Ada multi-stage contemplation yang sudah berlangsung sejak pertama kali saya punya diary (i.e. pas kelas 5 SD kayanya wkwk) hingga bisa sampai di level ketika saya yakin kalau saya memang ingin jadi psikiater. Kayanya sih awalnya karena during my annoyingly explosive teenage years, I felt like I got misunderstood A LOT and many times I was like.. WHY? Why is it so hard to understand me? I'm generally pretty straightforward and sometimes I even put extra effort to make things simpler, but why can't I still be understood? Well later on I learnt that sometimes straightforwardness itu yang bikin masalah sih karena ternyata lebih sedikit orang yang ga esmoshit kalo di-straightforward-in dan kalo namanya orang uda esmoshit itu biasanya ya bhay, konten omongannya uda ga bakal didengerin lagi; pasti salahnya. Cuma ya thanks to my lemot brain, I learnt it late kan wkwkwk
Jadi di awal tu motivasi saya belajar buat berkomunikasi dengan lebih 'bener' itu adalah biar people misunderstand me less so I fight less and I have more time for ngapalin lirik lagu dan fangirling. Nah namanya komunikasi ini kan banyak berurusan dengan kata2 yekan.. trus ndilalahnya I like reading and writing quite a lot, dan kalo berurusan sama lagu, I surprisingly put more focus for the lyric. Jadinya during my younger years, I had fun playing with words and somehow kinda built my sensitivity to implicit 'nuances' that go beyond the actual words spoken, and also my tolerance to multi-interpretation of certain events of communication. Nah ada masanya awareness terhadap hidden meaning dan multi-interpretasi itu agak overwhelming, gotta say, and I felt like.. ini otak manusia ni rumit amat kerjanya, dibikin simpel aja bisa ga sih? Kalo di-permak2 dikit bentukan otaknya gitu.. bisa kali ye jadi lebih simple.. Gitu mikirnya, sehinggaaaa ada masanya, bercita-citalah saya jadi dokter BEDAH SARAF karena mau permak, ndempul make over otak itu tadi. Namuuunn, tentu saja hidup tidak semudah itu, Ferguso. Dengan cepat saya menyadari bahwa pendempulan otak seperti yang saya bayangkan itu is not exactly what neurosurgeons do, pluuuuss dapat info juga bahwa tindakan bedah gitu itu might take loooongg hours, needing looootss of stamina... plus later on I found out that dexterity saya jebulnya bosok yha sehinggaaa, berkarir jadi Sp.BS? Maaf, nggak dulu, makasih. I still want to learn to help people (including myself) 'fix' their ways of self-expression and relation. However, to do that with the sacrifice of kehilangan waktu buat musik2an dan fangirling, it's a big no-thanks for me karena I'm not happy without those things dan waham saya berkata bahwa if I don't live happily, I'm in no capacity of sharing happiness to others. In another words, misi guweh buat mempermudah hidup orang, akan jadi mission impossible.
Maka jadilaaah, saya mempertimbangkan jalur karir lain: psikiater, psikolog, diplomat, english teacher (yes I did consider mlebu HI or ngajar enggres, partly because TOEFL 500+ is kinda effortless for me *kibas rambut *iye ini flexing *I don't humble brag, I BRAG). Terus kenapa akhirnya milih masuk FK dan jadi psikiater? Apakah karena kedokteran itu jurusan paling bergengsi, menantang, dan passing grade-nya paling tinggi sehingga nantinya saya bisa membanggakan prestasi saya masuk FK UGM pada seluruh tetangga dan sanak saudara? Oh TENTU SAJA TIDAK. Saya masuk FK UGM karena ujian mandiri UGM itu duluan dibanding ujian masuk PTN yang nasional, dan di UGM itu psikologi-nya termasuk IPS. Aku tu males gaaaesss nek ujiane kudu njupuk IPA karo IPS alias IPC karena selain ofkors MALES SINAUNE, ujiane suwi which is too much for my attention span yang pastinya akan meronta disuruh duduk segitu lamanya saat seharusnya ku bisa jalan2 menikmati suasana Jogja ๐
