyongsong Indonesia Cemas 2045. Mohon maaf atas segala kata2 yang kurang berkenan wkwkwkwk #sorrynotsorry



N.B. Pardon the mixed up language, pero lo siento, ์ด๊ฒŒ ์žฌ๋ฏธ ์žˆ๋„ค wkwkwk