Jadi ya sudah, masuklah saya ke FK, terus PPDS Psikiatri, trus lulus jadi psikiater. Gitu doang? Ya nggak lah ๐ Dalam perjalanan itu saya juga jadi semakin yakin bahwa memang I'm more into words instead of hand works (bhay neurosurgery!), I'm more into people instead of tools (bhay -again- neurosurgery! Bhay lab-related sciences!), I'm more into high quality + in-depth few interactions instead of mass + generalized ones (bhay public health medicine!)... dan bahwa saya ini wanita murahan yang tak suka barang2 mahal and that I feel satisfaction when I could get things work secara low budget. The works I enjoy the most are the ones that mainly use myself as an instrument: psikiatri, nyanyi, nulis yang yowes pake bulpen laptop HP aja uda beres... such things. That being said, jadinya, di tengah kehidupan masyarakat kolektivis berazaskan sila keempat Pancasila yang mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan ini, kalau saya mau semacam 'egois', lebih mudah buat saya membahasakannya jadi, "I have to take care of myself because I am the instrument of my work for the community. If my condition is sub-optimal, then my service to the community would be sub-optimal too" Gitu. Cerdas kan taktik saya untuk melegalkan keegoisan ๐
Jadi begitulah. Saya jadi psikiater dan salah satu minat utama saya memang di psikoterapi karena itu tadi: saya makhluk low budget (bhay psikiatri biologi! Bhay biomolekuler thingy!) and I prefer to use myself as an instrument. One other important reason of me being interested in psychotherapy ini adalah karena IMO subdivisi inilah yang paling berperan buat mendukung saya untuk lebih bisa mengapresiasi the little magics in life and find happiness from those magics. Makanya sempat ada masanya saya bertakon2 napa sih (kayanya) banyak dokter (termasuk psikiater) attached amat sama ngasi obat padahal yang 'nagih' dari kerjaan psikiater itu adalah those small magics. Well although later on sy nyadar juga bahwa:
1) I don't think like most people, jadi emang otak saya aja yang suka ngide2 sendiri dan akhirnya jadi punya pikiran kaya gitu;
2) Vibe pendidikan psikiatri jaman old yang (kayanya) emang lebih favoring kompartementalisasi (mind vs body, psikolog vs psikiater, etc.) instead of kolaborasi (yang lately lebih trending), mungkiiin berperan juga dalam kecenderungan itu dan sticking mostly to prescribing was like a method to keep us safe in our compartment, so.. that's just what was 'necessary', I guess.
I just can't shake it, though, bahwa it feels more right to do it holistically, and flexibly when it comes to the pharmacotherapy vs non-pharmacotherapy regimen. Emang capek, really, to be holistic; dan kemungkinan untuk burnout itu jaaaauhhh lebih tinggi dibanding ketika you simply stay in your own compartment, tapiiii in this case saya anaknya FOMO-an wkwk. I don't wanna miss out on life by 'neglecting' those aspects that makes someone an ์ด์ํ ํ๋. By keeping myself tuning in to these things, rasanya tu kaya semakin gampaaaangg buat bahagia, dan IMO, ternyata salah satu privilege terbesar jadi psikiater itu adalah karena saya bisa bahagia secara low budget *eeeaaa ujung2nya balik lagi ke sini yeee. Dan karena I feel like I can be happy due to small daily things, I have more resources to keep standing firm despite whatever life throws at me. I feel invincible and confident that I can always get back up despite whatever defeat I might face *BG sound musik heroik lalu muncullah ultraman untuk membasmi para monster
Jadi begitulah gaes. Kalau jadi psikiater itu, kamu tu bisa bahagia dan merasa berprestasi (antara lain) cuma gara2:
1 Ada manusia (read: pasienmu) yang AKHIRNYA gelem ADUS. Bapak emak kalian tidak mengapresiasi kalian karena kalian ga rengking satu di kelas atau gegara skripsimu ra rampung2? Maen ke psikiater/psikolog aja gaes. Kita bisa banget mengapresiasi kamu just because you are gelem mudhun seko kasur terus ADUS terus budhal sinau atau nemoni dosen pembimbingmu *kok jadi mengandung promosi
2 Ngelihat orang yang dulu ra nyambung blas (gegara masih episode psikotik) jadi bisa cerita kalau dia udah bisa nikah, kerja, dan bahkan menenangkan pasangannya pas mereka lagi ada masalah
3 Ndenger seorang abege (dan emaknya) bilang kalo si bocil mau nyoba sekolah lagi setelah empat tahun off gegara (antara lain) ada riwayat di-bully sampe takut ke sekolah
4 Ngelihat perubahan dari manusia yang dulunya sering nangis dan bentar2 bilang pengen mati, tapi sekarang sudah bisa lancar cerita pengalaman-pengalaman hidup yang buat dia menarik
5 Ndenger abege (lagi) bilang "makasih Dokter" setelah sekian tahun ketemu ini bocil tapi blaaaass ga denger suaranya dan akhirnyaaa bocahnya mauuuu ngomoooonggg sama guweeeh, dan kata pertama yang dia bilang bukan kata2 mutiara dari neraka wkwkwk
Of kors masi banyak lagi yes momen2 daily magic gitu yang the more I have it, the more I realize: ์ ๊ฐ ์ ์ํ์ด ๋๋ฌด ์ข๊ณ ํ๋ณตํด์ and I wouldn't want it any other way ๐